Keesokan harinya, hukumanku dicabut.
Ayah sudah berbicara dengan ibu.
Katanya aku diperbolehkan untuk keluar rumah seperti biasa, namun dengan catatan aku tidak boleh melakukan perilaku buruk apapun.
Kalau begitu, aku akan melakukan hal-hal seperti biasa. Bermain dengan teman memang mengasyikkan.
Tapi, sebelum aku pergi ke tempat biasa kami berkumpul, aku menyempatkan diri untuk ke rumah Bibi Vera.
Sebelumnya, aku selalu ditemani ibu saat hendak minta maaf pada siapapun.
Namun sekarang, aku tidak lagi ditemani.
Umurku sudah menginjak 10 tahun, aku harus mulai mandiri kata ayah.
Aku pergi ke rumah Bibi Vera dengan gugup.
Jujur saja, aku masih takut menghadapi Bibi Vera yang terkenal galak.
Apalagi menghadapi beliau sendirian seperti ini.
Sampai depan rumah beliau, aku ragu.
Ragu bercampur takut.
Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada beliau.
Aku juga takut dengan respon beliau.
Namun, kukumpulkan keberanianku untuk mengetuk pintu rumah beliau.
Tak ada jawaban.
Kuketuk sekali lagi.
Tak ada jawaban lagi.
Kukumpulkan lagi keberanianku yang masih tersisa di pojokan-pojokan hatiku.
Lalu aku berteriak sambil mengetuk.
“Bibi Veraa! Ini aku, Andre!”
Namun masih tak ada jawaban.
Aku menyadari, jam-jam segini pasti Bibi Vera masih di ladang bersama Paman Mikhail.
Dengan ragu, aku membalikkan badanku.
Keberanianku yang kuhimpun untuk mengetuk pintu rumah beliau lenyap sudah.
Haruskah aku menghampiri beliau di ladang?
Tapi, nanti bagaimana kalau aku dikira mencuri lagi?
Banyak sekali keraguan dalam hatiku.
Namun aku teringat jagung pemberian Bibi Vera kemarin.
Aku harus minta maaf dan berterima kasih pada beliau.
Kumantapkan kembali tekadku lalu pergi dari situ menuju ladang milik Bibi Vera dan Paman Mikhail.
Sesampainya di sana, aku tidak melihat Bibi Vera ataupun Paman Mikhail.
“Ah, itu anak yang kemarin lagi!” teriak seseorang dari kejauhan.
Rupanya yang berteriak adalah salah satu pekerja ladang.
Orang itu mengejarku, spontan saja aku lari dikejar oleh orang itu.
Ah, kenapa aku harus lari?
Bukankah aku tidak mencuri seperti kemarin?
Tapi kenapa aku lari?
Kuhentikan langkahku, orang itu menangkapku.
Dengan terengah-engah, dia mengatakan sesuatu.
“Hosh... hosh... hosh... Tertangkap juga kau. Kali ini tak akan kubiarkan kau lolos seperti kemarin.”
Pekerja itu membawaku ke sebuah gubuk di dekat ladang. Di situ terlihat Bibi Vera dan Paman Mikhail sedang beristirahat.
Baiklah, aku harus berani. Aku tidak boleh ragu lagi.
“Tuan dan nyonya! Aku berhasil menangkap pencuri jagung lagi!” Seru pekerja itu dengan semangat.