KUTUKAN SETAN MERAPI

Herman Trisuhandi
Chapter #3

IBU

Pada dasarnya, sakit yang diderita Ibu adalah karena ia rindu padaku. Dua hari lalu, Ratna membawanya kembali ke dokter. Tetapi dokter tidak memberikan keterangan bahwa malaria Ibu kambuh. Malah sebaliknya, dokter merasa kesal karena Ibu tak mau menuruti anjurannya untuk beristirahat total. Ibu tak suka menganggur, karena menganggur membikin badannya sakit-sakit. Begitu Ibu beralasan.

Dengan penuh gairah, Ibu memasak di dapur tanpa meminta dibantu siapa pun. Baik Ratna maupun Murti hanya sekali-sekali melakukan sesuatu yang mereka rasa perlu dan mereka melakukannya dengan canggung. “Biar ibu saja,” kata Ibu dengan suara yang mengisyaratkan agar keduanya duduk saja. 

Aku kaget, ketika bangun pada pukul sebelas siang, baju-baju kotorku yang tidak seberapa menggantung pada jemuran di luar. Aku melihatnya melalui jendela kamarku yang dibuka. Jadi, setelah berkumpul sebentar pagi tadi dan Bapak mengajakku sarapan, aku mengganti pakaianku sebelum pergi tidur. Ibu mengantarku ke kamar. Dia bilang akan memasak untukku, “Supri memetik nangka muda di pekarangan belakang,” ujarnya sembari tersenyum. Kukira Ibu tidak sungguh-sungguh saat mengatakannya. Karena paling-paling Ratna atau Murtilah yang bekerja di dapur. Tetapi aku mendapatinya di dapur, di antara kepulan asap dari tungku dan jelaga yang melekat pada peralatan masak.

Waktu itu aku hendak mandi. Aku berjalan ke belakang dengan kepala sedikit agak berat. Ibu mengelap tangannya pada kain dan berkata padaku dengan wajah semringah. Wajahnya telah kembali mendapat warnanya yang semula dan keringat di jidatnya serta bau asam yang menguuar dari tubuhnya menandakan jika Ibu telah sehat kembali.

“Sebentar lagi, Nak,” kata Ibu. Suaranya bahagia. Nadanya membawakanku seberantak ingatan yang masih tercecer di mana-mana di rumah kami. Bahkan di seluruh kampung yang mencangkup sawah hingga ke kota. Dulu, yang meskipun tak urung dilontarkan dengan marah-marah, Ibu selalu berkata “sebentar lagi” setiap kali kami melintas di dapur dengan sengaja mengecek pekerjaan Ibu memasak. Bahkan ketika kami hanya betul-betul melintas ke sana untuk urusan ke kamar mandi, Ibu selalu mengatakannya seolah-olah kehadiran kami di situ pada jam-jam kerjanya di dapur adalah untuk mengawasinya.

Aku lalu duduk di dipan tua yang telah beralih fungsi menjadi tempat menyimpan banyak barang. Semuanya memang peralatan masak dan makan yang digunakan sehari-hari. Aku tidak jadi mandi, duduk di sana di samping Ratna dan Murti yang memandangi Ibu dengan raut wajah tidak jelas. Apakah khawatir atau menyesalinya. Namun aku lebih menduga jika mereka berdua lebih mengkhawatirkannya. Kadang-kadang, aku mendapati Ratna mengerenyit saat Ibu meniup api. Atau Murti yang seakan-akan hendak gegas maju menggantikan Ibu. Tetapi baik siapa pun di antara kami—tentu saja setelah kehadiranku di situ—tak seorang pun boleh mengambil alih pekerjaannya. Itu karena Ibu sangat keras kepala. Dan tak seorang pun belum pernah ada yang berhasil mengatasinya.

Kemudian, dua bocah laki-laki kecil masuk. Mereka saling berkejar-kejaran. Membawa benda-benda di tumpul di tangan mereka yang juga serba kecil. Melihat mereka, aku seperti diingatkan sesuatu. Aku mencoba mengingatnya dengan betul. Ketika memandangi bocah yang lebih kecil—dia anak Murti, namanya Sadha—ingatanku membentuk sebuah bayangan solid terhadap sesosok bocah yang rasanya tidak asing. Malah merasa dekat. Si Sadha itu, ia sedikit mengejutkanku dengan fakta kulit tubuhnya yang putih licin. Itu karena aku melihat bagaimana kedua orang tuanya memiliki kulit cokelat yang bukan saja karena rajin dijerang matahari. Namun juga karena ketentuan lahir.

“Kau terbangun karena suara mereka?” tanya Murti. 

“Tidak,” kataku.

“Aku sudah memperingatkan mereka. Tetapi susah sekali.”

“Tidak apa. Namanya juga anak kecil.”

Lihat selengkapnya