Sorenya ayah pulang dengan membawa kereta kuda yang akan membawa kami ke Balmoral.
Para tetangga juga ikut berkumpul melihat ayahku yang pulang membawa kereta kuda.
Nampaknya ayah dan ibu juga sudah membicarakannya dengan para tetangga.
Mereka sama sekali tidak terlihat terkejut.
Terdengar beberapa orang mengucapkan hati-hati di jalan.
Tunggu dulu, memang kapan kami berangkat?
“Memang kapan kita akan berangkat yah?” Tanyaku.
“Malam ini. Semua barang sudah dikemas kan?”
Malam ini!!???
Bukankah itu terlalu terburu-buru?
Tidak bisakah kami menunggu paling tidak sampai besok?
Aku ingin sekali mengucapkan salam perpisahan pada teman-temanku.
“Apa tidak terlalu terburu-buru, yah?” kataku
Ayah terdiam.
“Bukankah akan lebih aman kalau kita menunggu sampai matahari terbit? Setidaknya di jalan kita lebih terhindar dari bahaya seperti perampok atau monster.”
Ayah masih terdiam.
“Kau benar juga. Baiklah, kita akan menunggu sampai besok. Besok pagi-pagi kita akan berangkat.”
Kali ini ayah setuju denganku.
Aku menghela napas.
Lega rasanya, paling tidak aku masih memiliki waktu untuk berpamitan pada teman-temanku yang tersisa.
Tanpa berlama-lama, aku berlari keluar rumah.
“Andre! Mau ke mana?” Teriak ibu lemah.
“Aku mau ke rumah teman-teman dulu bu! Mau pamit!” Balasku.
Jujur saja, aku takut.
Bagaimana dengan perjalanan kami?
Masa-masa seperti ini pastilah banyak terjadi pencurian dan perampokan.
Akankah kami aman sampai balmoral?
Kalau iya, apakah kami benar-benar bisa bertahan hidup di sana?
Kami memang dulu pernah pindah dari Uprave ke Millstone.
Tapi itu beda kondisinya jika dibandingkan dengan sekarang.
Saat itu keluarga kami masih memiliki kehidupan yang layak.
Bahkan kami pindah kemari juga karena ayah yang dipindah tugaskan.
Sekarang bagaimana?
Memangnya kami bisa bertahan di kota besar tanpa penghidupan yang layak?
Sembari aku memikirkan semua itu, aku sampai di rumah Nicholas.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, ayah Nicholas adalah pensiunan prajurit. Rumahnya tidak terlalu besar, namun setidaknya cukup dihuni oleh 1 keluarga.
Aku mengetuk pintu rumah Nicholas.
“Nichoooo...! Ini aku Andree!!” Kataku memanggil namanya.
Pintu dibuka.
Terlihat sorot mata tajam milik ayah Nicho. Ayah Nicho memang menyeramkan, itulah kenapa kami jarang main di rumah Nicho.
“Siapa sayang?” Kata suara wanita di belakang ayah Nicho.
Suara itu milik ibu Nicho, suaranya sangat ramah.
“Ah, benar-benar Andre ternyata ya. Sebentar ya, bibi panggilkan Nicholas.”
Ibu Nicho masuk diikuti oleh suaminya.
Oh iya, ayah Nicho tidak bisa berbicara.
Nampaknya sesuatu telah terjadi saat ia menjadi tentara dulu.
Nicho pun akhirnya keluar.
“Ah, Andre! Ada apa?” Tanyanya.
Aku tersenyum melihatnya.
Sudah lama kami tidak bermain bersama.
Semenjak bencana kekeringan ini, hampir tidak pernah kami bermain di luar.
Hari-hari kami habiskan di dalam rumah untuk menghemat energi.
Ditambah banyak teman-teman kami juga sudah pindah.
“Main yok!” Ajakku.
Kulihat keraguan di wajah Nicholas.
“Main? Tapi, sekarang sudah sore...”
“Ayo dong! Kita ajak Ivan dan Elora juga!” Kataku sambil memohon.
Nicholas menengok ke arah ibunya.
Ibu Nicholas tersenyum lalu berkata, “Jangan malam-malam ya pulangnya!”
Senyum sumringah terpatri di wajah Niicholas.
Kami pun pergi dengan ceria.
“Ngomong-ngomong, mau main apa?” Tanya Nicholas.
“Hmm... Apa yah... Ah, gimana kalau kita main kejar-kejaran?”
“Jangan deh, bikin capek. Kalo lempar batu sembunyi tangan gimana?”
Lempar batu sembunyi tangan adalah sebuah permainan berkelompok. Satu orang jaga bertugas untuk menebak siapa yang melempar batu, orang ini berdiri membelakangi para pelempar batu. Yang lain bertugas untuk melempar batu ke arah yang bisa dilihat oleh satu orang yang jaga. Kalau yang jaga bisa menebak siapa yang melempar batu, posisinya akan bertukar dengan si pelempar.
“Boleh, sudah lama kita tidak memainkannya.”
“Oke, yuk kita ajak yang lain.”
Kami lalu pergi ke rumah Ivan.
“Ivaaannn, main yuuukkk!!” Kata kami berdua kompak.
Yang membukakan pintu adalah Ivan sendiri.
“Ohh, Andre dan Nicholas!” Katanya senang.
“Main yuk! Udah lama kan kita nggak main?” Ajak Nicholas.
Terlihat raut keragu-raguan dari wajah Ivan.
“Anu... Ayah dan ibuku sedang pergi... Aku disuruh jaga rumah.”
“Kalau begitu, kita main di dalam saja, gimana?”
Seketika aku langsung mengubah rencana awal.
Pokoknya aku harus bisa main dengan mereka untuk yang terakhir kali.
“Mmmm... Baiklah. Oh iya, aku juga punya mainan baru lho! Ayo masuk, akan kuperlihatkan!”
Ivan berubah ke mode pamernya.
“.... Oke, kalau begitu, aku akan ajak Elora dulu. Kalian duluan saja!” Kataku sambil berlari menjauh.
Aku berlari menuju rumah Elora.
Capek juga ternyata, aku memutuskan untuk berjalan saja.
“Eloorraaa!!! Main yoooookkkk!!!” Teriakku sambil mengetuk pintu rumah Elora.
Tak ada jawaban.
Kuketuk pintu lebih keras.
“Elorraaaa!!! Ini Andreee!!”
“Iyaa!! Aku lagi turun ini!!!”
Terdengar suara anak perempuan yang membalas teriakan Andre.
Tak lama kemudian Elora membukakan pintu untukku.
Wajahnya terlihat lebih kurus dibandingkan saat kami terakhir bertemu sebulan lalu.
Yah, seperti yang kukatakan sebelumnya, kami memang sudah tidak pernah bermain bersama semenjak banyak di antara kami yang pindah. Apalagi sekarang ia adalah anak perempuan sebdiri di perkumpulan kami.
“Lho, kamu sendirian?”
Aku mengangguk.
“Cuma berdua mau main apa?”
“Nggak, Nicholas sudah menunggu di rumah Ivan. Kita main di sana aja.”
Elora terlihat ragu.
“Bentar ya, aku minta izin ayah dan ibuku dulu.” Katanya sambil masuk ke rumahnya membiarkan pintu terbuka.
Aku mengintip, terlihat Elora berlari ke lantai 2.