Kutukan yang Kupanggil Cinta

virdytan
Chapter #2

Satu - Kebetulan yang Disengaja?

Pukul dua lima puluh lima sore, selalu punya caranya sendiri memijit urat lelah manusia. Udara yang perlahan mendingin memberi ruang napas bagi para pekerja yang sedari pagi menekuk wajah demi sesuap nasi. Di sana-sini wajah lelah mencoba tersenyum. Menyingkirkan nestapa yang menumpuk sejak mentari menyambut. Mungkin karena tahu waktu pulang hampir tiba. Atau setidaknya, itu yang mereka yakini.

Tapi tidak bagi Sekar.

Ia sudah tak berdaya untuk sekedar menarik bibirnya.

Setelah hampir dua puluh dua jam terjaga.

Sejak awal ia tahu risiko profesi yang diidam-idamkannya ini: tak ada lagi definisi pagi atau malam yang baku, tak ada pekan yang selalu lapang. Esok hari, waktu yang sama bisa saja tiba baru di kantor. Lusa malam mungkin baru bersiap kerja. Atau saat sekarang ini, mayoritas orang dalam radius dua ratus kilometer dalam keadaan dengan segar, menyambut pulang kerja. Sekar justru menapaki taraf terendah sebagai manusia, lebih mirip zombie. Bukan zombie haus darah yang mengincar manusia bernapas, melainkan mayat hidup yang hanya ingin memangsa kasur empat kaki berseprai putih, bersembunyi di balik kain lembut.

Sekar bahkan tak peduli teriakan tetangga kosnya yang kesal saat pagar tidak ia tutup. Atau, pada mochi, kucing kampung yang sedikit terpapar ras asing, mendesis saat ekornya diinjak zombie imitasi tersebut. Atau saat mendapati hordennya masih tersingkap, membuat matahari tak segan menampar wajahnya. Atau bahkan, ketika meteor jatuh di atap kosnya. Sekar acuh, metabolisme tubuhnya sudah malas memproduksi energi tambahan.

Yang penting baginya sampai kasur, yang berjarak tiga meter lagi.

Ia juga tidak peduli pada pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Lagipula, siapa yang akan berbuat jahat padanya? Rumah kos itu terlalu menyedihkan. Bahkan pencuri pun mungkin akan melewatkannya, tak sanggup menambah duka.

Begitu tubuhnya rebah, sekilas tampak garis senyum mengambang, hampir menenggelamkan bibir tipis atasnya yang bergelombang . Dalam hati ia merasa sudah merdeka. Baru saja hendak menggapai tahap dua non-REM, seketika dadanya tiba-tiba berdenyut cepat. Memompa darah liar sampai ke pelipis.

Matanya terbuka lebar. Wajahnya menegang, kepalanya bergerak kecil, putar kanan, putar kiri, putar kanan lagi. Tak beraturan. Setidaknya selama tiga detik, disusul jeda. Lalu, Sekar menutup mata kembali. Menyadari kesadarannya sekonyon-konyong terpanggil.

Ponselnya terlalu santun untuk sekadar bergetar, gawai itu menjerit lantang di ujung ranjang. Akan tetapi, keinginan Sekar tak sampai untuk meraih dan membunuh akar pengusik tidurya. Ia memilih menjadi tuli. Sugesti pada otaknya: sunyi, tak ada dering. Tapi usaha itu percuma. Tubuhnya masih terpasung di tepi sadar, dan ponselnya terus meraung, makin pongah.

Dengan setengah putus asa, disusul tarikkan napas panjang dan helaan berat, Sekar mengait ransel coklat di dekat paha kirinya, menggunakan kaki kirinya pula. Setelah beberapa kali menendang dan menyeret, barulah tas itu teraih. Tangannya masuk, meraba dalam gelap. Ia sungguh tidak dapat membuka mata sampai menemukan si biang ribut. Sedikit memicing, Sekar menemukan nama “Si Bos” terpampang jelas di layar.

Ia menjawab dengan napas tak beraturan, siap mendengar kabar apa lagi yang datang. “Sorry... tapi ini mendesak banget. Kamu sekarang juga ke Polda! Tersangka kasus pembunuhannya Sherly ketangkep!” Seketika adrenalinnya menari. Mayat hidup itu pun seolah disulap kembali bernyawa. Matanya melotot, senyumnya tercetak. Zombie itu musnah

“Aku udah share loc. Cuma kamu yang bisa ke sana. Si Baim masih sakit, Dian sama Ipul lagi fokus sama perampokan massal di Sampit. Roni OTW ke sana. Kamu buruan, kalo bisa nanti on cam ya!”

Tak perlu menunggu jawaban.

Sekar langsung bangkit, menyambar tas, tak peduli rambut panjangnya makin mengembang acak—tiga hari tak kena sampo. Wajah kusamnya memperlihatkan garis-garis usia yang seharusnya belum dia miliki. Bibir merahnya sudah nyaris hilang, digantikan debu putih entah bekas apa, di pinggir mulut. Matanya besar, alis tebalnya menukik; kantung matanya jelas menandakan dia sudah terlalu lama terjaga.

Sekar memarkir motor matic-nya tepat saat rombongan mobil patroli masuk halaman Polda. Sekar memicingkan mata. Pohon Tanjung itu, dengan tajuknya yang bertumpuk seperti payung, rupanya tak sanggup menahan cahaya matahari yang masih tekun menyala lembut di ujung barat langit.

Pandangan Sekar beralih, saat gerombolan haus cerita menyerbu mobil patroli. Mesin-mesin kamera hidup, suara perekam mengaum. Langkah kaki serentak tak beraturan menggema. Sekar menyesap adrenalin itu. Denyut kecil yang selalu membuatnya hidup. Ia melihat Roni di antara kerumunan, barisan paling belakang, tergopoh menyodorkan kamera. Sekar langsung menarik lengannya, mendorong maju hingga berada paling depan, tepat saat pintu mobil terbuka dan suara teriakan mulai pecah.

Semua terjadi singkat.

Wawancara kilat, jumpa pers kecil, tangkap-tangkap gambar. Secepat itu, ia bahkan tidak sadar akan prosesnya. Ia hanya sadar tubuhnya terlanjur segar, tapi pikirannya terlalu riuh untuk berada sendirian di kamar kos. Setelah serangkaian kasus Sherly, kamarnya terasa kurang bersahabat. Kamar kos yang seharusnya menjadi sarang paling aman bagi seorang perantau, malah menjadi terror baru bagi Sekar. 

Maka ia singgah di kafe favoritnya, menepi di dekat jendela kaca besar. Bersandar di sofa empuk dengan sandaran sampai kepala. Menggenggam secangkir Americano panas dengan kedua tangan. Sudah cukup untuk meremajakan psikisnya. Dari situ, matanya lekat memandang jalan bersapal yang sepi, tak ada satu pun sinar lampu dari kendaraan lewat sejak ia duduk. Hanya pantulan sinar temaram lampu kota, di ujung aspal. Di baliknya, ujung rumput berupaya intip, ingin menarik pehatikan Sekar. Ia pun terpaku padanya. Lagi-lagi memikirikan Sherly, sebagian tubuhnya ditemukan ditepi lintasan.

“Hey!” Suara mengiris hening seperti pisau tipis, membawa Sekar dari lamunan. Ia mengangkat wajah, sedikit mengernyit, menatap laki-laki seusianya—begitu pikirnya—berdiri di samping meja. Tangan kiri Sekar lepas dari cangkir, mengarah ke dadanya, sementara tangan kanan masih menggengamnya.

“Iya, aku Arya,” ujar laki-laki itu santai, mencondongkan badan dan mengulurkan tangan. Tak tahu kehadirannya tak diharapkan.

“Maaf, saya sedang tidak ingin diganggu,” Sekar menimpali cepat, membuang muka.

“Hmmm... oke, maaf kalau ganggu.” Arya mundur beberapa langkah. Membalikkan badan, melangak jauh tanpa menolah. Semenit berikutnya, keheningan kembali memeluk Sekar, dan ia pun larut lagi dalam aliran kafein. Menatap tepi jalan, mencari pucuk rumput.

Berusaha menyingkirkan bayangan Sherly.

Lihat selengkapnya