Tak terasa sudah sore.
Padahal aku hanya membereskan gudang, tapi waktu berjalan dengan sangat cepat.
Mungkin karena belanjaannya sangat banyak jadi memakan waktu lama juga.
Budimir masih saja menggerutu saat aku bekerja dengannya, namun ia sudah tidak sekasar tadi. Malah ia terlihat merasa bersalah karena sesuatu.
Yah, mungkin itu memang sifatnya.
Jujur saja, mendengar gerutuannya membuatku ikut kesal juga. Tapi aku juga belajar banyak hal darinya bahkan di hari pertamaku ini.
“Fiuh, selesai sudah.” Kata Budimir.
“Haah...” Aku menghela napas.
“Belanjaan hari ini benar-benar gila...”
“Ya... Banyak sekali memang... Tunggu, memang biasanya tidak sebanyak ini?”
“Biasanya hanya sedikit, soalnya aku sering mendata apa saja yang sudah mau habis lalu dibeli keesokan harinya. Biasanya salah satu dari kami yang belanja sendirian sudah cukup.”
“Lalu kok tumben hari ini segini banyaknya pak?”
“Entahlah, tanya sendiri sana sama master.”
Kami berdua terdiam sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah kami.
Hari ini benar-benar melelahkan...
“Hei... Anu...” Budimir mulai bicara kembali.
“Hmm...?”
“Aku minta maaf untuk yang tadi... Aku benar-benar minta maaf karena sudah membentak-bentakmu dan mengatai ayahmu.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku sedikit terkejut melihat Budimir yang sikapnya benar-benar berbeda dari tadi siang. Tadi ia sudah minta maaf sih, tapi kali ini aku melihatnya minta maaf dengan tulus.
Kuulurkan tangan padanya sebagai tandaku menerima permintaan maafnya.
“Sama, aku juga minta maaf untuk yang tadi karena sudah memukul bapak.”
“Ya... Aku tidak tahu kalau kau sudah kehilangan ibumu. Maaf aku tadi sampai mengatainya juga.”
“... Yah... Tidak apa-apa... Tunggu, bapak tahu dari mana?”
“Tadi master yang bercerita padaku.”
Jadi... Master tahu mengenai ini...? Siapa yang memberitahunya? Lalu, sudah sampai sejauh mana ia tahu?
“Ada apa?” Perkataan Budimir membuyarkan lamunanku.
“Ah, tidak apa-apa pak.”
“Kalian masih di sini rupanya.”
Sesosok pria yang kukenal muncul dari balik pintu belakang kedai.
“Ah, Paman Fyodor! Sudah selesai bekerja?”
“Tentu saja belum. Bukankah ini sudah waktunya, Ndre?”
Waktunya...? Ah iya!
Aku harus menemui David setelah ini untuk berlatih.
“Ah, iya juga. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas bimbingannya hari ini, Pak Budimir! Besok ayo kita bekerjasama dengan lebih keras lagi!” Kataku sambil membungkukkan badan pada Budimir.
“Hah, lebih keras? Yakin nih ya, besok siap-siap saja kau!” Kata Budimir dengan tatapan tajam.
Oke, aku mengharapkan dia akan tertawa, tapi kalau begini aku malah jadi takut.
“Anu... Mungkin seperti hari ini saja cukup, pak...”
Seketika saat aku mengatakannya, tawa Budimir meledak.
“BUAHAHAHAHA!!! Ya sudah, sana pergi kau! Kutunggu besok!”
Mendengarnya tertawa aku menjadi sedikit kesal karena aku dipermainkan.
Aku pun segera ngeloyor masuk kedai untuk berpamitan pada master.
Niatku ingin berpamitan dengan yang lain juga, tapi karena kedai sudah mulai beroperasi, lebih baik aku tidak mengganggu pegawai lain.
Setelah berpamitan, aku segera meninggalkan kedai lalu bergegas menuju tempat David.
Kalau tidak salah... Harusnya lewat sini, tapi kenapa nggak ada?
Kan di sini perempatannya lalu...
Tunggu... Aku tersesat?