Kutkh

Alexandro Pradeska Gunawan
Chapter #26

Bualan

Sekarang adalah hari ketiga kami di perjalanan.

Selama dua hari kemarin tidak banyak hal yang terjadi.

Hanya saja, ayah sedikit lebih lunak padaku sekarang.

Aku juga sudah lebih terbuka dengannya.

Entah apa yang terjadi sehingga ayah berkata seperti itu saat hari pertama.

Mungkin karena itu juga sekarang ia menjadi lebih lunak.

Kereta kuda kami terhenti.

“Ada apa?” Tanya ayah pada kusir.

“Sebentar, pak.” Kata si kusir sambil turun.

Ada beberapa kereta kuda yang berjalan menuju Plemenita.

Kulihat masing-masing kusirnya turun lalu mendiskusikan sesuatu.

“Palingan mereka sedang membahas rute yang akan kita lalui.” Kata David.

Rute...?

Memangnya kita belum menentukan rute ke sana?

Kemarin-kemarin perasaan nggak seperti ini.

“Memangnya ada apa, pak guru?”

“Rute kita akan melewati gunung setelah ini. Tapi kudengar baru-baru ini ada bandit yang muncul di sana. Mungkin kita akan lewat jalan memutar.”

Jalan memutar...

Jangan bilang jalannya akan sangat jauh.

Pak kusir kembali ke kereta kuda.

Wajahnya terlihat sedikit khawatir.

“Maaf menunggu. Kita akan mengubah rute perjalanan. Jalan lewat gunung sedang berbahaya saat ini.”

Benar kata David, kita akan memutar.

“Apa kita akan mengambil jalan memutar?” Tanya ayah.

“Ya... Memang jalan itu lebih jauh, tapi lebih terjamin keamanannya.”

 

“Berapa lama kalau lewat situ?”

“Kurang lebih 4 hari kita akan sampai ke Plemenita.”

4 hari...!?

Itu kan durasi perjalanan normal!

Berarti, kalau memutar akan menambah waktu dua hari dong.

Bagaimana dengan perbekalan kami?

Kudengar juga perbekalan kami pas-pasan karena uang yang kami bawa juga tidak seberapa.

“Bukankah terlalu lama kalau 4 hari? Kami sudah tidak punya bekal sebanyak itu.”

“Mau bagaimana lagi, pak. Lebih baik menghemat bekal daripada kena serang para bandit itu.”

Ayah terlihat berpikir.

“David, Fyodor, kalian bisa bertarung kan?”

Jangan bilang ayah akan bertarung melawan bandit-bandit itu.

“Jangan bilang kau mau melawan mereka.”

Sip, David sepertinya sepemikiran denganku.

Sangat berbahaya melawan bandit yang tidak kita ketahui jumlah dan kekuatannya.

“Aku sih ayo aja. Tanganku juga sudah agak kaku beberapa hari tidak latihan.”

Oh ya ampun...

Mereka ini benar-benar tidak peduli dengan risiko ya...

“Fyodor?”

Kulihat wajah Paman Fyodor.

Matanya menatap tajam tapi badannya gemetar.

Sebenarnya dia ini marah atau takut sih...

“Ayo kita lakukan.” Jawab Paman Fyodor.

Mereka bertiga mengangguk bersamaan.

Eh...?

Benar-benar deh...

“Baiklah kalau begitu. Kita bertiga akan melindungi kereta kuda ini dari para bandit.”

Tunggu... Bertiga?

Aku gak diajak?

Kan aku bisa bela diri juga.

“Aku bagaimana?”

“Kau berlindung saja di dalam kereta kuda, Ndre.” Kata ayah.

 

“Tapi... Aku kan sudah bisa bela diri, yah.”

“Kau masih belum mahir bertarung Ndre.”

“Tapi...!”

David menghentikan kalimatku.

“Ayahmu benar. Saat ini kau masih belum bisa bertarung. Gunakan teknik-teknik yang kuajarkan untuk melindungi dirimu saja dulu.”

...

Kalau guruku sendiri bahkan juga mengatakannya...

Ya sudahlah, mungkin memang aku belum bisa bertarung.

Kalau kupikir lagi, bisa-bisa kejadian saat aku duel dengan Gennady terulang jika aku ikut bertarung.

“Kau jangan bangga dulu dengan kemampuanmu sekarang. Masih banyak yang perlu kaupelajari.” Kata David sambil tersenyum lebar.

Iya, iya. Aku mengerti.

“Pak, kita ambil jalan lewat gunung saja. Kami bertiga akan melindungi kereta kuda ini. Tenang saja, kami ini veteran ksatria kudus.” Kata ayah pada pak kusir.

Heh, bohongnya mantap sekali.

Mana ada ksatria kudus yang kerjaannya merampok bangsawan.

Ayah memang mantap.

“Huh? Kalian ini veteran ksatria kudus? Tapi aku belum pernah melihat kalian.”

“Tentu saja, kami ini ada di divisi khusus. Tapi sekarang kami sudah bukan ksatria lagi.”

Pak kusir manggut-manggut.

“Baiklah kalau begitu. Aku percaya dengan kalian. Aku akan memberitahu yang lain dulu.”

Sebelum pak kusir itu turun lagi, ayah memegang pundak pak kusir, mencegahnya untuk turun.

“Tapi, kami tidak bisa kalau harus melindungi semuanya. Bisakah kalau hanya kita yang lewat sana? Biarkan yang lain lewat jalan lain. Kami agak terburu-buru juga soalnya.”

“... Kalau itu... Baiklah, akan kubicarakan dengan yang lain.”

Ayah melepaskan tangannya, pak kusir itu pun turun.

Kulihat ia berbicara pada kusir-kusir yang lain.

Terlihat sedikit ada perselisihan, tapi nampaknya bisa beres.

Tak berapa lama kemudian, pak kusir kembali ke kereta kuda membawa seseorang.

“Baiklah, sesuai katamu tadi, kita akan lewat jalan gunung sendirian. Tapi akan ada tambahan penumpang di sini.”

Lihat selengkapnya