“So? Kalo boleh tau waktu itu di pengadilan ngapain?” lanjut Arya. Angka digital merah di sudut kanan atas mesin cuci berkedip pelan, menurun menjadi dua belas. Ruangan itu dingin, hampir tak berbau selain aroma detergen yang menguar samar.
“Urusan pekerjaan,” timpal Sekar. Suaranya seolah melayang tipis, sekadar formalitas, tanpa jiwa.
“Kamu pengacara?" Arya menatapnya, "Jaksa? Hakim?” Lanjutnya cecar, setelah hanya dijawab sunyi. Matanya mengerjap pelan, lalu diam menunggu. Ada rasa ingin tahu yang terlalu terang dalam sorot matanya, memecah monoton bunyi mesin yang menderu.
Sekar hanya menatap ke depan. Diam menjadi semacam perisai.
Arya tertawa kecil, padahal tak ada humor. “Cocok sih, cocok banget jadi hakim.”
“Maksudnya?” Sekar menggeliat sedikit. Gerakan yang terlalu kecil, tapi cukup untuk menunjukkan dia terusik.
“Kamu cocoknya jadi hakim. Selama kita ngobrol... entah kenapa rasanya kamu idealis, analitis, adil juga. Dan yang lebih penting, mau dikritik, mau mengakui kalau salah.” Ungkap Arya bertingkah layaknya detektif. Kornea mata Arya memancarkan percaya diri, tak terdeteksi kamuflase.
“Itu pujian atau sindiran?” Sekar menoleh sejenak, menatap Arya seperti hendak menusuk balik pandangannya.
“Pujian dong. Gimana pun, ahli hukum harus kayak gitu. Biar nggak gampang disuap." Dia menjatuhkan tangan. "Biar nggak bias.” Sambung Dia mengangkat bahu, seolah itu logika paling wajar di dunia.
Sekar mendengus kecil. “Menurutku kamu orangnya judgemental. Dan itu sindiran.” Panah ancaman terbang dari mulut Sekar. Mengarah tajam ke Arya, lewat busur mata bulatnya yang memicing runcing.
Arya diam. Wajahnya meredup, seperti lampu yang ragu untuk terus menyala. Dia menggeser duduknya mendekati Sekar, dan tiba-tiba jarak mereka terasa menyesakkan.
“Kamu selalu mikir orang tuh kriminal, ya?” katanya lebih pelan, nyaris seperti gumam.
Sekar menarik napas. Dingin mesin AC menampar kulitnya. Jaketnya gagal menjalankan tugas. “Seperti yang kamu bilang. Aku analitis dan idealis. Dan yah... manusia itu kriminal.”
Hening. Lalu, seulas senyum miring muncul di bibir Arya. “Kamu bener juga. Untuk bertahan hidup, manusia pasti membunuh makhluk lain. Bukan cuma manusia sih. Hewan juga. Beberapa tumbuhan malah membunuh." Kalimatnya terhenti sejenak, Dada Arya naik pelan, nyaris tak terdengar dengusan. "Dunia dipenuhi pembunuh.” nada terakhir terucap dingin.
Ada jeda yang panjang.
Lalu Sekar menoleh. Untuk pertama kalinya wajahnya terbuka—alis terangkat, kerutan di dahi mengendur, matanya terang oleh semacam kekaguman yang nyaris takut untuk diakui. Sementara Arya memandangnya sama intensnya. Dalam sepersekian detik, ada tarikan halus, sesuatu yang rapuh tapi tak terelakkan. Seperti dua medan magnet yang saling menyeret.
Mereka berada pada satu frekuensi.
“Wow... baru kali ini ada yang sepemikiran,” kata Sekar, suaranya nyaris berbisik.
Ia tiba-tiba teringat tumpukan laporan investigasi yang selalu mengarah pada satu kesimpulan getir. Manusia itu mudah terjerumus, rapuh, licik. Mereka membunuh dalih bertahan hidup, lalu menyangkalnya demi tetap terasa pantas saat memandang cermin. Sekar malu mengakui, dia tak lebih picik. Menjalin hubungan berdasar kepentingan. Seperti semua manusia di bumi.
Serpihan jejalah delusi otak Sekar nyaris hilang, namun wajah Sekar masih melukiskan raut wajah takjub atas pernyataan Arya. Mata Arya melembut, bibirnya terangkat dalam senyum tipis. Berganti memunculkan barisan gigi rapi. Pemuda itu tak tahan membuka riang.
“Kok?” Dahi Sekar mengkerut, tak senang Arya melontarkan tawa.
“Ekspresimu lucu banget. Kamu kalau kaget gitu... menggemaskan.”
Gawat, Sekar terlena akan gelombang pemikiran Arya, berhasil membuatnya tumbang. Sikap skeptis gadis itu pun gugur. Ia merasakan panas aneh merambat dari leher ke pipinya. Ia tak bisa mengendalikan rona merah yang mekar begitu saja. Sekar lengah, tubuhnya tak dapat menolak sanjungan Arya.
Arya tahu apa yang harus ia katakan. “Pipimu merah tuh,” suaranya terdengar puas. Seperti baru saja menyelesaikan permainan yang dia yakin akan dimenangkannya. Sekar buru-buru memalingkan wajah, menolak memperpanjang rasa malu. Berusaha menarik kembali timbunan laporan investigasi yang harus ia selesaikan.
Usahanya sia-sia, ujung mata Sekat tak dapat menolak gambaran Arya yang masih menatapnya dalam diam. Menunggu Sekar menyambut. Sekar yakin, sudah lebih enam puluh menit ia terpaku. Tapi angka mesin cucinya tak kunjung berganti sejak pipinya berani merona.
Ia pasrah pada sunyi yang memegang kendali, hanya berlatar dengungan halus, ritmis, berputar-putar. Tidak lupa, tatapan Arya yang memancing hasratnya.
Selang kemudian, bunyi panjang dari mesin cuci memutus semuanya.
Sekar berdiri terlalu cepat, nyaris tergesa, menolak mengintip Arya lagi.
“Kamu mau ke mana? Dani...? Sekaar...!” panggil Arya, sedikit panik.
“Mau keringin bajuku. Udah kelar tuh,” kilah Sekar, melangkah tanpa menoleh. Tapi matanya terpaku pada mesin cuci yang... ternyata bukan miliknya. Angka dua belas berubah sebelas berkedip merah.
“Itu bukan punyamu,” ujar Arya, nada suaranya seolah hendak menertawakan. Dia bangkit, berjalan pelan. Sekar kembali duduk, menatap Arya yang kini mengambil keranjang di dekat mesin cuci yang digunakannya.
Dan di saat itulah Sekar melihatnya dengan sudut pandang berbeda. Kaos tanpa lengan itu memperlihatkan lengan Arya yang berotot secukupnya. Kulitnya kuning kecoklatan, tak gelap tapi juga tak terang. Celana jersey abu-abu hanya menutupi hingga paha atas. Arya tampak santai, tapi justru itu membuatnya semakin terasa berbahaya. Seperti hewan liar yang duduk tenang sebelum menerkam.
Arya jongkok, memindahkan pakaian, otot pahanya menegang halus. Sekar memerhatikan cara tubuh Arya bergerak; ringan, tak canggung, tapi penuh kesadaran akan ruang. Saat Arya berdiri, tubuhnya menjulang proporsional. Tangannya piawai memasukkan helai demi helai ke dalam mesin pengering. Sekar akui, kantuknya menyingkir, kalah dengan panorama Arya. Terlebih saat pria itu berbalik, memamerkan wajah maskulin dengan kumis dan berewok tipis yang membingkai mulut tebalnya. Ada sesuatu yang membuat Sekar tak bisa menoleh cepat-cepat.
Tercetak bibir Sekar melengkung kebawah. Setuju pada keindahan. Arya menangkap tatapan itu. Dia hanya mengangguk kecil, seolah berkata: ada yang salah pada diriku?
Sekar membuang muka, menanam teka-teki di sana.
“Kenapa? Kok liatinnya gitu?” langkah kaki Arya sebesar nada suaranya. Ingin cepat-cepat hinggap di bangku kosong. Jarak yang memisahkan mereka sejak awal.
Sekar menyandarkan tubuh, lalu berkata datar, “Ternyata benar kata temanku.”
“Apa? Kalau manusia itu dasarnya pembunuh?” tanya Arya bingung. Sekar menahan tawa. Hanya bibirnya yang bergerak, menggurat sinis. Gelengan kepalanya pelan.