“Apa kamu bilang? Aku akan menggugatmu! Aku tidak mau menjadi perempuan bodoh untuk kesekian kali. Kurang apa aku padamu? Aku sudah cukup sabar!” tukas Bu Ratna.
“Apa aku kurang sabar? Ok, jika kamu mau mengasari, memukulku silahkan, aku terima! Tapi kamu sudah khianati pernikahan kita, aku nggak terima!” sambung Bu Ratna.
“Ratna, kamu kan tahu dari dulu ada banyak perempuan di sekelilingku, kamu jangan cemburu yang berlebihan seperti itu. Kamu jangan menuduhku tanpa bukti!” sangkal Pak Dendy.
“Buktinya sudah banyak, kamu masih mau mengelak? Aku sudah capek, nggak ada yang perlu dibahas lagi!” kata Bu Ratna dengan nada kesal.
“Ratna, kamu jangan asal menuduh. Bukti apa lagi?” cecar Pak Dendy.
“Kupikir kamu sudah sadar untuk tidak mempermainkan perempuan lagi dan mau membina keluarga baru dan menjadi suami yang baik, tapi faktanya tidak demikian!” balas Bu Ratna.
“Kamu masih saja menduakanku!” lanjut Bu Ratna.
“Ok aku mengaku, kamu sudah puas sekarang?! Ratna, lalu apa salahnya jika kamu berbagi?” timpal Pak Dendy.
“Apa kamu bilang? Berbagi?!” ucap Bu Ratna nyolot, semakin emosi mendengar ucapan Pak Dendy.
“Kamu jangan egois jadi perempuan!” bentak Pak Dendy.
“Kamu ini suami macam apa, apa kamu nggak punya perasaan, siapa perempuan yang mau dikhianati? Bukan begitu caranya berbagi!” balas Bu Ratna tak kalah sengit.
“Akh, tahu apa kamu!” tukas Pak Dendy.
“Kamu yang sok tahu! Egois! Kamu lupa janjimu padaku!” kata Bu Ratna.
“Ratna, tolong mengertilah sedikit, dia butuh bantuan. Dia butuh uang untuk membiayai kuliahnya dan ibunya yang sakit!” sangkal Pak Dendy.
“Alasan!” celetuk Bu Ratna.
“Ok, urus saja perempuan itu! Jangan pernah urusi lagi aku dan David! Aku cukup mampu membiayai hidup kami!” ucap Bu Ratna dengan sengit.
“Jangan sombong kamu! Bukankah semua yang kamu dapatkan saat ini karena bantuanku? Kamu lupa ya!” kata Pak Dendy.
“Enak saja kamu bilang seperti itu! Selama kita menikah, kamu sering tidak menafkahi kami, aku cari uang sendiri!” sanggah Bu Ratna.
“Ratna, kamu sudah sangat keterlaluan! Kamu tidak menghargaiku sebagai suami!” bentak Pak Dendy yang semakin bertambah emosi dan hendak malayangkan pukulan ke arah Bu Ratna.
“Ayo pukul aku! Kenapa berhenti? Ayo pukul sepuasmu! Sekalian bisa kubuat visum dan laporan ke polisi! Aku sudah muak denganmu, aku akan tetap menggugat cerai kamu!” balas Bu Ratna melawan.
“Ayah!” cegah David.
“Akh! Dasar perempuan tak tahu diri!” tukas Pak Dendy masih dengan emosi yang bergemuruh di dadanya.
“Jangan banyak omong! Ayo pukul!!” teriak Bu Ratna yang merasa hatinya sudah hancur.
“Ayah!” tariak David lagi.
Mendengar teriakan David, Pak Dendy mengurungkan niatnya untuk memukul istrinya itu. Dia merasa ragu, lalu pergi keluar rumah tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia merasa sangat kesal sekali.
David menatap Pak Dendy tajam setajam mata elang, lalu kembali menutup pintu kamar. Seperti biasanya, David tidak tahan melihat ibunya menangis.
Sungguh malam yang menyakitkannya, menambah kegalauan hatinya. Tak pernah terpikir sebelumnya, malam ini ibunya harus tersakiti lagi untuk yang kesekian kalinya. Bosan.
Hening. Suasana seisi rumah mencekam karena amarah. David hatinya kacau, sakit sekali. Dia terduduk lemas di balik pintu kamar. Namun tidak berapa lama terdengar pintu diketuk dari luar.
“David, tolong buka pintunya!” ujar Bu Ratna.
“Iya, bu, tunggu sebentar!” sahut David.
David bergegas membuka pintu, menundukkan kepala.
“Boleh ibu masuk?” tanya Bu Ratna.
“Silahkan, Bu!” jawab David.
Bu Ratna lalu masuk, mengikuti David yang duduk dengan lesu di tepi tempat tidur.