Kami berhenti di depan sebuah rumah minum.
Yang benar saja, masa mau minum-minum mengajak anak kecil?
Kami berempat turun.
“Nampaknya baru kita yang sampai.” Kata ayah.
“Serius? Bukannya di depan kita harusnya ada kelompok lain?” Bibi Valeria terkejut.
“Entahlah, nanti kita tanyakan saja kalau mereka sudah sampai.”
Kami pun masuk.
Bibi Valeria membawa tawanan kami juga di pundaknya.
Suasana di dalam seperti rumah minum pada umumnya.
Banyak orang dewasa mabuk-mabukan.
Pegawai wanita yang cantik dan seksi.
Bau alkohol yang menyengat.
Tunggu, pada umumnya? kenapa aku bisa tahu?
“Master, di mana tempat terbaik kalau mau menyaksikan mentari terbenam? Katanya ada 3 gagak yang harus diikuti.” Kata ayah pada pegawai yang melayani di balik meja.
“... Oke, tunggu sebentar.” Balas si pegawai.
Si pegawai itu masuk ke dalam sebuah ruangan. Namun tak lama kemudian ia keluar.
“Silakan.”
Wah... Mereka mau minum di ruangan terpisah?
Tunggu. Kenapa aku juga diajak?
Aku kan belum cukup umur untuk minum alkohol.
Kami pun masuk.
Di dalam, terdapat sebuah meja dengan 3 kursi.
Kursi untukku mana?
Tapi tidak seorangpun duduk di kursi yang disediakan.
Malahan ayah terlihat mencari-cari sesuatu di pojokan ruangan.
Nyari apaan sih?
“Ah, ini dia.”
Seketika ruangan kami sedikit bergetar.
Kurasakan ruangan kami seperti terjatuh perlahan.
“Andre, kau jangan teriak ya. Kita sedang turun.” Kata Bibi Valeria padaku.
Siapa juga yang mau teriak?
Turun? Berarti kita memang sedang jatuh?
Tapi yang lain tampak tenang sekali.
Jatuhnya juga pelan.
Mungkin memang tidak apa-apa.
Aku memutuskan untuk diam saja.
Tak lama kemudian getaran dari ruangan kami berhenti.
Kurasakan kita juga sudah tidak bergerak turun.
“Kita sudah sampai, ayo.”
Ayah membuka pintu satu-satunya di ruangan itu.
Ketika keluar, betapa terkejutnya aku.
Harusnya ruangan sebelah adalah rumah minum.
Tapi, ruangan ini menjadi lebih gelap dan sangat luas.
Terlihat beberapa orang ada di situ.
“Kami dari kelompok Millstone dan Uprave.” Kata ayah pada orang-orang di situ.
“... Baru kalian yang datang? Bagaimana dengan yang lain?” Kata salah seorang dari mereka.
“Entahlah, kami juga mengira harusnya ada yang sudah lebih dulu.” Jawab ayah tenang.
“Hmph... Baiklah. Kalian istirahat dulu saja, kalau yang lain sudah datang baru kita mulai.” Kata orang tersebut.
“Baiklah. Oh iya, sebelum itu...”
Ayah menceritakan mengenai tawanan kami, dibantu juga oleh Bibi Valeria.
“Oh...? Baguslah. Bawa saja dia di ruang interogasi. Kita akan tanyai dia nanti.”
Orang itu lalu menatapku.
“Ini anakmu?” Tanya orang itu.
“Iya, ini putraku satu-satunya. Ayo, kenalkan dirimu Ndre pada Paman Gennady.”
Kutatap wajah orang tersebut.
Woah, mukanya cukup seram ternyata.
Banyak luka di wajahnya.
Brewokan lagi.
Aku membungkukkan badanku.
“Salam kenal Paman Gennady, namaku Andre. Aku putra satu-satunya ayah dan ibuku.” Aku mencoba memperkenalkan diri sesopan mungkin.
“Hmph... Kau sopan juga. Ya sudah. Sana ikuti ayahmu.” Kata Paman Gennady.
Kami pun berlalu dari hadapannya.
“Sayang sekali kau harus melepas jabatanmu. Padahal kau lebih cocok daripada Pavel.” Kata Paman Gennady dari belakang kami.
“Aku melakukannya karena aku menikah dengan Alice. Aku tidak ingin membuatnya khawatir. Apalagi aku juga sudah punya anak sekarang.”
“Hmph... Seharusnya kau tidak usah menikah. Kau lebih berguna saat menjadi pimpinan kelompok Millstone.”
“Maaf, tapi sebaiknya kita tidak usah melanjutkan perbincangan ini. Permisi.”
Kami pun melanjutkan berjalan ke tempat istirahat.
Apa-apaan itu?
Kurang ajar sekali dia.
Mau menikah atau tidak kan haknya ayah?
Kenapa dia ngatur-ngatur?
Aku kesal sendiri.
“Tinggalkan saja keluargamu, Novel. Titipkan anakmu di panti asuhan atau apa. Aku ingin kau menjadi pimpinan lagi. Lagipula, dia ini hanya bocah yang akan menyusahkan saja.”
Oke ini sudah keterlaluan.
“Maksudmu apa dengan bocah yang menyusahkan?”
Ah sial, aku keceplosan.
“Hmm...? Kau itu kan hanya bocah yang nggak bisa apa-apa. Aku yakin saat pertarungan pun kau hanya bergantung pada orang lain kan? Palingan kerjamu hanya menangis di belakang. Apanya yang tidak menyusahkan dari itu?”
Perkataannya memang benar.
Saat keluargaku hendak dieksekusi, aku tidak bisa melakukan apapun.
Saat pertarungan di perjalanan kami menuju Balmoral, aku juga hanya berlindung di belakang Paman Igor.
Aku tidak bisa menjawabnya.
Tapi aku kesal dengan kata-katanya.
“Gennady... Aku sudah cukup lama mengenalmu. Kata-katamu memang menusuk seperti biasa. Tapi kali ini kau sudah keterlaluan.”
Kurasakan amarah Bibi Valeria pada Gennady.
“Ha...! Memangnya di mana letak kesalahanku? Aku hanya mengatakan apa adanya. Kenapa malah kau yang jadi marah? Memangnya kau ini ibunya? Ah iya, aku tak melihat istrimu, Novel. Di mana dia?”
“... Dia sudah meninggal... Terbunuh saat ada insiden di Millstone.” Kata ayah gemetar.
“Kubilang juga apa! Keluargamu itu hanya penghambat! Dari dulu aku juga sudah tidak setuju mengenai pernikahanmu dengan si jalang itu. Sudahlah, Novel. Tinggalkan saja keluargamu!”
Jalang...?
Kau mengatai ibuku jalang?
“Kau... Tidak akan kumaafkan...”
“Hmm...? Kenapa? Kau mengatakan sesuatu?”
“KAU...!”