“Apa yang membuatnya hingga seperti itu Da?”
“Entahlah, sifatnya memang keras tapi tidak disangka ia akan bersikap serupa itu. Bisa dikatakan ia memberontak sungguh diluar dugaan ternyata selama ini ia merasa iri terhadap Uninya sendiri. Ia merasa dibeda-bedakan. Apakah memang benar adanya hal itu? Apakah kita telah bersikap tidak adil terhadap dua kakak beradik itu. Mata memang lebih condong ke hal yang rumpang, sesuatu yang berjalan sebagaimana mestinya tentu tidak terlalu mencolok dan biasa saja tapi sesuatu yang tidak semestinya atau hal yang kurang tentu akan lebih dihiraukan. Bukan maksud kita lebih sering membicarakan Dinda tapi memang ia sudah sepatutnya dibicarakan karena dialah hal yang rumpang itu, hal yang harus dilengkapi isinya” Ilham masih syok duduk di sova. Karmila tidak habis-habisnya menggelengkan kepalanya. Mengurut dada agar bisa sedikit tenang.
Selama ini mereka tidak menyadari kalau mereka memang lebih memperhatikan Dinda. Tapi tidak ada niat di hati mereka melakukan itu melainkan spontan terjadi karena masalah begitu bertubi-tubi terjadi pada anak sulung mereka itu.
Seperti beberapa bulan yang lalu saat Diana menghadapi ujian kelulusan ia meminta kedua orang tuanya datang untuk bisa memberinya semangat melaksanakan kompre hari itu, tapi kedua orang tuanya tidak bisa hadir karena Dinda tiba-tiba digigit anjing yang ia keluarkan dari dalam selokan. Anjing yang kakinya terjepit bebatuan merasakan sakit ketika Dinda mencoba mengangkat tubuhnya. Sang anjing langsung menerkam tangan kiri Dinda membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit dan disuntik rabies oleh dokter.
Walaupun alasan ketidakhadiran itu cukup kuat tapi Diana tetap merasa kecewa. Menurutnya kenapa harus keduanya yang pergi sampai-sampai mereka meninggalkan Makwo di rumah sendiri karena Etek Linar perawat yang biasa menjaga Makwo kebetulan sedang ada urusan. Alasan mereka saat mereka meninggalkan Makwo, nenek tua itu dalam keadaan tidur pulas.
***
Dinda memasuki rumah menghampiri kedua orang tuanya di ruang tamu. Ia mendapati ayah dan bundanya dalam keadaan risau. Mata mereka menjalar kesana-kemari, keringat dingin berjujuran di muka mereka. Nafas Ilham terlihat sesak sepertinya mereka masih terbenam dalam emosi. Dinda mendekati kedua orang tuanya, duduk bersimpuh, dan meraih tangan ayah dan bundanya.
“Tidak usah dirisaukan Ayah, Bunda, Diana bersikap demikian pastilah hanya sementara ia dibawa emosi sesaat. Nanti setelah ia penat tentu ia akan pulang juga. Kita biarkan saja ia menenangkan dirinya dulu.”
“Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?” Karmila meneteskan air mata.
“Mudah-mudahan ia selalu dalam perlindungan-Nya, semoga ia segera sadar dan kembali ke rumah dengan selamat” Dinda mencoba membujuk kedua orang tuanya agar tidak terlalu cemas. Karmila dan Ilham membelai lembut kepala Dinda. Mereka menatap anak gadis mereka dengan penuh arti.
“Mila!” Kasiarni tiba-tiba nongol dari belakang memanggil Karmila. Karmila menyeka air mata dan menghampiri Kasiarni.
“Ada apa Mak, apa Amak butuh sesuatu atau Amak mau saya buatkan Palai Lauak?” Karmila memapah Kasiarni duduk di sova, Dinda menyambut Makwo duduk di sampingnya. Palai Lauak merupakan makanan khas Pariaman dimasak dengan daun pisang yang dibakar di atas bara api. Makanan berbahan dasar ikan sawah kecil-kecil dicampur dengan parutan kelapa dan rempah-rempah adalah salah satu makanan kesukaan Kasiarni setelah Pinyaram.
Dinda merasa sedikit lega sepertinya Makwo sudah mulai membaik, ia berjalan keluar kamar dengan wajah tenang. Kasiarni menatap Dinda dan dibalas dengan senyuman hangat.
“Arni, apa kamu senang sudah berjumpa dengan Suhendra?” Dinda kaget jantungnya berdesir Makwo yang dikiranya sudah membaik malah bicara ngelantur. Kasiarni kembali menganggap Dinda adalah dirinya yang dulu. Tapi kali ini ia menatap bahagia pada Dinda tidak seperti biasanya pandangan iba dan deraian air mata selalu dilayangkan pada cucunya itu. Ekspresinya benar-benar berbeda. Karmila, Ilhan, dan Dinda mereka saling tatap mencari makna dari sikap Makwo.
“Ada apa ini Bun, apa ada sesuatu terjadi dengan Makwo kenapa sikapnya seperti ini?” Dinda berbisik ke telinga Karmila.
“Entahlah, Bunda pun tidak dapat mengartikan sikap Makwo serupa ini. Sejak tadi malam ia sudah senyum-senyum sendiri ia bahkan bergumam dan bersenandung ria” Karmila menjawab dengan suara pelan walaupun terdengar oleh Kasiarni tapi ia seperti tidak mempedulikan mereka.
“Oya, bagaimana keadaan teman Iqbal apa sudah lebih baik?” Ilham mengalihkan pembicaraan mereka.