"Iya Kek, tiga hari lagi Yudi akan ke Padang. Yudi seakan telah merasakan deru pemandangan mengembang dalam paru-paru. Bukankah Kakek pernah mengatakan bahwa hutan akan membuat hati lembut. Hutan dan ladang, danau dan sungai, segala yang membentang di alam nan hijau adalah obat terbaik bagi mereka yang takut dan kesepian. Mereka juga akademi terbaik mengajari beberapa hal lebih baik dari yang dapat kita pelajari dari buku. Yudi ingin bebas dari kesumpekkan ini. Selama hampir 30 tahun Yudi hidup dalam kebisingan membuat otak membeku tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Rasa penasaran akan kampung halaman Kakek menjadi sangat besar dikala hari-hari itu semakin dekat" Yudi berbicara di telpon dengan seseorang nan jauh di Belanda sana yang dipanggilnya dengan sebutan Kakek. Sudah dua jam lebih telpon genggam itu menempel di telinganya hingga terasa panas dan menguap mengeluarkan cairan hangat.
Yudi memang sangat dekat dengan kakeknya. Setiap hal yang dirasa ragu tak segan ia bertanya, dikala ia dirundung gelisah pastilah ia mengadu serupa anak kecil merengek minta dibelikan balon. Tak hanya sifat dan karakternya yang sama parasnya pun bak pinang dibelah dua. Jika dilihat foto tahun 60-an tampaklah wajah culun Yudi menyeringai menghadap kamera. Padahal itu bukan dia melainkan kakeknya saat muda dulu.
Hampir 25 tahun ia dan keluarganya hidup dalam hingar-bingar kota Jakarta. Jikalau tidak di Jakarta kediaman orang tuanya pastilah ia sedang berada di Belanda tempat kakek dan nenek bulenya berada. Ia sudah penat, lelah, dan muak dengan keramaian dan semberautnya kota yang ia tinggali. Sesekali ia buka ponsel mencari reverensi keindahan dan ketenangan alam. Ia sudah tidak ingin hanya sekedar berlibur atau menghabiskan waktu senggang di puncak, pantai, dan pegunungan. Tinggal dan menetap di desa merupakan cita-cita terbesarnya, apalagi kakeknya yang datang dari desa pernah bercerita keelokan kehidupan di desa membuat hasratnya semakin mengebu.
Hingga suatu ketika ia diusulkan menjadi kepala sekolah. Ia lebih memilih diangkat di sekolah-sekolah perdesaan kalau ada yang paling pelosok sekali pun. Orang berlari ke kota ia malah kabur ke desa. Beberapa upaya ia lakukan mulai dari menyiapkan segala persyaratan, mengikuti tes, dan bantuan kecil dari salah satu temannya yang kebetulan mengajar pula di desa. Sumur digali air pun datang, akar dicari rotan yang dapat, pucuk dicinta ulam pun tiba. Nasib baik berpihak padanya ia diangkat menjadi kepala sekolah termuda di salah satu Madrasah di daerah Padang Pariaman Sumatra Barat.
Meskipun kedua orang tuanya tidak menyetujui keputusan sepihak itu, tapi ketetapannya sudah bulat tidak dapat diganggu gugat lagi. Kakek dan neneknya di Belanda juga telah menyetujui kepergiannya menuju ranah Minang. Kini tinggal tiga hari lagi ia akan mengucapkan selamat tinggal pada polusi dan hiruk-pikuk kota Jakarta. Tak henti-hentinya siulan keluar dari mulutnya. Setiap orang yang ia temui dihadiahkan senyuman tolol nan menggelikan, pada Mama, Papa, tukang bakso, tukang ojek pengkolan, satpam komplek, bahkan gelandangan yang ia temui ketika berdiri di halte menunggu kedatangan bus. Sekilas ia terlihat seperti orang tengah mabuk kepayang. Sekilas lagi seperti orang yang baru keluar dari rumah sakit jiwa.
Laki-laki dengan tinggi 176 cm dan berbadan sedang ini sering dijuluki bule nyasar. Rambut lurus agak panjang ia biarkan menutupi jidat lebarnya. Kulit putih seputih susu selalu ia tutupi dengan baju panjang, celana panjang, dan sebuah topi. Topi merupakan asesoris wajib baginya, kemana dan kapan pun ia pergi topi tidak pernah absen menempel di kepala bulatnya. Berbagai jenis topi ia koleksi dalam lemari sebesar kamar tidur. Lemari berukuran 7 kali 10 meter penuh diisi dengan berbagai jenis topi.
Topi fedora, walau terkesan klasik topi jenis ini cukup populer di kalangan anak muda, elegan dan berkelas. Topi yang dulunya digunakan oleh para gengster di tahun 1920-an. Jika sudah memakai topi ini ia sangat percaya diri karena menurut Yudi ia terlihat lebih mirip Bruno Mars. Topi Snapback, newboy hat, beanie atau kupluk dan bucket hat, topi ala-ala anak k-pop serta masih banyak lagi jenis topi lainnya.
Pakaian serba panjang dan ribuan macam topi itu sebenarnya ia gunakan untuk menutupi kulitnya. Lagi pula ia sedikit malu memiliki kulit mulus dan putih melebihi kulit perempuan. Ia tidak ingin orang lain salah sangka dengan mengatakan ia seorang banci. Mata biru, kulit putih hambar, dan rambut pirang diturunkan dari neneknya yang merupakan orang Belanda asli. Sedang visual mengagumkan ia warisi dari kakeknya. Hanya otak cerdas yang diambil dari otak ayahnya.
Nadira memeluk erat anaknya ketika sebuah suara di bandara mengatakan para penumpang segera memasuki pesawat. Ia membetulkan letak topi di kepala Yudi yang sebenarnya sudah baik-baik saja. Nugroho menepuk-nepuk kuat pundak Yudi. Berdebuh, hingga Yudi meringis menahan sakit. Mereka tidak pernah membayangkan akan berpisah dengan anak semata wayang mereka. Dengan berat hati mereka terpaksa melambaikan tangan saat Yudi terus menjauh dan pada akhirnya menghilang dari pandangan mereka. Untunglah sebelum berangkat Yudi sudah mendapat sertifikat tanda bebas dari virus, jadi ia bebas dari petugas keamanan yang menembak kening setiap orang untuk mengecek suhu tubuh mereka.
Berbeda dengan orang tuanya yang tidak ikhlas dan berat hati melepas kepergiannya, Yudi malah merasa menang dan merdeka dadanya berdegub kencang melihat dan mendengar orang bicara bahasa Minang. Senyuman totol itu kembali menghiasi bibirnya.