Pemuda itu berada di sana lagi. Hanya saja kali ini ia berada di atas pohon, bersandar pada batang dan kaki yang dibiarkan menghempas udara. Ia terlelap di atas sana, sedangkan aku kali ini terbangun dengan bersender di bawah pohon yang lain. Aku bisa melihatnya dari sini, menatapnya yang tertidur lelap di antara ranting dan dedaunan. Bagaikan telah pergi menuju tempat yang sangat jauh.
Kali ini di sakuku terdapat sekotak sigaret berwarna putih dan sedikit pola biru. Ketika kubuka, sigaretnya berbatang putih dan berjenis kretek dengan bulatan kecil penanda untuk dipecahkan. Perlahan aku menarik satu dan mulai membakarnya. Asap itu pun akhirnya mengisi kerongkonganku yang kopong. Asap yang menumpuk lantas keluar dari mulutku, tertiup angin menuju lautan sana.
Kapal hari ini mengantre di lautan. Beberapa kapal yang berlalu pun tak menghidupkan mesin supaya tak membenturkan ombak ke kapal yang lain. Aku tidak tahu sejauh apa pelabuhan berada. Aku tidak pernah menyisiri tempat ini selama di bangunkan di antara rerumputan ilalang.
“Sepertinya ada kecelakaan di pelabuhan.”
Tatapanku tertuju pada pemuda tadi yang berada di atas pohon. Ia sudah berdiri, menatap jauh ke arah hilir. Seolah ia bisa melihat semua antrean dari atas sana. Ia kemudian menatapku, tersenyum lebar, lantas turun dari pohon dan duduk di sebelahku.
“Aku pikir dirimu tidak akan datang,” ujarnya lagi.
Aku mengernyitkan dahiku. Menatapnya kebingungan, karena ia telah menjadi orang yang sangat berbeda daripada sebelumnya. “Mengapa?”
“Sepertinya kemarin aku terlalu kasar? Entahlah, aku pikir dirimu akan jengkel padaku dan tak ingin berbicara padaku.”
Percayalah sebenarnya aku ingin menentangnya. Hanya saja, aku tak berpikir itu hal yang bagus. Atau entahlah bagaimana bisa aku jelaskan mengenai itu. Yang jelas, aku tidak pernah menolak jika akan terbangun di tempat ini, sekalipun bertemu dengannya setiap aku terbangun.
“Siapa namamu?”
Pemuda itu sudah memegang kotak sigaretku, berusaha mengmbil satu batangnya. Ia tersenyum cengir kepadaku. “Yohan. Namamu?”