KUTITIPKAN RINDU INI

DENI WIJAYA
Chapter #26

ANDINl #26

Sementara itu itu, di Melbourne, menjelang sore Andini menghabiskan waktunya dengan Sarah di pusat perbelanjaan dekat Rialto. Semenjak kepulangan David ke Indonesia telah membuat hari-harinya berat. Hatinya tak rela jika harus berpisah dengan David untuk yang kedua kalinya. Bahkan dia terus menyesali pertemuannya dengan David, mengapa dulu dia mengenal sosok pemuda ganteng tersebut dan harus mencintainya jika akan membuat hatinya sakit. Dalam kegundahan hatinya, dia dengan ditemani Sarah memutuskan untuk berkeliling kota Melbourne. Sarah pun mengerti perasaan Andini saat ini, siapa yang tidak akan sakit hati jika harus berpisah dengan orang yang sangat dicintainya. Sebagai seorang sahabat, dia tidak mau melihat sahabatnya itu murung dan sedih.

Andini pamit kepada Sarah untuk melihat pameran lukisan di salah satu stand di mall tersebut. Sarah yang asyik dengan melihat model-model baju, tak berfikir panjang, langsung mengiyakan saja. Andini melangkah menuju galeri lukisan. Dengan langkah gontai, dia mencoba untuk menerobos kerumunan pengunjung pemeran. Dengan mengenakan baju rajutan ketat selutut berwarna merah muda yang dipadu legging hitam yang membungkus kakinya dan sepatu ket. Rambutnya yang diikat ke belakang menonjolkan dahi dan tulang pipinya. Kehadirannya sedikit membuat perhatian beberapa pengunjung pameran tersita hanya untuk tatapan mata penasaran akan sosok gadis itu.

Sementara itu, di antara keramaian pengunjung, nampak pemilik sebuah galeri lukisan bernama Antony meraba guci-guci antik dalam wadah kaca, untuk tetap memastikan kaca-kaca itu tidak kotor. Dengan teliti, pria itu memandang setiap detail barang-barang seni dan antik di setiap bagian stand pameran.

“Andre, coba kamu cek lagi kondisi ruangan pameran ini!” perintah Antony pada asistennya.

Mereka all out, totalitas dalam menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mempersiapkan pameran malam ini. Karena itulah mungkin Antony tidak terlalu heran jika malam ini hasil jerih payahnya akan memanen decak kagum pengunjung terutama dari kalangan penikmat seni yang borjuis dan hedonis.

Begitupun dengan Andre, sang asisten juga nampak begitu bersemangat dan ramah menyapa kepada setiap pengunjung pameran. Di salah satu sudut ruangan, Antony terlihat sedang berbincang-bincang dengan dua orang pengunjung pertama. Mereka mengamati lukisan naga berwarna merah di tengah ruangan. Bila mereka benar-benar memperhatikan, warna naga itu dilukis dengan 25 warna merah yang berbeda.

“Luar biasa, untuk kolaborasi satu warna saja bisa berbeda menjadi beberapa warna dengan warna dasar merah. Boleh tahu mungkin ada referensi warna yang diberikan oleh pelukisnya?” tanya salah seorang pengunjung pameran.

Antony berusaha mengingat daftar nama warna merah yang telah diberikan oleh pelukisnya.

“Hmm.. ada merah magenta, merah fuchsia, merah maroon. Hanya ini yang saya ingat,” jawab Antony tersenyum.

Selain ke-3 warna tersebut, tidak terlintas satu warna lain pun di pikirannya. Namun, mendadak kehadiran seorang pengunjung yang baru memasuki ruangan telah mengganggu konsentrasinya. Antony memperhatikan gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

“Tunggu, siapa gadis itu? Ada sedikit aneh dengan dia?” gumam Antony.

“Hmm.. apa yang sedang dilakukannya di sini?” pikir Antony dalam hati penasaran.

Pandangan Antony tak hendak lepas dari gerak-gerik gadis tersebut. Gadis itu mengitari ruangan seperti komidi putar. Langkahnya baru berhenti, ketika melihat jendela kaca di salah satu sisi galeri yang menghadap ke bagian depan. Kaca yang berbingkai aluminium yang bisa dibuka. Dia mengamati pemandangan di luar, seperti layaknya seorang pengamat seni yang sedang menafsirkan makna sebuah objek lukisan. Bangunan dengan berbagai bentuk dan warna berdiri dilatarbelakangi langit senja.

Ckrek! Ckrek! Tiba-tiba saja Andini melihat kilatan lampu flash dari sebuah kamera.

“Hmm... tampaknya seseorang telah mengambil fotoku dari belakang tanpa sepengetahuanku!” gerutunya dalam hati.

Andini membelokkan badannya ke belakang dan ternyata dugaannya benar. Terlihat seorang pemuda telah sengaja memotretnya.

“Hei, apa yang kamu lakukan?” tanya Andini curiga.

Namun pemuda itu tidak peduli dengan pertanyaan Andini yang masih asyik disibukkan dengan kamera DSLR-nya.

Oh… sorry, I am sorry… maaf, aku tidak sengaja memotretmu. Hanya saja kamu terlihat begitu menyatu dengan objek sekitar. Kalau keberatan, kamu boleh menghapusnya,” ucap pemuda itu dalam bahasa Indonesia. Perlahan pemuda itu menghampiri Andini. Dia menyodorkan kameranya.

“Ini kameraku, hapuslah sendiri fotomu. That’s OK!” ujarnya lagi.

Entah perasaan apa yang menghinggapi Andini saat itu. Sebenarnya dia tidak suka seseorang mengambil fotonya tanpa izin terlebih dengan orang yang tidak dia kenal. Tetapi kali ini sungguh berbeda. Andini ingin sekali mengambil kamera itu dan menghapusnya tapi dia tidak bisa melakukannya. Hatinya seolah berkata untuk tidak menghapusnya.

“Tidak perlu. Kamu bisa menyimpannya,” ucap Andini berusaha bersikap acuh.

Really?! Thanks very much! O iya, whats your name?” tanya pemuda itu sambil tersenyum riang.

Andini and you?” jawab Andini.

“Steven,” sahutnya singkat.

“Kamu pasti dari Indonesia...,” lanjut Andini.

“Iya benar, kan kita sudah bicara dengan bahasa Indonesia, kamu pakai bahasa Indonesia dan aku pakai bahasa Indonesia juga hehehe...,“ jawab Steven.

Tanpa sadar Andini bersama dengannya sepanjang sore. Mereka tampak akrab berbincang-berbincang tentang banyak hal hingga langit berangsur menghitam. Dan kehadiran laki-laki itu yang mempunyai hobi fotografi itu telah membuatnya merasa nyaman.

Namun tiba-tiba Steven memegang bahu Andini dengan kedua tangannya. Dia menariknya ke dalam pelukannya.

“Kamu perempuan yang sangat baik, Andini. Mendengar ceritamu aku jadi merasa iri terhadap David. Dia beruntung sekali mendapatkan hatimu,” ucap Steven.

Kini aku telah mengerti, pada akhirnya, kepergian seseorang mungkin menyakitkan akan tetapi akan selalu menjadi pelajaran bahwa kehilangan adalah jalan terakhir untuk membuat kita mengerti betapa berartinya seseorang dalam hidup kita,” ucap Andini pelan.

“Andini, aku titip kameraku sebentar saja, aku mau ke belakang hehe...,” ucap Steven.

That’s OK!” jawab Andini.

Melihat kamera milik Steven yang sudah berada di tangannya, membuat Andini tergerak untuk melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Satu demi satu, dia mulai menelusuri foto demi foto yang diambil oleh Steven. Dia memang laki-laki yang berbakat. Semua foto hasil bidikan kameranya baginya begitu sangat memukau. Teknik-teknik fotografi yang digunakannya sangat baik.

“Hei, kamu sedang apa, melihat-lihat fotoku ya?” sahut seseorang yang sudah pasti Steven.

Perkiraan Andini meleset, rupanya Steven kembali dalam waktu yang sangat singkat, padahal dia belum menemukan fotonya karena terlalu banyak tertimpa oleh foto lainnya.

Tanpa diminta, Andini mengulurkan kamera itu padanya, “Sorry, aku hanya sekedar melihat-lihat. Menurutku, kamu memang fotografer yang handal,” puji Andini.

“Haha… Andini, kamu pandai sekali memuji. Tapi aku masih amatir dan harus banyak belajar lagi,” ucap Steven tertawa lepas dan tersenyum lalu kembali mengambil gambar di sekitarnya.

“Andini, bagaimana kalau kita foto bersama? Kamu mau tidak?” tanya Steven dengan mimik yang berharap Andini akan mengiyakannya.

“OK, terserah kamu saja,” sahut Andini.

Lihat selengkapnya