Dilihat dari luar rumah berlantai tiga milik keluarga Ayu dan Ganesh tampak biasa saja, terasa damai nan tenteram. Tak ada suara kegaduhan yang terdengar nyaring meski di dalam rumah itu kini tampak benar-benar membuat bulu kuduk merinding.Tak ada cahaya penenang untuk menetralkan kegundahan yang dirasakan oleh para penghuni rumah. Tak ada suara keributan kecil yang biasanya sering terdengar. Perdebatan Ayu dengan Ganesha.
Berada di ruang berbeda dengan segala penyesalan yang ada. Ayu sudah meraung-raung sejak peristiwa tontonan video Reina yang bunuh diri di depan mata. Matanya memerah, bahunya pun sudah basah oleh keringat dingin yang sudah keluar tepat saat dia merasa ketakutan yang amat sangat di kamar Ganesha.Wajahnya memucat, segala pikirannya melayang, ia sudah tak bisa berpikir jernih. Semua suara halus menyalahkan dirinya atas kesalahannya dahulu. Seakan dirinya tersangka yang harus diadili. Suara-suara itu memenuhi setiap rongga telinganya. Ayu sudah menutup telinganya rapat-rapat menggunakan tangannya yang ia cengkramkan pada tau telinga. Jemarinya menggenggam erat sampai-sampai kukunya memutih karena saking erat dan tak mau lepas di daun telinganya. Kedua sikunya bersinggungan ke depan. Matanya ia dipejamkan begitu rapat dengan lipatan mata semakin banyak. Tetesan air matanya tak pernah hilang dari sudutnya. Menetes terus dan terus.
Ayu kalut, tak hanya meraung ia pun mulai menjambaki rambutnya. Sekali lagi ia terlempar menabrak dinding bagian kanan. Ada suara retak terdengar di bagian punggungnya. Ia bahkan tak peduli dengan rasa sakit yang didera, yang ia tahu kesalahannya amat menyakitkan untuk diingat.
"Re ... maafkan aku," Ayu menyesal tangannya memohon-mohon disatukan ke depan seperti melakukanĀ high fiveĀ hanya saja bukan dengan orang lain, hanya dengan kedua tangannya. Diusapkan berkali-kali, digesek-gesek ke atas dan bawah. Ia berkali kali meminta maaf. Ratusan kata maaf sudah diucapkan. Ia meraung, menjerit, lalu berlutut.
Tak selang beberapa lama ia bertindak seperti orang gila, di hadapan Ayu satu pintu terbuka. Terbuka dengan perlahan dan perlahan. Ada cahaya lampu terang di sana. Berwarna jingga seperti lampu lama yang berbentuk oval. Lampu yang tak mungkin dipakai untuk saat ini karena memakan watt yang amat banyak.
"Masuklah!" terdengar perintah suara untuk memasuki ruangan itu.
Ayu terdiam melihat pintu yang terbuka itu, mulutnya sedikit membuka dengan mata yang menatap tanpa berkedip. Ia menundukkan wajahnya, merasakan ragu untuk beranjak dari tempat yang ditempati ini. Kembali menatap pintu dengan wajah sembab dan hidung berair, Ayu melihat dengan begitu lama. Mengusap wajah sembabnya, Ayu mulai berjongkok. Menarik napas sebentar lalu mengeluarkannya kembali.
"Aku tak tahu ini adalah keputusan yang benar, tetapi aku sudah tak kuat untuk menyesal lagi. Hatiku terlalu perih," ucap Ayu, perlahan ia berdiri dan melangkahkan kakinya berjalan menuju pintu kayu berwarna putih susu yang berada di depan. Sedikit gamang tersirat di wajahnya. Menggelayuti pula pikiran negatif yang ada di kepalanya. Ia tetap melangkahkan kakinya, terseok-seok ia berjalan sebab tubuhnya pun ringkih akibat serangan tak kasat mata yang ia dapat.
Langkah kelima Ayu mendengar suara kembali, suara yang mungkin tak akan pernah ia lupakan selamanya. Suara yang amat samar namun masih dapat ia dengarkan.
"Ayu, kau benar licik. Kau kembali menggunakan kemampuanmu untuk memanipulasi orang lain bahkan keluargamu sendiri. Ayu, jangan pernah merasa kau akan terus berjalan dengan mudah. Aku akan selalu menggentayangi hihihi," suara itu tampak mengerikan, dengan nada kacau dan sumbang suara itu tertawa.
Ayu terdiam, tak berkata apa-apa ia melanjutkan langkahnya lagi. Ayu dengan penuh kehati-hatian melangkahkan kakinya menuju pintu itu. Kurang setengah lagi ia akan sampai. Ayu bersiap mengangkat kakinya ke depan 'hap' ia menuju dimensi lain. Lebih hangat dari sebelumnya, hawa dingin di ruangan ini tak ada sama sekali.Terasa tenteram, namun inilah yang menjadi kejanggalannya. Seperti berdiri di ruangan biasa, tak ada yang spesial.