Di tengah perjalanan, kami pun berhenti.
Aku keluar dari kereta kuda.
Kuregangkan badanku.
Uuuukkkhhhhh....
Enak sekali rasanya bisa meregangkan badan setelah setengah hari duduk.
Kulihat pemandangan sekitar.
Kami berada di dekat padang rumput ternyata.
Aahhhh...!!!
Kurebahkan tubuhku di rerumputan bersama beberapa orang yang turut ke Plemenita juga.
Nyaman sekali rasanya.
Aku jadi mengantuk...
Kupejamkan mataku perlahan...
Sudut Pandang David
Ah, akhirnya kami istirahat juga.
Capek sekali meski hanya duduk.
Aku turun dari kereta kuda bersama dengan yang lain.
Andre langsung meregangkan badannya begitu turun.
Ikutan ah.
Uuuuuukkkhhh!!!
Wenak sekali memang.
“Jadi... Apa yang mau kau bicarakan?”
Novel berbicara dari belakang.
Ah iya, aku memintanya untuk ikut denganku sebentar tadi.
Kalau Novel tidak mengingatkanku, mungkin aku akan benar-benar lupa.
Kata-katanya pada Andre tadi itu...
Sepertinya mereka tidak terlalu dekat ya.
Haahh... Semoga apa yang akan kubicarakan ini akan sedikit membuatnya berubah.
“Ah, iya. Ayo kita ke sana” kataku sambil menunjuk sebuah batu besar di dekat situ.
Batu itu cukup jauh dari orang-orang.
Aku perlu membicarakan ini dengan Novel.
Aku juga tidak ingin kata-katanya malah membuat Andre tidak nyaman.
Bagaimanapun, mereka ini ayah dan anak.
Jangan sampai kata-katanya malah memicu pertengkaran di kelompok ini.
Aku juga tidak tahan kalau ada yang saling bertengkar seperti itu.
Kami pun sampai di batu yang kumaksud.
“... Apa yang mau kaubicarakan?”
Mmm... Bagaimana memulainya ya...
Ah begini saja.
“Kalian sepertinya tidak terlalu akrab ya?”
Mendengar pertanyaanku, Novel memasang wajah bertanya-tanya, tapi hanya sebentar.
Aku rasa dia memahaminya.
“... Begitulah. Andre lebih sering berbicara dengan Alice di rumah. Aku selalu sibuk bekerja.”
“... Yah... Aku paham perasaanmu, Novel. Putraku, Arthur juga lebih dekat dengan ibunya daripada aku.”