Segerombol kelelawar mengepakkan sayap perkasa di gelapnya angkasa malam. Pohon kelapa meliuk-liuk mengikuti hembusan angin. Bulan sabit mengintip dari balik sekumpulan awan hitam yang menurunkan rintik-rinrik air, cukup menyapu kabut hutan yang mengepul. Sebuah rumah kayu berdiri kokoh di tepi hutan. Rumah beratapkan daun rumbia, berdinding talang yang dijalin, bertopangkan tonggak kayu laban dan ditinggikan lima anak tangga dari tanah. Beranjungan. Konon katanya anak tangga yang lima itu merupakan isyarat untuk menghindari kesialan rumah dinaiki harimau. Tatkala ada rumah memiliki anak tangga empat akan malar diganggu binatang buas baik penghuni rumah maupun hewan ternak si pemilik rumah. Hingga masyarakat sekitar tak berani memasang anak tangga kurang atau lebih dari lima.
Begitu pun halnya dengan rumah ini. Halaman luas hampir menyamai luasnya lapangan sepak bola dipenuhi sampah-sampah berserakan, meninggalkan sisa-sisa pesta satu hari yang lalu. Lampu strokeang, petromaks berbahan bakar minyak tanah yang ditekan ke atas, diubah menjadi uap untuk memanaskan kaus lampu hingga berpijar, bergelantungan disetiap sudut rumah. Sepeda ontel tua dengan kertas polombe, kertas tanda bebas pajak masih menempel utuh di stang sebelah kanan yang bersandar di tonggak kayu.
Kasiarni resah menunggu Suhendra di dalam bilik pengantin. Gadis 18 tahun dengan wajah polos nan anggun menggelintir rambut ikal yang menjulai di bahunya. Baju kurung bermotif daun paku bunga belimbing terlihat ramping dipalutkan ke tubuh mungilnya. Gadis yang masih sangat belia bila harus menjadi seorang ibu. Tapi apa harus dikata begitulah nasib anak perempuan di negeri ini segera balaki kalau sudah beranjak remaja. Laki-laki boleh menuntut ilmu dengan pergi ke sekolah sedang anak perempuan hanya ditujukan untuk mengurus rumah, laki, dan anak bila waktunya telah tiba. Anak perempuan dirasa tidak perlu menuntut ilmu karena tugasnya akan tetap berakhir di dapur, sumur, dan kasur. Setidaknya begitulah pemikiran orang-orang pada waktu itu. Detakan jam besi bergaya klasik perlahan mengikuti detak jantungnya, risau mengigat pujaan hatinya tak kunjung datang. Ia mendekati jendela, menatap ke langit membidik bulan sabit yang dihalangi awan. Sungguh tak adil di hari nan indah ini mesti disertai cuaca suram gerimis dan angin kencang.
Dari arah luar sayup terdengar nyanyian Telaga Sunji dari Koes Bersaudara sebuah nyanyian yang populer di kalangan anak muda. Suara parau keluar dari radio empat baterai itu kena pukul bila bunyinya mulai melong dan melambat. Sesekali pecah gelak tawa Mak Uncu, saudara ibu paling kecil dan Mak Datuak, kepala suku serta beberapa orang pemuka adat lainnya. Mereka asyik mengopi melepas penat telah mengadakan pesta beberapa hari belakang. Di Minang khususnya Pariaman pesta pernikahan diadakan di rumah mempelai masing-masing. Diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, hari pertama adalah hari nikah, hari kedua Sumandan, kunjungan mempelai laki-laki yang kemudian diikuti oleh Manjalang, kunjungan mempelai perempuan dan ditutup pada hari ketiga Manjalang Duo, kunjungan kembali mempelai perempuan.
Teng... Teng... Teng...
Besi tua di dinding talang itu mengeluarkan bunyi dua belas kali. Seakan menyuruh makhluk hidup yang masih membelalakkan mata segera menuju tempat peristirahatan. Dari arah kegelapan sebercak cahaya muncul. Semakin lama semakin jelas. Kasiarni menatap lamat-lamat, ia menahan nafas sejenak matanya tiada berkedip. Kian lama ia yakin itu bukanlah ekor kunang-kunang yang tengah berpesta. Itu sorotan lampu senter. Melihat itu terobati sedikit rindu membara yang sedari tadi mencekiknya. Perlahan ia tutup jendela bergegas menuju muka rumah menemui sang pemilik cahaya. Pintu kayu berdecik ketika tangan mungilnya meraih gagang pintu. Ia berlari menuju pintu utama mencari jalan keluar dari rumah ini. Saking girangnya ia tak menyadari kakinya telah menyenggol teko berisi kopi panas. Kopi tumpah ke lantai dan menjelanak melalui sela-sela papan yang pada akhirnya jatuh ke bawah rumah. Ayam-ayam berkelabung kesana-kemari merasakan cairan panas menguyur sekujur tubuhnya, berkotek-kotek dikiranya ia akan dijadikan gulai.
"Ada apa Arni?"
Kasiarni tidak mendengar pertanyaan terlontar dari mulut Mak Uncu. Ia terus berlari menuruni anak tangga. Hentakan kakinya membuat rumah kayu itu sedikit terasa seperti gempa kecil. Cemas melihat anak gadis meninggalkan rumah tengah malam, Mak Uncu dan beberapa orang lainnya mengikuti dari belakang.
Kring... Kring... Kring...