Entah sudah berapa lama aku menunggu.
Tak ada tanda-tanda dari orangtuaku.
Air mataku sampai mengering saking lamanya.
Masih saja gelap...
Tak ada seorangpun yang masuk.
Tak kudengar pula apapun di luar.
Seolah semuanya tidak terjadi apapun.
Tiba-tiba, terdengar sedikit keributan lalu tirai tenda terbuka.
Kulihat sosok orang yang tadi memasukkanku ke tenda ini.
Aku tak bisa menggerakkan badan saat melihatnya.
Takut sekali.
Entah apa yang akan dilakukannya padaku.
“Ayo keluar.”
Orang itu mengajakku keluar.
Aku memberanikan diri untuk berdiri meski masih ketakutan.
Kami pun keluar tenda.
Di luar terlihat beberapa orang yang berkerumun.
Ada beberapa orang berpakaian hitam yang terbaring, nampaknya mereka terluka setelah pertarungan tadi.
“Tunggu di sini.”
Aku menurut, dia berjalan ke arah kerumunan itu.
Ketika ia mendekat, kerumunan itu membuka jalan untuknya.
“Berapa yang terluka?”
Kudengar ia mengatakan itu pada mereka yang berpakaian hitam.
“10 orang, pak.” Salah satu dari mereka menjawabnya.
“... Segera rawat mereka. Kita juga harus segera pindah dari sini. Prioritaskan pengobatan pada yang lukanya berat, yang lain segera bersiap untuk pindah ke Balmoral. Kita akan berangkat besok pagi.”
“Siap, pak.”
Wow... kata-katanya sungguh sangat berwibawa. Sepertinya benar dugaanku, ia adalah ketua di sini.
Ia lalu menoleh ke arahku.
“Kau, kemari.”
Aku berjalan ke arahnya.
“Lihatlah.”
Aku melihat orang-orang yang berpakaian hitam itu.
Mereka banyak yang terluka.
9 orang...
Satu lagi...?
“Ibu...!”
Kulihat ibuku yang terbaring lemas.
Terdapat luka tusukan yang besar dan cukup dalam di perutnya.
Darah terus mengucur dari lukanya, seakan tak mau berhenti.
“A... Andre...?”
Ibu melihatku dengan lemah.
“Ibu...! Ibu tidak apa-apa!?” kataku panik sambil menggenggam tangannya.
Pertanyaan bodoh lagi.
Tak mungkin ibu baik-baik saja.
Lukanya cukup dalam, ia juga terlihat pucat.
“Andre... Syukur... lah kau selamat...”
Ibu berusaha berbicara meski tersengal-sengal.
“Ibu...”
“Jaga.... Dirimu.... ya...”
Tidak...
Jangan...
“Ibu... Sudah, jangan bicara dulu...! Biarkan mereka merawat luka-lukamu!”
Kulihat ibu tersenyum lemah.
“Ma... af... ibu...”
Tangan ibu terkulai lemas.
Pandanganku kosong.
Ketakutanku yang terbesar mulai muncul.
“Ibu...! Bertahanlah! Tenang! Mereka pasti bisa merawatmu sampai sembuh!”
Aku menoleh ke arah orang tadi.
Ia hanya menatapku lalu menggeleng pelan.
Tidak mungkin...
Tidak...
Ini pasti hanya mimpi...
Ini pasti hanya mimpi buruk...
Ya, ini hanya mimpi menyebalkan yang selalu membuatku terjaga saat tengah malam.
Sebentar lagi aku pasti bangun.
Tenanglah, sebentar lagi aku akan bangun lalu melihat pemandangan langit-langit kamarku seperti biasa.
Tenang...
Tenang......
Tenang..........
Kenapa aku tak juga bangun...?
Kenapa aku tak juga bangun...!?
KENAPAAA...!!???
Ah, mungkin aku perlu menampar atau mencubit diriku sendiri.
Ya, itu pasti bisa membuatku terbangun.
Aku menampar pipiku dengan keras.
Belum juga bangun.
Ayo bangun!
Ayo bangun!!
Ayo banguuuuunnnn!!!
AYO BANGUNN!!!
Tiba-tiba tanganku ditahan oleh seseorang.
Kulihat orang itu.
Ia menatapku tajam.
Ah...
Jadi ini bukan mimpi...
Aku terjatuh lemas.
Tak terasa mataku berair.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak keluar.
Untuk terisak pun aku tak kuasa.
Yang kulakukan hanya menengadahkan kepalaku dengan mulut terbuka.
Pandanganku mulai gelap.