KUTUKAN SETAN MERAPI

Herman Trisuhandi
Chapter #4

LELUHUR

Kau masih ingat mengenai kebiasaan ibuku bersenandung? Sampai usiaku delapan belas tahun, sebelum aku memutuskan ke Kota Jakarta, Ibu lebih sering bersenandung, nembang macapat manakala ia bercerita mengenai leluhur kami baik sebelum maupun sesudahnya. Atau, di tengah-tengah ia bercerita. Kadang-kadang, Ibu meniru bagaimana seorang dalang, Ibu mengubah tiap-tiap intonasi suaranya. Kadang-kadang menjadi suara laki-laki. Lalu perempuan. Lalu berubah lagi menjadi suara genderuwo. “Apakah begitu suara genderuwo?” tanyaku. “Iya, betul.” Jawab Ibu sembari tertawa.

Suatu kali Ibu menceritakan sebuah keluarga beranggotakan tujuh orang yang tinggal di lereng Gunung Merapi. Tetapi mereka, keluarga itu tinggal jauh dari pemukiman warga. “Kenapa?” tanyaku.

“Karena di situlah tanah yang mereka miliki. Tanah Padang (terang) namanya.”

“Kenapa namanya Padang?”

“Karena di tanah itulah matahari pertama kali muncul saat pagi tiba.”

“Apakah mereka leluhur kita?”

“Bukan.”

“Lalu?”

Ibu tidak segera membalasku. Ia kembali nembang. Sekali-sekali suaranya terdengar syahdu memilukan. Tetapi pada saat yang lain, suaranya terdengar seperti berasal dari tempat yang lain. Hanya saja suara itu telah berubah menjadi suara yang ceria. Seperti suara gemericik air kali.

“Mereka bukan leluhur siapa pun. Mereka hanya sekeluarga berjumlah tujuh orang yang datang dan tinggal di sana. Mereka juga mati di sana dengan jumlah yang tetap sama.”

“Anak-anaknya tidak ada yang menikah?”

“Tidak. Mereka mengikat diri kepada sang adi kodrati melalui alam.”

Aku berusaha mencerna kata-kata ibuku. Sebaliknya, Ibu tampak seolah-olah senang dengan kesusahanku mendedah kalimatnya. Seolah-olah Ibu mendorongku sekuat tenaga mengupasnya sendiri. Semakin susah, semakin kuat tekadku mengalahkannya.

Tetapi karena lebih dulu menyerah, aku mengajukan pertanyaan lain yang kurasa masih ada kaitannya. Ibu menjawabku meskipun wajah kesalnya karena keputusasaanku sama sekali tidak ditutupinya.

“Lalu bagaimana dengan leluhur kita. Apakah mereka juga tidak menikah?”

“Leluhur kita bukan bagian dari mereka?”

“Tapi mereka saling kenal?”

“Mereka memiliki hubungan yang baik sebagai manusia.”

“Apa ibu tahu siapa saja mereka? Ibu pernah berjumpa dengan mereka?”

“Tidak,” jawab Ibu. “Tapi ibu menghormati mereka.”

Lihat selengkapnya