Dinda menyambar gelas di atas meja lalu mencorehkan air dingin ke dalamnya. Ia mengisi gelas sampai penuh kemudian mendeguk dengan satu kali tegukan. Dahaganya lepas ia merasa sedikit tenang. Ditariknya kursi yang menempel pada meja makan di ruang tengah, ia duduki dan layangkan pandanganya ke luar. Dari balik kaca jendela tampak bulan sabit melayang mematung seakan menontonya dari atas sana. Dinda menatap sinis bulan sabit ia selalu menyesalkan kemunculannya setiap malam. Ia berharap bulan itu tak pernah ada. Hatinya kembali panas ia genggam gelas kuat-kuat. Belaian hangat tiba-tiba merasuk menyelinap ke sela-sela rambutnya. Ia sontak menoleh, perempuan paruh baya berwajah sendu membelainya dengan lembut. Wanita berkulit sao matang, berbadan kurus mengenakan daster tipis berdiri di belakang Dinda.
"Apa Makwo sudah tidur kembali?"
"Hmm..." Dinda menjawab dengan anggukan ia masih enggan bicara. Hatinya masih sakit. Sakit melihat Makwo setiap malam mengigau dan kejang-kejang. Rasa sesal selalu menghantamnya. Tak ada yang bisa menenangkan Makwo kecuali dirinya. Bila sudah mengigau Makwo pastilah menangis dan memeluk erat tubuh mungil Dinda.
"Jangan sedih Arni, suamimu pasti kembali tunggulah sedikit lebih lama lagi ia akan datang membawakanmu pinyaram, ia tahu kau sangat suka makanan itu" Makwo Sering mengucapkan kata yang sama setiap kali ia terbangun di tengah malam. Matanya menatap iba pada Dinda.
Sepuluh tahun yang lalu ketika keluargga itu pergi berziarah ke makam Ayahwo, suami kedua Makwo yang meninggal satu tahun sebelumnya. Mereka menyempatkan diri mengunjungi rumah tua di tepi hutan di kaki gunung Tandikek. Melewati hutan jati berusia ratusan tahun membuat Dinda terbelalak tak bisa membayangkan hidup diantara pepohonan yang besar tanpa listrik, tanpa kendaraan, tanda ada alat komunikasi, jauh dari pemukiman penduduk, dan pastinya selalu berhadapan dengan binatang buas penghuni hutan. Rumah kayu nan besar itu sudah disarangi beberapa burung dan serangga. Anak tangga lima buah kini tinggal empat itu pun sudah mulai keropos dan dimakan rayap. Sudah sepatutnya rumah yang tidak dihuni manusia selama puluhan tahun akan dihuni pula oleh makhluk lain. Berbagai jenis hewan mulai dari bangsa unggas, serangga, dan hewan melata menempati tempat kesukaannya di setiap sudut rumah.
"Disinilah Bundamu dilahirkan dengan bantuan Utiah Baya, dukun beranak sakti nan tangguh hanya bermodalkan kain sarung, dulang, dan talang tajam ia membantu Makwo melakukan persaliann" Kasiarni menepuk-nepuk kasur tua dipenuhi sarang laba-laba dan bolong dimakan semut. Bilik kayu itu masih tertata rapi dengan perabotan tak kurang sedikit pun. Hanya saja terlihat usang dan dipenuhi debu tebal. Jam besi bergaya klasik menempel erat di dinding talang. Lemari kayu persegi empat padat dengan pakaian-pakaian tua era 60-an.
Dinda was-was mengeledah setiap sudut bilik itu. Ia melihat meja rias berukuran satu meter dipenuhi perlengkapan make-up usang berserakan di atas dan kolong meja. Ia tersenyum mengangkat lipstik versi tahun 60-an. Satu yang menarik hatinya di tahun 60-an ada kain beludru berkualitas tinggi. Ia meraba kain beludru berwarna abu-abu, kain sejenis tenunan berbulu yang potongan benangnya dibagikan sama rata dengan pile pendek dan padat yang memberikan rasa lembut tersendiri, terselip di atas meja rias di samping cermin. Tersa hangat.
Ciiit... Ciiit... Ciiit...
Dinda terperanjat seekor tikus seukuran kucing menjerit dari balik cermin. Sang tikus sama kagetnya dengan Dinda tiba-tiba menyentuh mesra bulunya. Dinda syok, jantungnya bedegup kencang, nafasnya cepat, dan lipstik ditangannya terlempar jatuh menggelinding ke bawah dipan tempat tidur.
"Ada apa Dinda?"
"I... Itu kain yang berubah menjadi kucing. Tidak, itu bukan kucing. Kucing seharusnya mengeluarkan suara kucing. Hewan itu mencicit seperti suara hewan pengerat. Tidak, itu bukan hewan pengerat. Hewan pengerat harusnya berukuran seperti hewan pengerat. Tubuh hewan itu melebihi tubuh seekor kucing" Dinda bicara ngelantur. Kasiarni dan Ilham serentak menghampiri siap siaga kalau ada yang mengancam keselamatan mereka. Sesaat kemudian mereka malah tertawa melihat ekspresi Dinda yang salah sangka terhadap tikus.