"Selamat pagi One" Iqbal mengangguk mengucap salam. One adalah panggilan kepada wanita yang lebih tua selain Uni, Elok, dan Ayang. Iqbal melayangkan senyuman mautnya. Ia melirik ke dalam seperti ada yang dicari. Karmila paham dan peka dengan lirikan Iqbal langsung menjawab tatapannya.
"Dinda masih besolek, maklumlah perempuan membutuhkan lebih banyak waktu merias diri. Berjibun yang harus dilepongkan ke mukanya. Mari masuk sarapan dulu, lagian ini masih terlalu pagi. Entok saja enggan keluar dari kandangnya" Karmila mempersilahkan Iqbal masuk rumah. Tapi pemuda itu malah cengegesan menolak ajakan Karmila.
"Tidak udah One, saya tunggu Dinda di sini saja. Saya juga sudah sarapan" Karmila tersenyum-senyum mendengar jawaban Iqbal. Anak yang dikenalnya sejak ia masih dalam kandungan ibunya. Pemuda yang selama ini mengisi keseharian putrinya baik di rumah maupun di tempat kerja. Rumahnya kira-kira 1 kilometer dari rumah Dinda. Masih satu kampung. Kampung Panyalai. Tapi beda suku.
Iqbal adalah pemuda ramah dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi, lelaki dengan IQ 141 ini membuat ia dipercayakan menjadi ketua pemuda di kampung Panyalai. Di Minang laki-laki harus pandai MANGECEK, berbicara dengan papatah- petitih Minang, tahu dengan seluk-beluk adat jadi tempat bertanya dan mengadu bagi orang lain, sebab tugas laki-lagi sangatlah berat dimulai sejak ia menginjak remaja. Ia jadi pemuda mengayomi dan membimbing pemuda lain, jadi kakak atau adik laki-laki menjaga saudara dan keluarga, jadi Mamak menjaga kemenakan, jadi Inyiak menjaga cucu kemenakan, dan bahkan jadi Datuak menjaga satu kaum. Tapi, ada dua macam laki-laki di Minang. Pertama, laki-laki ibarat batang durian berbuah lebat dan enak rasanya, meskipun tumbuhnya di rimba tetap akan dicari, dibersihkan rumpunnya, dibuatkan pondok, dan ditunggui. Kedua, laki-laki bak batang durian yang tidak berbuah atau buahnya lebat tapi hambar tidak ada rasa, walapun tumbuh di tepi halaman daunnya pun tak sudi orang untuk menyapu. Jika ada masalah dalam keluarga maupun sanak famili anak laki-lakilah yang bertugas menjernihkan yang keruh, meluruskan nan bengkok, bukan ayah sebab peran ayah dalam keluarga adalah Urang Sumando, tamu atau pendatang ke keluarga ibu. Ibarat abu di atas tunggul bila tertiup angin akan terbang melayang. Jika bercerai ayahlah yang pergi meninggalkan rumah. Begitulah adat menjaga perempuan.
"Tidak usah malu, bukankah dulu kamu sering main kesini. Bermain, belajar, dan mengaji bersama Dinda. Bahkan kalian pernah mandi hujan bersama. Sudahlah. One tahu, pemuda yang tinggal sendiri sepagi ini pastilah ia belum sarapan. Kapan Amak dan Ayahmu pulang dari Aceh?" Iqbal tersipu malu, telinganya memerah membayangkan masa kecilnya. Dulu ia memang sering main dan belajar dengan Dinda, mandi hujan, main kejar-kejaran, menyabit rumput untuk makan sapi-sapi milik Amak Iqbal, berkubang di sawah hingga digigit lintah. Tapi sekarang mereka telah beranjak dewasa lama-lama jarak dan rasa malu muncul dan semakin membesar. Iqbal yang dulu tidak segan membuka baju, celana, dan hanya menyisakan kolor bolong di bagian ekor di depan Dinda ketika mandi di sungai. Kini memakai celana pendek saja ia gensi. Dulu ia tak malu memakan makanan sisa di kotak nasi Dinda, malah pernah ia memasukkan potongan kue talam ke mulutnya takut kue itu habis ia menyumpal penuh mulutnya hingga tampak seperti monyet makan dengan kedua pipi gembung. Bicara sambil makan sampai menyemburkan makanan ke muka orang yang ada di depannya.
"Iya One, sebenarnya saya belum makan dari tadi malam. Sekarang cacing-caring di perut saya seakan meronta-ronta minta diberi makan. Amak dan Ayah mungkin akan kembali minggu depan, selama Amak dan Ayah pergi saya lebih sering makan mie rebus, mie goreng, pop mie, bahkan mie mentah sampai-sampai rambut saya yang lurus ini hampir menyerupai bentuk mie" Iqbal menceritakan perasaian hidup tanpa orang tua. Ia hidup sendiri ditemani sapi-sapi kesayangan Amaknya.
Karmila berjalan menuju ruang makan diikuti Iqbal. "Iqbal!" Melihat istrinya membawa tamu masuk rumah Ilham buru-buru melipat koran favoritnya. Ia berdiri menghampiri Iqbal. Iqbal menjulurkan tangan dan disambut oleh Ilham. Di Minang khususnya Pariaman antara lelaki pantang bersalaman sambil cium tangan walau dengan orang yang lebih tua sekalipun. Ilham mempersilahkan Iqbal duduk. Ia menarik kursi di sebelah kursinya. Karmila bolak-balik dari dapur menuju ruang makan memikul nasi hangat dan beberapa lauk khas Pariaman, samba lado tanak, dendeng batokok, sayur pucuk ubi, gulai ikan nila, dan rendang yang sudah dihangatkan.
"Bagaimana kondisi di sekolah apa belum diperbolehkan belajar secara tatap muka?" Ilham membuka keheningan diantara mereka.
"Masih belum pak, beberapa minggu yang lalu sudah direncanakan untuk kembali ke sekolah tapi sebelum itu keluar berita Bupati kita positif terkena virus serta meningkatnya penderita virus ini di masyarakat, mengakibatkan masa PSBB diperpanjang hingga akhir tahun ini" Ilham geleng-geleng kepala seraya kembali membuka koran Singgalang yang tadi dilipatnya.
"Cobalah lihat betapa besarnya dampak virus ini pada perekonomian kita, semua harga bahan pangan menurun drastis, bagaimana tidak. Berapa banyak Universitas Negeri maupun Swasta yang ada di Padang mungkin puluhan dan berapa banyak mahasiswanya? Sebagian besar kota Padang diisi dengan mahasiswa. Sebagian besar pula pasar, rumah makan, kafe, dan restoran dikunjungi mahasiswa tapi kini mahasiswa itu pulang ke kampungnya masing-masing. Tentu penjualan di rumah makan, kafe, maupun restoran menurun drastis. Rumah makan yang biasanya memesan 50 biji kelapa tiap harinya kini mereka hanya pesan 10. Mereka yang biasanya menggunakan 20 kilo cabe kini hanya 5 kilo saja, itu disebabkan penjualan mereka menurun karena sedikitnya pembeli" Ilham kembali menggelengkan kepala. "Pasar Raya biasanya selalu ramai dengan pembeli kini hanya tinggal penjual yang duduk-duduk termenung menunggu satu atau dua pelanggan. Bahkan dagangan mereka busuk, toko banyak tutup, pedagang bangkrut dan petani menagis tidak sesuainya modal ladang dengan hasil panen" Iqbal mengangguk membenarkan perkataan Ilham.
"Bagaimana dengan harga kelapa sekarang Pak?" Iqbal melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan keseharian Ilham sebagai toke kelapa.
"Sangat mengecewakan, kita sebagai toke serba salah. Petani kelapa mengeluh kenapa harga kelapa sangat murah tapi pedagang juga meronta karena penjualan mereka menurun. Jika harga dinaikkan tidak ada yang mau beli sebab kelapa banjir para pedagang bertanding menurunkan harga kelapa asal dagangan mereka laku. Biarlah terjual murah daripada membusuk dalam gudang."