"Lemba ko... lemba ko... lemba koo..." suara pria renta yang sekarat itu terdengar lirih. Ia berada di antara garis hidup dan mati. Hanya beberapa gelintir kerabatnya yang berada di sisinya saat ini. Konon laki-laki yang sekarat ini tak bisa mati sebelum ada yang menyambut kata-katanya yang ia ucapkan sebagai penerus. Istrinya sudah meninggal belasan tahun lalu namun ia tak ingin mencari pengganti istrinya yang setia kepadanya. Garis keturunannya tinggal cicit semata wayangnya yang ia harapkan menjadi pewarisnya. Pewaris ilmu yang ia miliki dari ayahnya bahkan ayah dari ayahnya lagi. Kini ilmu itu sedang mencari raga baru dan akan bermetafosa jadi kekuatan baru, tumbal baru dan tumpukan harta yang semakin melimpah. Tak ada yang mau menerima kutukan yang akan mengubah sinar kehidupan seseorang menjadi gulita.
Langkah kaki terdengar memasuki rumah mewah dengan aura suram. Dia lah cicit yang diharapkan menjadi penerima kata "Lemba" berikutnya. Randu Alamsyah keturunan ketiga dari pria tua yang digadang mengambil alih perusahaan besar milik almarhum ayahnya, tanah yang luas di berbagai wilayah dan bisnis properti yang sukses besar. Namun di balik itu ada rahasia hitam atas kejayaan sang kakek.
Randu seorang pria muda menjelang tiga puluhan belum berkeluarga dan disekolahkan sebaik-baiknya di sekolah bisnis luar negeri. Di tempa dari usia muda dan harus mampu melindungi dirinya dengan martial art. Kini ia berada di rumah mewah milik kakek buyutnya yang sedang meregang nyawa menunggu kehadirannya.
Ia masuk ke kamar kakeknya yang luas dan melihat kakeknya terbaring lemah di ranjang jati di balik kelambu tipis. Randu mendekat meski ragu ia hanya ingat bertemu dengan kakeknya saat ia berusia tujuh belas tahun. Di perkenalkan oleh ayahnya dan meminta agar Randu menjadi satu-satunya penerima "Lemba" . Saat itu Randu tidak bisa memahami keinginan ayahnya yang menurutnya menjerumuskan hidup anaknya sendiri. Hingga ia tahu bagaimana ayahnya tewas mengenaskan oleh lawan bisnisnya.
"Kau sudah datang Randu...Lemba...lemba...lemba koo..."
Suara kakek Randu terdengar serak dan lemah. Matanya memerah dengan wajah pucat mayat. Kulitnya tipis membalut tulang dan rambut putih yang jarang.
Randu mendekat ia duduk di pinggir ranjang dan meraih tangan kakeknya. Sudah lama ia persiapkan untuk menerima takdir hitamnya. Namun tetap saja jantungnya berdetak cepat dan keringatnya menetes dari sudut pelipisnya.
"Pergi mi ki dengan tenang nene' papa. Saya pi yang ambil punya ta. Karna tinggal saya memang ji yang kita' punya. Pergi mi ki, saya terima Lemba ta... biar lemba di saya." Susah payah Randu menenangkan dirinya saat mata kakeknya bertemu dengan Randu. Ada hawa dingin yang merayap di punggungnya dan menelusup di balik perutnya.