Kutkh

Alexandro Pradeska Gunawan
Chapter #31

Plemenita

Akhirnya setelah melakukan perjalanan berhari-hari, kami pun sampai di Plemenita.

Paman Yaroslav berpisah dari kami di sana, namun masih berada di kota yang sama. Ia hendak beristirahat di gereja sembari memikirkan sesuatu sebelum kembali ke Balmoral.

Plemenita, sebuah kota yang tidak terlalu besar namun cukup megah, meski masih kalah dengan Balmoral.

“Jadi ini Plemenita...?” Gumamku.

“Nah, ayo kita sekarang pergi ke tempat Tuan Stojan.”

Sambil membawa barang bawaan kami yang tak banyak, kami berjalan menyusuri kota.

 

Wah... Banyak sekali orang berlalu-lalang. Kota ini benar-benar tidak kalah semarak dengan Balmoral.

Meski ini bukan kota perdagangan, tapi ramai sekali. Kenapa bisa begitu ya?

Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah yang begitu besar dan megah.

“Berhenti!”

2 orang prajurit menghentikan kami saat hendak masuk.

“Ini adalah kediaman Tuan Stojan Skromnyyva! Tidak ada yang boleh masuk tanpa kepentingan!”

“Hoh, tentu saja kami punya kepentingan.” Kata David.

 

“Tuan Stojan tidak punya urusan pada gelandangan seperti kalian! Pergilah, sebelum kami paksa!”

“Oh ayolah, aku dulu pernah bekerja di sini. Kalian mungkin tidak mengenalku karena kalian masih baru. Apa ada orang lama yang bekerja di sini? Beritahu kalau David hendak berkunjung.”

Mendengar nama David, kedua penjaga itu terlihat berpikir.

“Tunggu di sini!” Kata salah seorang prajurit sambil masuk ke dalam.

 

Kami pun menunggu beberapa saat.

Akhirnya ada seseorang yang berlari ke arah kami dari dalam gerbang.

“PAK DAVID!! BENAR ITU KAU!!??” Teriak orang tersebut.

Terlihat seorang pria paruh baya berpostur tegap dan kekar dengan luka tebasan di mata kirinya.

“Suara itu... Marko!? Kau Marko!?”

Mereka berdua lalu mengucapkan salam dengan lengan mereka, mereka terlihat sangat akrab.

“Dari mana saja kau pak!? Aku sampai lelah menunggu!”

“Ahahaha!! Aku ada urusan beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana kabarmu?”

 

“Tak pernah sebaik ini! Ayo, ceritakan semuanya padaku di kedai langganan kita!”

“Mantap! Tapi, sebelum itu ada yang ingin kubicarakan dengan Tuan Stojan, apakah beliau ada?”

 

“Tuan Stojan...? Ah, beliau sedang pergi ke ibukota. Ada pertemuan dengan baginda kaisar.”

“Oh? Kapan beliau kembali?”

 

“Masih sekitar sebulan lagi. Baru seminggu sejak kepergian beliau.”

“Hm...”

David berpikir sejenak.

“Apa ada hal penting yang mau kausampaikan?”

“Tidak, aku hanya ingin memberitahu kalau aku akan berada di sini untuk beberapa waktu bersama mereka.” Kata David sambil menunjuk kami.

 

“Hm? Siapa mereka?”

“Mereka rekan-rekanku. Itu Novel, Fyodor, dan Andre.”

 

“Rekan...? Memangnya anak kecil itu rekanmu juga?”

“Oh, Andre itu muridku. Dia belajar menggunakan rapier dariku.”

 

“Bahahaha! Kau belum berubah ya pak! Masih saja jadi instruktur dadakan! Tenang saja, kalau itu pasti beliau takkan keberatan!”

“Haha... Semoga demikian. Kalau begitu, kami ke penginapan dulu ya, kami mau menaruh barang dan beristirahat dulu.”

 

“Eeehhh!? Sekarang!? Ayolah, kita ngobrol dulu!”

“Nanti saja, kalau kami sudah selesai menaruh barang. Kita bertemu di kedai biasanya ya.”

Kami pun berlalu dari hadapannya lalu berjalan menuju ke penginapan yang dimaksud oleh David.

“Teman lama, Vid?”

“Yahh, bisa dibilang begitu. Dulu dia masih jadi prajurit biasa dan begitu ingin belajar dariku. Akhirnya kami sempat berlatih bersama meski hanya beberapa kali. Tak kusangka ia menjadi sangar begitu.”

Apa aku bisa menjadi sepertinya...?

Kami sama-sama dilatih oleh David kan?

Semoga saja...

 

...

 

Kami akhirnya sampai di penginapan. Segera setelah memesan kamar, kami masuk ke kamar masing-masing lalu meletakkan barang bawaan kami. Kali ini satu kamar isinya 2 ranjang, jadi kami memesan 2 kamar. Aku sekamar dengan ayah, David bersama Paman Fyodor.

Tak lama setelah kami meletakkan barang, David dan Paman Fyodor masuk kamar kami.

“... Jadi, bagaimana ini...?”

“Uang kita tinggal sedikit....”

“Sebagian besar bawaan juga sudah diambil oleh bandit gunung itu, meski ada beberapa barang berharga yang tidak diambil.”

“Kita harus menunggu selama sebulan untuk mendapatkan bantuan dari Tuan Stojan.”

Kami menghela napas bersamaan lalu terdiam.

“Bagaimana kalau kita cari kerja di sini?” Usul ayah.

Lihat selengkapnya