KUTUKAN SETAN MERAPI

Herman Trisuhandi
Chapter #2

PULANG

Keretaku tiba pada pukul empat pagi. Suara orang-orang dan kereta yang berhentilah yang membangunkan aku. Di depanku, saat aku membuka mata, kursi itu kosong. Agak lama aku memandangi kursi itu. Aku hampir lupa bagaimana wajah mereka kecuali dasi kupu-kupu dan sepatu kulit si perempuan muda. Sebentar aku mencoba mengingat-ingat hal terakhir yang aku pikirkan, yang hampir pasti itulah yang mendorongku jatuh tenggelam ke dalam tidur. Lalu ketika aku mengingat tentang mimpi itu lagi, aku bergegas turun dari kereta.

Heru, abangku menjemput di stasiun. Dia membungkus tubuhnya dengan dua jaket dan wajahnya hampir tidak kukenali karena kumis serta cambangnya yang tumbuh lebat. Entah lupa atau sengaja tidak dicukur. Dia meminjam mobil angkutan umum milik ayah mertuanya khusus untuk menjemputku. Kukira, karena ia mengatakan padaku mengenai hal itu, ia juga membawa serta serombongan orang seperti biasanya. Tetapi jelas tidak kali ini. Bisa jadi karena keretaku tiba pagi-pagi buta.

“Ibu tahu hari ini kau pulang,” Heru memberi tahu aku. 

Heru, dia tinggi dan besar. Dulu karena posturnya yang tak biasa untuk anak seumurannya, ia dijuluki raksasa. Pada mulanya ia menganggap kata-kata itu merupakan penghinaan. Tapi setelah usianya empat belas tahun, ia lebih suka tak ambil pusing dengan apa yang orang lain pikirkan. Setelah usianya melewati empat belas, ia jadi agak pendiam. Ayah berpikir jika itu dipicu karena nilai akademisnya yang hanya cukup. Tapi setelah diselidiki, Heru tidak minder sama sekali. Barangkali memang ada sedikit dorongan dari situ. Namun setelah agak lama dan ia semakin jelas menunjukkan sikap, kami sepakat tidak memusingkannya lagi.

“Ibu menyuruhmu menjemputku?” kataku. Heru tidak langsung menjawab. Dia perlu beberapa waktu dan menerangkan padaku jika kemarin, pada jam yang sama, dia datang ke stasiun karena berpikir aku pulang besok paginya setelah menerima telegram.

“Bapak yang nyuruh. Dia mencari tahu jadwal kereta tiba dari Jakarta dan pada jam-jam itulah dia menyuruhku pergi.”

“Maaf tidak mengabari. Aku tidak bisa langsung pulang. Harus mengurus izin terlebih dulu,” terangku. Heru mengangguk mengerti, “Lalu ... bagaimana dengan kondisi ibu sebetulnya?”

“Kau tahu sendiri, Ratna sangat telaten merawat ibu. Tapi begitu mendengar kau pulang, sepertinya memang itu yang membuatnya jadi makin sehat.”

Ratna adalah kakakku nomor dua. Dia, kadang-kadang memperlihatkan sikap blak-blakan yang menyenangkan. Ratna, kupikir ia mewarisi sedikit sikap Ibu yang ramah menyenangkan meskipun tidak banyak bicara. Pada bagian ini, sepertinya lebih banyak diturunkan pada Heru.

“Kau mau makan?” katanya kemudian. Aku menjawab tidak. Heru mengangguk, lalu meminta tolong padaku menyalakan sebatang rokok yang disimpannya pada dasbor. Aku dengan patuh melakukan apa yang dia minta. Lalu Heru mengangguk berterima kasih usai menyelipkan rokok pada sela-sela bibir.

Itulah kalimat terakhir yang dikatakannya sebelum kami tiba di rumah. Jarak antara rumah kami dengan stasiun cukup jauh. Berada di dataran paling tinggi perbukitan kering Pegunungan Sewu. Terakhir aku pulang, itu hampir dua tahun yang lalu, Heru membutuhkan waktu sedikitnya dua jam untuk sampai ke stasiun. Waktu itu ia membawa rombongan keluarga kami. Hanya Ratna yang tak ikut karena bayinya baru berusia dua bulan. Murti, istri Heru sendiri tengah mengandung. Usia kandungannya jalan enam bulan pada waktu itu. Heru mengirimkan padaku foto bayinya dua minggu setelah istrinya melahirkan.

Setiap kali berkabar, Heru hampir tak pernah menulis surat. Ia lebih suka mengirimkan foto keluarga dari hasil memotret sendiri. Aku membelikannya kamera bekas dari teman satu kerjaku dan kukirimkan padanya. Berpesan supaya ia lebih sering mengambil gambar orang rumah. Ia melakukan persis apa yang aku minta. Mencetaknya di studio di kota sebelum dikirimkan padaku.

Lihat selengkapnya