Tiin... Tiin...
Klakson mobil berbunyi cukup keras. Dinda tergegau bangun dari lamunannya, mobil Toyota Yaris warna merah tiba-tiba nyosor di belakangnya. Ia cepat-cepat merapikan muka berantakan bekas tumpahan air mata dan air keringat.
"Apakah marahnya sudah pergi?" Iqbal mencogokkan kepala di kaca mobil yang dibuka sedikit, tampak dengan susah payah ia menyorongkan kepalanya melaui celah sempit. Ia sengaja melakukan itu untuk mengoda Dinda. Ia monyongkan mulut dan satukan bola matanya ke tengah. Dinda sekonyong-konyong terkekeh-kekeh melihat Iqbal lebih mirip beruk juling terjepit pintu mobil. Memandang senyum siput telah kembali ke bibir manis Dinda, Iqbal merasa lega. Ia kembali memasang wajah normal. Senyum siput itu biasanya muncul jika suasana hati Dinda membaik.
Dinda menghampiri pintu mobil di sebelah kiri. Kali ini ia memilih duduk di belakang dengan begitu ia bisa menyembunyikan muka merah akibat menahan rasa malu. Saat mendaratkan pinggulnya di kursi mobil, Iqbal langsung melesat dengan kecepatan tinggi menuju kota Bukittinggi. Ia memilih jalan sepi melewati daerah Malalak supaya tidak terjebak macet di Padang Panjang. Memakan waktu kurang lebih satu jam dari Tandikek menuju MAN 1 Bukittinggi tempat MGMP, Musyawarah Guru Mata Pelajaran yang diadakan setiap sebulan sekali. Kebetulan bulan ini diselenggarakan di salah satu Madrasah Aliyah di kota Bukittinggi.
Dinda menurunkan kaca mobil menatap keluar jendela. Ia membiarkan angin pagi menusuk hingga ke tulangnya. Begitulah caranya menyiksa dirinya sendiri. Salah satu cara paling ampuh baginya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Bila menyangkut perkara jodoh atau laki-laki Dinda lebih memilih mundur karena itu hanya akan membuat hatinya sakit. Meskipun ia dikenal dengan gadis multitalenta berkrepibadian mengagumkan tapi tak satu pun laki-laki di Minang ini mau menerimanya sebagai pendamping hidup. Ia juga sadar akan posisinya sebagai anak sulung yang mendapat cap telah kena kutukan dari leluhurnya.
Salah satu harapan terbesarnya adalah Iqbal teman masa kecil, tetangga satu kampung, anak dari kawan Sang Bunda, sahabat setia, dan rekan kerja di sekolah yang sama. Mulai dari aktifitas pagi di sekolah, organisasi pemuda sore hari, guru mengaji di malam hari, ia kerap dihadapkan dengan pemuda itu.
Iqbal sangat memahami sifat Dinda, mengerti akan kesedihan dan kebahagiaannya, pandai mengambil hatinya, maklum dengan kekurangannya, mengetahui segala rahasianya baik kecil maupun besar sebab Iqbal merupakan pendengar yang baik, cakap mengambil keputusan menyangkut Dinda walau itu masalah pribadi atau masalah pekerjaan, menaruh minat akan segala kegiatan Dinda. Jika ada hal yang dilakukan Dinda pastilah ada Iqbal dibelakangnya, seperti saat Dinda mendaftarkan diri menjadi guru mengaji setiap hari sabtu dan minggu, Iqbal selalu berkeliling di surau di hari itu. Tiga bulan yang lalu Dinda bergabung dengan salah satu sanggar tari di kampung sebelah, sanggar yang mengajarkan tarian tradisional Minang seperti tari Pasambahan, tari Piring, Silek, Luambek, dan Randai, Iqbal lebih dulu mengajukan diri sebagai pengurus sanggar. Seperti halnya hari ini Dinda ditunjuk mewakili sekolah menghadiri MGMP mapel Biologi di Bukittinggi, Iqbal meminta kalau ia juga diikutsertakan dengan alasan menambah pengetahuan dan ingin mengenal para guru Biologi se-Sumatra Barat, walaupun nantinya ia tidak dibayarkan sebab yang diberi surat tugas oleh Kepala Madrasah hanya satu orang.
Melihat tingkah lakunya seperti itu pastilah setiap orang yang memandang menduga kalau Iqbal sangat menyukai Dinda. Tapi walaupun demikian tak pernah terucap di bibirnya kata cinta pada Dinda. Selama hampir 30 tahun mereka bersama tidak pernah sekalipun mereka membahas tentang hubungan pria dan wanita. Tidak salah jika Diana merasa kesal akan sikap Iqbal yang abu-abu tidak jelas warnanya. Kenapa sikapnya tidak seperti warna mobilnya saja merah menyala pastilah sudah ada kepastian hubungan mereka.