Kutukan Cinta Pertama

Ai Bi
Chapter #8

PERKARA JODOH

Karmila memasuki kamar dengan nuansa kalsik. Kamar dengan ukuran 4 kali 5 meter dipenuhi benda-benda jadul dan tua. Seorang nenek 70 tahunan tertidur pulas dalam selimut tebal warna-warni. Rambutnya diikat di sebelah kiri menggunakan karet warna merah hati. Kulitnya putih keriput namun dipenuhi bintik hitam kecil-kecil diseluruh muka dan tangannya. Begitulah resiko orang kulit putih hambar pastilah disertai ribuan tahi lalat di sekujur tubuh. Ranjang besi bermotif unik ditutupi tirai warna putih disetiap sisinya menambah kesan seperti tempat tidur para wanita Belanda tahun 50-an. Di samping ranjang tergantung beberapa lukisan dan foto-foto tanpa warna. Foto gadis belia bermata sendu tersenyum layu di atas bebatuan besar di tepi sungai. Jika diperhatikan lebih dekat nampak wajah cantik Dinda memakai pakaian kuno tanpa alas kaki. Seperti itulah kira-kira jika Dinda berada di tahun 50-an. Jam besi berkarat berdetak ketika jarumnya berjalan mengikuti waktu. Karmila menanggalkan foto hitam putih di dinding dan membawa ke dadanya.

“Lihatnya betapa cantiknya Amak ketika muda dulu” Amak adalah panggilan untuk ibu. Karmila mengusap foto itu dengan jarinya. “Jika melihat Dinda rasa melihat Amak terlahir kembali. Seakan semua yang ada pada diri Amak berpindah pada Dinda. Bagaima nantinya nasib cucumu Mak? Umurnya hampir 30 tahun. Laik, Makmur, dan Iyan sudah bersusah payah mencarikannya jodoh tapi tak satu pun dari mereka memberikan kabar baik. Semua orang mengira bahwa Dinda akan bernasib sama sepeti aku dan kamu Mak” Karmila menangis tersedu-sedu di samping tempat tidur sambil mendekap foto Kasiarni erat-erat. Kasiarni mendengar isak Karmila. Ia bangun dan langsung memeluk Karmila dengan lembut.

“Mila kenapa kamu menangis? Suamimu sudah ada di surga menunggu kedatanganmu dengan setia. Untuk apa menangisi seseorang yang sudah bahagia” sejak 10 tahun belakang sifat dan kepribadian Kasiarni memang sudah berubah bisa dikatakan pikun atau penyakit umum para lansia. Tapi kadang kala ada saatnya ia bicara benar ada kalanya juga ia bicara asal bak orang gila atau orang keterbelakangan mental. Kadang ia ingat Karmila sudah menikah lagi tapi kadang ia hanya berpikir kalau Karmila adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Kadang ia memanggil cucunya dengan nama Dinda kadang ia panggil Kasiarni. Tak jarang ia menganggap Dinda adalah dirinya yang dulu.

 

“Bunda, Makwo!” Dinda mencogok dari balik pintu. Cepat-cepat Karmila mengusap air matanya. Dinda tidak berani mengganggu mereka ia hanya sekedar menyapa kemudian berlalu menuju kamarnya di sebelah kamar Kasiarni. Karmila menepuk-nepuk punggung Kasiarni dengan lembut. Kasiarni kembali memicingkan mata. Perlahan Karmila merebahan tubuh renta Kasiarni di tempat tidur. Ia menyelimuti hingga dadanya. Ia usap dan kecup hangat kening orang terkasih yang setiap saat membuat hatinya berdegup tak karuan. Ia pasang kembali foto ketempatnya dan berjalan pelan-pelan menuju pintu berniat meninggalkan kamar tanpa menimbulkan suara.

Karmila mengetuk pintu kamar sebelah. Tidak ada sahutan. Ia tarik ganggang pintu dan membukanya lebar-lebar. Dinda duduk di meja rias melepas hijab hijau yang ia kenakan bersiap mengambil wudhu untuk sholat maghrib. Hari ini Iqbal meninggalkannya sendiri karena ada urusan mendadak bersifat rahasia. Hal itu membuat Dinda harus pulang naik bus dari Bukittinggi sampai Sicincin yang kemudian diteruskan naik ojek. Karmila menghampiri putrinya dan menatapnya dari cermin.

“Hari ini kamu pergi buru-buru tidak sempat sarapan.”

“Maaf Bun, Dinda langsung pergi tanpa pamitan dulu.”

“Jangan dengarkan perkataan adikmu, bukankah kamu tahu sendiri bagaimana sifatnya. Dia memang selalu seperti itu tipikal orang yang mengutarakan pikirannya tanpa pikir panjang, tapi kamu tahu kan, dia berkata seperti itu tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tidak ada niat di hatinya membuatmu malu di depan Iqbal” Dinda termenung mendengar perkataan Karmila. Ia tidak habis pikir Bundanya masih membela adik yang tidak sopan. Jarum pentul besi yang ujungnya bulat berwarna hijau di tangannya ia bengkokkan hingga membentuk leter L. Selama ini Dinda sudah cukup bersabar atas sikap Diana berkepanjangan ikut campur urusannya. Ia kerap mengalah setiap kali adikknya itu berbuat sesuka hatinya. Selain perawakannya keras sifatnya pun kasar ia jarang meminta maaf karena menurutnya ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Sesama saudara sedikit banyaknya pastilah ada pertikaian mulai dari masalah kecil sampai besar. Apalagi keduanya sering dibeda-bedakan oleh masyarakat sekitar. Rasa iri itu pasti ada terhadap orang yang punya kelebihan, memiliki apa yang tidak kita miliki.

“Senja ini kamu kemana Bunda mencarimu kemana-kama, teleponmu juga tertinggal di kamar?”

“Ada apa Bunda?”

Lihat selengkapnya