Yogyakarta, 1982.
Aku, dalam perjalanan kereta menuju kota kelahiranku pada pertengahan Januari dua tahun yang lalu. Hujan belum juga reda semenjak kedatanganku ke stasiun yang kupikir hampir terlambat. Koperku rusak. Seseorang berusaha mencongkelinya saat menunggu di peron. Aku berusaha tidak memikirkannya, tidur dalam kereta hampir separo perjalanan ketika sepasang laki-laki tua dan perempuan muda membangunkanku. “Kau mengigau, Nak,” kata si lelaki tua. Aku berkata “ya” supaya kami tak perlu bicara lagi. Berusaha kembali tidur tapi tak bisa.
Si lelaki tua menawari aku makan. Ia menyodorkan kotak rotinya yang masih penuh padaku sambil tersenyum ramah. Hanya demi sopan santun aku menerima tawaran itu, memungut sepotong roti paling atas. Meski rasa waswas bergejolak di dasar perutku.
“Gunung Kidul?” selorohnya. Aku hampir tak tahu pasti, apakah orang-orang Gunung Kidul memiliki ciri spesifik yang menonjolkan identitas dengan kentara sehingga orang yang sama sekali tidak kukenali ini mengetahui asal dan ke mana tujuanku dengan jitu? Barangkali hanya kebetulan, tapi dari caranya memandangku, gagasan tentang kebetulan patah dengan begitu mudahnya.
Aku menatapnya sungkan, kata “Ya” yang keluar dari mulutku seperti letupan amarah yang tak bisa aku pahami.
Lelaki tua itu tertawa kemudian. Suaranya membuatku tidak nyaman. Seolah-olah mencerminkan sikapnya yang tak disukai. “Kita searah,” tukasnya.
Sebentar aku memandanginya agak lama. Laki-laki tua memakai jas wol cokelat tua yang semakin menambah kesan tua dirinya. Sepatu badmintonnya tampak masih baru dan posisi duduknya seolah-olah ia memang sengaja memamerkannya. Meski begitu, kurasa yang menjadi pusat dari penampilannya ialah dasi kupu-kupunya. Dari situlah, kurasa, muncul kesan seolah-olah ia hendak menghadiri acara pemakaman. Tapi tentu saja ia tak memusingkan pendapat siapa pun mengenai pakaiannya. Hal senada juga yang aku perhatikan dari penampilan perempuan muda di sisinya. Blus birunya dimasukkan ke dalam celana baggy warna putih. Sepatu kulitnya yang mengilap selegam rambutnya yang diikat ke belakang dengan sapu tangan. Ia yang diam seolah-olah dirinya tenggelam dalam hujan di luar sana. Sekali-sekalinya gerakan dilakukannya ialah melirik arloji di pergelangan tangannya. Yang mana pada saat itu, wajahnya terlihat gusar.
Aku sementara itu, akhirnya sepakat menyingkirkan rasa sungkanku, berusaha keras meneliti wajah si laki-laki tua, barangkali ia sama halnya dengan kampung kelahiranku yang aku tinggalkan delapan tahun lalu. Adalah orang yang aku kenali. Barangkali ia adalah satu di antara banyak hal di kota kelahiranku yang pudar dikelantang delapan tahun keberadaanku di Kota Jakarta. Namun, setelah beberapa waktu mencoba, wajah di depanku itu sama sekali tak memiliki jejak dalam ingatanku paling belakang pun.