Mataku menatap atap kamar yang putih dan beberapa corak di sudutnya. Alaramku yang sejak tadi berbunyi hanya mengisi kekosongan di apartemenku. Aku terdiam cukup lama, mengingat jika mimpi tadi malam masih tersisa jelas di pikiranku. Sekalipun hanyalah mimpi, bagiku semuanya adalah kenyataan. Hanya saja, siapa pemuda itu?
Aku perlahan duduk dan meremas rambutku pelan. Merasakan sisa efek alkohol di kepalaku. Tubuhku perlahan turun dari kasur, menuju dapur dan meminum obat pereda nyeri. Aku terdiam di sana. Merasakan keheningan yang selalu kulalui sejak orang-orang meninggalkanku. Lagipula aku tidak bisa mengeluh, karena pada akhirnya aku juga akan meninggalkan seseorang.
Kakiku kembali membawa tubuhku untuk bersiap menjadi budak korporat. Aku tidak akan mengeluh karena itu. Menggunakan kemeja, jas, rok, serta riasan yang tidak terlalu tebal. Lalu tas sandang yang berisikan dompet, kertas, buku bacaan dan bolpen. Tatapanku menuju jam di dinding. Membuatku harus bergegas pergi menuju kantor.
Apartemenku tidak terlalu jauh dari perkotaan. Hanya saja cukup jauh untuk menuju tempatku menjadi peliharaan yang menghasilkan uang untuk majikanku. Aku harus berangkat lebih pagi daripada peliharaan lainnya yang sudah naik pangkat. Aku perlu menaiki dua kereta api supaya sampai di sana. Rute yang sama, keramaian yang sama, dan rutinitas yang sama. Orang-orang menanyakan keadaanku saat salah satu keluargaku meninggal. Pasalnya, sehari setelah pemakaman aku sudah berada di kantor, mengurusi pekerjaan yang telah kutinggali selama dua puluh empat jam. Pekerjaan itu terus berkembang biak, oleh karena itu aku lebih memilih bekerja daripada berlarut-larut pada kesedihan yang tak membuat siapa pun untuk hidup kembali. Mungkin karena rasa sedihku sudah habis untuk pria tua pelaut dalam hidupku.
Para peliharaan kantor yang lain sudah bekerja lebih dahulu daripadaku. Mereka orang-orang tua yang selalu beranggapan jika mereka bisa mengatur waktu lebih baik. Bangun cukup pagi, mengurusi keluarga, lantas menatap komputer hingga jam pulang. Aku mungkin salah satu orang yang hanya ingin mencari keuntungan keuangan. Jadi aku tidak punya kewajiban untuk bekerja lebih pagi dan pulang lebih lama. Aku tidak pernah memikirkannya lebih jauh, sehingga pada akhirnya aku menjadi peliharaan yang begitu-begitu saja dan tidak pernah naik pangkat. Atau setidaknya menjadi peliharaan yang baik.
Aku menatap meja kerjaku yang sudah dipenuhi dengan dokumen-dokumen sialan. Sampai-sampai memenuhi pandanganku yang seharusnya bisa menatap monitor. Sialnya, aku harus memindahkan semua dokumen itu ke lantai dan mulai mengerjakannya satu persatu, sesuai dengan urutan yang seharusnya.
Aku bersekolah di sekolah dasar swasta. Hanya berjarak setahun setelah aku menjadi korban pemerkosaan. Bahkan aku tidak pernah tahu saat itu jika aku sebenarnya diperkosa. Aku bersekolah swasta, di sana aku mempelajari sesuatu yang berbau rohani. Mungkin karena masih kecil, aku jadi mudah mempelajari apa saja. Salah satunya mengetik. Aku mendapatkan penghargaan sebagai pengetik tercepat dan keakuratan 96% sehingga sejak itu beberapa orang mulai menggunakanku sebagai tukang ketik. Dari sana pekerjaan pertamaku dimulai. Meskipun begitu, ayahku tidak menyukai pekerjaan pertamaku sebagai tukang ketik.
Aku tidak terlalu dekat dengan ayahku. Kami tidak pernah berbicara mengenai perkembanganku di sekolah atau sekedar menanyakan apa warna favoritku. Dia juga tak pernah memanggilku dengan nama. Dia selalu memanggilku ‘putriku’ atau ‘anakku’ sampai-sampai membuatku kebingungan apakah aku sebenarnya memiliki nama atau tidak. Lalu yang kutahu hanyalah, ayah memberikanku nama yang sama dengan nama ibuku yang telah lama mati. Ketika wanita itu melahirkanku, ayah mungkin merasa sangat sedih sampai-sampai sulit baginya untuk merawatku karena wajahku yang sangat mirip dengan Ibu.
Lalu ayah meninggalkanku ketika aku lulus dari sekolah menengah atas. Dia bilang waktunya untuk bertanggung jawab padaku sudah habis, setelahnya terserah padaku. Rumah yang saat itu kami tinggali sebenarnya sudah lunas, lalu kujual untuk biaya hidupku sendiri. Kami tidak pernah berbicara lagi setelah itu. Aku juga tidak merasa sedih. Mungkin karena pada akhirnya aku tidak memiliki kedekatan emosional dengannya.
Mataku terdiam ketika sosok pria mendatangi mejaku. Ia menggunakan kemeja putih dan celana hitam. Sedikit rapi, tetapi rambutnya yang kribo itu cukup berantakan. Ia memberikan beberapa dokumen kepadaku.