Tak terasa sudah dua setengah tahun David menghabiskan waktunya di Melbourne. Kini dia telah lulus dengan raihan nilai dan prestasi kategori terbaik. Dia sangat bersyukur dapat memenuhi deadline dari kampus. Dan tentunya semuanya juga karena bantuan dan motivasi dari Andini yang senantiasa ada di sampingnya baik suka maupun duka. Sungguh saat-saat yang menggembirakan bagi pemuda itu karena dia akan kembali ke Indonesia dan bisa menemui orang-orang yang dicintainya, kerinduan kepada sahabatnya di Malang.
Tapi dia juga sedih karena harus berpisah dengan Andini. Demikian juga sebaliknya, bagi Andini adalah suatu kesedihan yang sangat dalam jika harus berpisah dengan David. Masa dua tahun setengah dia habiskan bersama David dengan banyak kenangan indah, tentu tak mudah untuk dilupakan. Minggu depan saatnya David harus balik ke Indonesia. Dengan berat hati Andini harus rela melepas kepergian David. Namun rasa cinta telah mengalahkan semuanya, termasuk akal sehatnya. Andini sepertinya benar-benar tak rela jika harus berpisah dengan David.
******
Sementara itu, dalam hembusan udara malam kota Malang yang dingin menusuk tulang, terdengar sayup-sayup alunan musik instrumen pengantar tidur dari sebuah musik box putar yang terbuat dari kuningan dengan hiasan dua orang sejoli yang berputar menari di atasnya, seolah mengikuti irama musiknya. Menyentuh hati bagi sang perindu. Sepasang mata seolah tak ingin lepas dari benda tersebut, benar-benar membawanya ke alam bawah sadarnya, kembali membuka kenangan lama, mengoyak kesedihan dalam rajutan cinta.
Ya, malam itu sepertinya Tasya sedang galau. Bukankah semestinya kebahagiaan akan dirasakan oleh seorang gadis yang hendak melaksanakan pesta pernikahan. Namun tidak, justru kesedihan dan kekecewaan yang saat ini dia rasakan. Hanya butiran-butiran bening yang memenuhi kedua kelopak matanya, mewakili suasana hatinya. Saat itu, dia teringat akan saat-saat terakhir kalinya harus berpisah dengan David dua setengah tahun yang lalu.
*****
Siang ini tidak beda dengan siang di hari yang lain. Hujan baru saja reda meski masih meninggalkan gerimis yang mengundang, sementara mendung hitam masih terlihat di langit Kota Malang. Namun udara terasa lebih segar, debu yang biasanya berterbangan tersapu tetesan air hujan. Langit biru dan angin yang bertiup pelan menambah segar siang ini.
David baru saja masuk ke dalam mall di kawasan alun-alun Kota Malang, dia tidak peduli dengan orang-orang yang berjalan di depannya. Meski bukan musim liburan dan akhir tahun tetapi pengunjung siang ini lumayan banyak dengan tujuan yang berbeda mungkin belanja atau mungkin hanya sekedar membuang waktu dengan berkeliling mall. Sedangkan David, tujuannya hanya satu, berjumpa dengan Tasya.
Sesampainya di lantai tiga, pandangannya mengarah ke salah satu sudut café namun tidak terlihat sesosok gadis yang dia tunggu. David memutuskan untuk masuk ke satu café yang berhadapan dengan tempat mereka janji bertemu. Tidak berapa lama, secangkir kopi hitam baru saja disajikan di meja, dia melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Beberapa waktu menunggu, dia hanya membolak-balikkan majalah yang memang tersedia di café itu sambil sesekali melirik ke luar café.
David menghela nafas panjang, dia biarkan jari jemarinya memainkan sendok teh dalam segelas kopi hitam panas di hadapannya. Bunyi nyaring gesekan kepala sendok teh yang terbuat dari logam yang berputar, beradu dengan dinding gelas yang terbuat dari kaca tebal, mulai memecah keheningan hatinya, membuyarkan lamunannya. Iramanya seolah mengiringi nyanyian hatinya yang tidak beraturan.
“Sudah 30 menit, Tanya kok belum datang juga,” gerutu David.
Kembali pandangannya tertuju ke sebuah jarum jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya Hingga nada SMS di ponsel miliknya berdering membuyarkan lamunannya. Dia tertunduk membaca SMS itu, jari jemarinya berhenti memainkan sendok di tangannya hingga kesunyian kembali meruang, membuat jantungnya semakin berdetak kencang tak beraturan.
“Semoga waktu berjalan dengan cepat,” ucapnya dalam hati.
David kembali menghela nafas, sepasang kelopa matanya mengatup rapat. Dahinya berkerut memunculkan lukisan garis yang berundak di keningnya. Dia biarkan udara mengibas rambut cepaknya saat hembusannya terdengar di balik keheningan. Namun hanya beberapa detik setelah itu, keheningan kembali terpecahkan.
Waktu berjalan perlahan tapi pasti, kopi hitam dalam gelas masih tersisa setengah dan sama sekali tidak panas lagi. Perlahan David mengangkat gelas dengan niat untuk menghabiskannya sebelum benar-benar dingin. Namun tangannya tertahan ketika matanya secara sekilas melihat wajah seorang gadis yang begitu akrab di matanya, melangkah mendekati sebuah café tepat di seberang posisinya saat ini.
Sama sekali tidak banyak yang berubah pada dirinya. Tetap cantik. Meski dia lebih kelihatan kurus dan kedua kelopak matanya sembab dengan ekspresi wajah yang muram. Tiba-tiba jantungnya berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat. Sementara hatinya memiliki keinginan yang lain, menahan kakinya untuk melangkah dan membiarkan matanya untuk memandangnya lebih lama lagi dari tempat duduknya. Memandangnya dengan sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata yang selama ini terbenam dalam hati. Sejenak gadis itu menoleh ke dalam café, mungkin sedang mencari-cari keberadaannya.
Tasya benar-benar masuk ke dalam cafe dan duduk di pojok. Sementara itu David masih terus memperhatikannya, dia sedang berbicara dengan pelayan café. Sekitar beberapa menit kemudian dia berdiri, membayar minumannya dan melangkah pelan keluar menuju café di depan. Rasanya seperti mau kencan pertama. Di depan pintu David berdiri sejenak menatap ke meja di pojok café, terlihat seorang gadis sedang sibuk membaca menu yang ada di depannya.
“Maaf, jika kamu menunggu lama,” ucap David mengejutkan Tasya.
Gadis cantik itu menoleh mencari asal suara yang barusaja dia dengar. Sepasang mata indahnya beradu pandang dengan sepasang mata sahabatnya itu. Sementara itu, David kembali merasakan jantungnya berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah dia lihat.
“Nggak kok, aku juga barusan sampai,” jawabnya lirih.
Tanpa dipersilahkan, David duduk di depannya. Sudah lama David berharap bisa bertemu dengannya, justru terkadang dia merasa kalau keinginan untuk bertemu lagi hanya menjadi keinginan yang tak akan terwujud. Tapi hari ini, siang ini keinginan itu telah terpenuhi, dia ada di depan mata, hanya berdua. Kemudian mereka disibukkan dengan membolak-balik daftar makanan. Bahkan, sepertinya mereka sama-sama sedang mencari bahan untuk memulai pembicaraan.
Gadis itu pun tersenyum melihat David memperhatikannya dengan penuh makna.
“Kenapa, kamu pasti rindu padaku ya?” tanya gadis itu membuyarkan lamunannya.
David hanya tersenyum mendengar ucapannya.
Untuk beberapa saat, senyuman manisnya itu membuat pikiran pemuda itu melayang menelusuri setiap kenangan yang ia lewati bersamanya. Hingga akhirnya, lamunannya terhenti pada sebuah momen yang membuatnya ingat akan tujuannya semula.
Sesaat tiba-tiba mereka sama-sama terdiam, membiarkan desauan angin mengisi keheningan yang tak terkendali saat itu. Gadis itu menatapnya penuh, membuat David melemah ketika tersadar bahwa bola mata itu tertuju kepadanya. Pemuda itu tertunduk, membuatnya tersenyum hingga akhirnya dia bersedia memecah kebungkaman
“Kapan tiba di Malang?” tanya Tasya mencoba memulai pembicaraan.
“Dua hari yang lalu,” jawab David datar tanpa melepaskan pandangan dari menu.
“Apa studi S2 mu di Australia sudah selesai?“ tanya Tasya.
“Iya,“ jawab David singkat.
“Selama ini kupikir sejak keberangkatanmu ke Australia, kita tidak akan bertemu lagi,“ ucap Tasya.
"Lho kenapa kamu berkata seperti itu?" tanya David.