“Aa-abbang, kita mau kemana?” tanya Ayu terbata-bata.
Dalam keadaan tubuh bergetar, Ayu memejamkan mata. Ruangan itu mendingin, bukan dingin biasa melainkan dingin dengan aura yang menusuk tajam dengan segala kekuatan magis-nya. Semula ruangan ini penuh kehangatan, tak pernah sekalipun ruangan ini membuat bulu kuduk merinding meski banyak sekali benda kuno yang berjejer rapi di sudut kamar.
Ganesha memandu Ayu untuk keluar dari ruangan ini. Dahinya berkerut, pikirannya melayang pada dua pintu yang berjejer di depannya. Sebab, jika awal saat keduanya masuk hanya terdapat satu pintu kayu terbuat dari jati berlapis plitur yang mengkilap, kini di hadapannya ada dua pintu. Jadilah kerutan Ganesha semakin berlipat ganda, sekitar empat kerutan yang ada di dahinya. Sekali ia membalikkan badannya, tubuh Ganesha terdiam, tangannya tak lepas untuk memegang jari mungil Ayu; saat ini berkeringat dingin.
“Ayu ada dua pintu di belakang sana yang harus kita pilih karena itu kamu tetap ikuti Abang, ya?” tunjuk Ganesha
Ganesha pun menarik tangan Ayu menuju pintu yang terletak di bagian kanan. Melangkahlah Ganesha bersama Ayu, dengan langkah amat lambat yang setiap langkahnya diberhentikan sebentar, menimang apakah pilihan yang dipilih tepat bagi keduanya. Ganesha cukup sadar jika pilihannya akan memiliki dampak bagi mereka entah itu salah ataupun benar, keduanya tetap membuatnya gamang. Selangkah demi selangkah ia yakinkan dirinya. Berusaha percaya jika pilihannya benar, ia menghembuskan napas kasar.
Tangannya sudah berada di depan handle pintu berwarna perak, berbentuk bola yang sekali diputar akan dapat memperlihatkan apa yang ada di luar sana. Sangat pelan handle pintu dipegang oleh Ganesha, mulai ia putar dengan sudut lima belas derajat, lalu didiamkan kembali. Memejamkan mata dengan erat lalu secepatnya ia putar. Kembali dibuka matanya, terlihat hanyalah warna hitam tak ada hal lain yang dapat diterangkan, cukup pekat. Tubuh Ganesha dan Ayu seakan terhempas angin masuk ke dalam ruangan yang baru Ganesha buka.
ZAT!
Terlemparlah mereka pada ruangan, sisi kanannya hanyalah tembok berbahan papan kayu, warna coklatnya telah memudar menjadikan warna lain seperti warna tanah liat saat tandus.
“Bb-aang!” cicit Ayu
Ayu berjalan sendirian, padahal di sampingnya tadi adalah Ganesha. Angin yang menghempaskan keduanya membuat Ayu dan Ganesha terpisah. Ayu berjongkok, memejamkan mata dan menutup telinganya. Tubuhnya bergetar lebih kencang dibanding saat bersama Ganesha. Tetesan air mata mulai keluar terjun di atas lututnya. Ia benar-benar kalut. Ini tak pernah ada dalam bayangannya. Sendiri dalam ruangan yang asing adalah hal yang dibencinya mulai saat ini. Ia tak mau, sangat tidak menginginkan hal ini.
“HA HA HA! AYU KAMU MEMANG PENJAHAT!” teriak suara besar itu, suara yang tak asing di telinganya. Suara perempuan yang pernah ada dalam hidupnya, lebih tepatnya yang ada pada masa putih birunya, SMP.
“Sssi-ap-ppa?” tanya Ayu pelan. Saking pelannya hanya dapat didengar oleh telinganya sendiri. Ia menggigil, wajahnya sampai pucat pasi.
“KAMU PEMBUNUH!!!” kata suara itu dengan lantang.