Sebenarnya David sudah kenal dengan Hendro tapi dia tidak begitu jauh mengetahui tentang sosoknya. Dulu Hendro sempat menjadi anak buahnya saat OSPEK mahasiswa baru. Sejauh sepengetahuannya Hendro adalah anak seorang juragan sapi terkenal di daerah Kediri. Gayanya yang sok perlente dan borjuis membuatnya tampak sedikit sombong.
Dan satu lagi dengan segala kemewahan hidupnya itu dia menjelma sebagai playboy kampus yang setiap saat menebar rayuan gombal kepada cewek-cewek kampus. Namun cintanya kepada setiap cewek yang dia suka biasanya tidak sampai seumur jagung. Tak ayal lagi, dia sering gonta-ganti pacar. Entah kenapa banyak wanita yang mau padanya atau mungkin hanya tertarik dari hartanya saja.
Hendro adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kehidupan mereka bagaikan pangeran dan putri di sebuah kerajaan dengan 5 pembantu dan 3 sopir dan beberapa pelayan lainya, mereka dilayani, dijaga dan diawasi kemana pun mereka pergi. Kehidupan mewah yang serba ada membuat apa pun yang mereka inginkan dapat terpenuhi.
Di antara ketiganya, hanya Hendro yang sedikit sulit diatur atau sedikit bengal. Apalagi semenjak menjadi seorang mahasiswa, sifat bengalnya semakin menjadi-jadi. Padahal walaupun mereka hidup dalam kemewahan, orang tuanya yang sudah bolak-balik ke Mekah itu, sangat bersahaja bahkan termasuk tipe low profile dan tidak ingin ketiga anaknya hidup berfoya-foya dan terjerumus dalam pergaulan bebas, karena itulah sejak kecil mereka digembleng dengan pendidikan agama secara serius. Namun dengan apa yang terjadi dengan Hendro, ‘apa salah bunda mengandung’ dan salah siapakah ini?
Meski aktif bergerak dalam UKM dakwah di kampus, tidak serta merta membuat David menjaga jarak dengan teman-temannya yang mungkin berbeda prinsip dan pandangan hidup. Bahkan untuk acara rutinitasnya di luar kampus. Seperti biasa, tiap malam Minggu. David, Totok, Agus, Rendra dan yang lainnya biasa menghabiskan malam itu dengan nongkrong di cafe sambil diskusi, rileks, kadang pakai acara “cuci mata” mencari jodoh. Maklum mereka semua jomblo abis. Entah gak laku atau jaga image saja.
Mereka tak tahu, berapa banyak kafe yang sudah mereka sambangi tiap malam minggu. Rasanya semua kafe di kota Malang sudah pernah mereka tongkrongi. Namun yang menjadi kafe favorit mereka adalah kafe Gaul yang ada di kawasan Stasiun Kota Malang. Suasana malamnya yang ramai dengan canda orang-orang yang keluar masuk stasiun atau pun yang sekedar hanya nongkrong di pinggir jalan sambil mengumbar rayuan gombal atau janji-janji setinggi langit.
Nampak juga berpasang-pasang muda-mudi sedang asyik berjalan-jalan sambil bergandengan tangan seperti “truk gandengan” di sepanjang trotoar jalan. Setiap malam minggu di kawasan Stasiun Kota Malang berkumpul, ‘tumplek blek’ di situ, dari beragam usia dan komunitas, ada mahasiswa, ada remaja usia sekolah, bahkan ada komunitas waria dan masih banyak lagi yang lainnya.
Terkadang David merasa dirinya seperti orang kurang kerjaan saja, tiap malam minggu bersama teman-temannya hanya berputar dari cafe ke cafe. Tapi tidak dengan malam minggu kali ini. David hanya ingin menghabiskan malam sendirian. Ya sendirian, dia masuk ke sebuah kafe, memesan secangkir kopi lantas duduk berlama-lama. Ya, cuma secangkir kopi hitam, tidak memesan apa-apa lagi. Seperti kebiasaannya, David hanya menyeruputnya beberapa teguk saja, kemudian menatap cairan pekat itu lekat-lekat dan larut dalam lamunannya. Pikirannya lagi galau.
Hingga kopinya mendingin di cangkir. Malam itu, dia masih tak ingin pulang. Sepertinya dia sudah mulai bosan mendengar pertengkaran kedua orang tuanya yang hampir tiap hari terjadi.
David pindah ke cafe lain karena cafe yang dia singgahi memasuki jam tutup. Tentu tidak setiap kafe buka 24 jam. Entahlah, dia juga tak mengerti kenapa harus melakukannya malam ini. Memang tampak konyol, tapi bukanlah hal baru lagi baginya duduk sendirian berlama-lama di cafe dengan secangkir kopi.