Kutukan yang Kupanggil Cinta

virdytan
Chapter #4

Tiga - Serendipity

“Dan...!”

Roni menaikkan suaranya, lebih keras daripada biasanya, seolah mencoba menembus kabut tebal yang membungkus kepala Sekar. Sudah tiga kali ia memanggil nama temannya itu, tapi tak sekalipun Sekar menoleh. Ruang kerja divisi Kejahatan dan Hukum tempat mereka berada, bagi kebanyakan orang, hanyalah sekumpulan meja dan monitor, tapi hari ini bagi Sekar, itu terasa seperti dunia kecil yang terpisah, sunyi. Kecuali, suara jemari yang mengetik cepat dan napasnya sendiri.

Di balik layar laptop, Sekar tenggelam, nyaris tidak bergerak selama tiga jam terakhir. Kopi hitam di cangkir keramik, yang masih mengepulkan aroma tajam dua jam lalu, kini dingin. Sementara di dinding depan mereka, sebelas layar televisi menayangkan saluran berbeda, memuntahkan ribuan gambar per detik tentang dunia di luar sana: politik, olahraga, infotainment, kriminal... tapi semua itu hanya riuh sunyi. Tak satu pun cukup keras untuk memecahkan konsentrasi Sekar.

Stasiun televisi tempat mereka bekerja punya sistem yang tak biasa: bukan berdasarkan program atau jam tayang, melainkan jenis berita. Ada divisi politik, infotainment, olahraga, gaya hidup, ekonomi, budaya, kesehatan, dan tentu saja divisi kejahatan — tempat Sekar menggantungkan hidup. Dunia yang kelam, penuh aroma darah, penipuan, dan dendam, justru menjadi panggung di mana Sekar merasa paling hidup.

“Woy, Dan!” Suara Roni kembali menghentak, kali ini lebih kasar, membuat Sekar sedikit tersentak. Jari-jarinya tetap saja menari, seakan enggan lepas dari hipnosis kata-kata di layar.

“Anjrit, kaget aku! Napa sih? Lagi konsen nih kelarin naskah buat Lacak,”” gumam Sekar, masih tak menoleh, matanya terpaku pada layar yang menampakkan paragraf panjang. Kata-kata dingin tentang kematian, kasus, luka.

Roni menghela napas panjang, melipat tangannya, bibirnya membentuk garis geli. Ruang tiga puluh meter persegi itu hanya berisi mereka berdua. Bukan karena jam makan siang atau tanggal merah—tapi tim mereka memang sedikit, hanya tujuh orang, dengan tugas tersebar di luar kantor. Ada yang meliput ke polsek, ada yang mengintai TKP, ada yang mengorek arsip. Jam kerja mereka pun tak pernah sama. Sistem kerja mereka memang begitu, berputar dalam dua puluh empat jam tak kenal akhir.

“Lagian kamu kebiasaan, padahal kemarin bilang mau belajar lebih aware sama sekitar? Atau, udah lupa kejadian kamu hampir ketabrak gara-gara liat hp?” cerocos Roni sambil menggeleng, separuh geli, separuh kesal.

Sekar hanya menoleh sekilas, bibirnya tertarik membentuk senyum nakal. “Sori, masih usaha tuh... Kenapa?”

Roni mengangkat ponsel, menampakkan layar pesan dari ketua divisi. “Si Bos nanya, kamu mau balik jam berapa? Ini udah lewat jam kerja kamu. Over dua jam. Nggak ada duit lembur!" cecar Roni, menganyunkan ponsel ke arah Sekar. "Lacak juga masih tiga hari lagi. Nanti malam kamu kan keliling polsek, pulang gih, tidur.”

“Kok dia malah WU kamu?” tanya Sekar, nada suaranya malas, tapi matanya mulai bergerak mencari.

“Lah, hapemu mana?”

Sekar menunduk, memindai meja. Meja kerjanya hanya berisi tumpukan kertas dan bolpoin, sticky notes berwarna cerah. Ponselnya tak ada — harusnya tergeletak manis di kanan laptop. Dia menatap Roni, cemberut cemas. “Coba, miskolin hapeku, dong...” Roni menarik napasnya, menyesap oksigen. Otaknya sudah dipenuhi racun kesal, lalu menekan layar ponselnya, kuat. Tak takut layar ponselnya cacat. Dari speaker terdengar nada sambung. Mereka menunggu, celingak-celinguk, sunyi, lama.

“Kamu silent?” Geram menyeruak dari bibir bulat Roni.

“Enggak kok...” sahutnya berusaha berkonsentrasi mendengar dering ponselnya.

Hingga samar terdengar teriakan dari ujung lorong. “Hape sapa tuh yang bunyi?”

“Kebiasaan nih anak,” desis Roni, meletakkan ponsel, kembali ke pekerjaan. Sekar tertawa kecil, jemarinya menari lagi, ikut Roni. Tenggelam dalam dealine.

“Kok malah balik ngetik? Ambil hape sana, trus cabut!”

Sekar terkikik pelan, menunduk lagi. “Ini mau di-save, abis itu ngambil hape ke pantri, trus pulang.” Dia meraih tas coklat, menyelempangkan ke bahu, mencomot gelas kopi yang tinggal dingin.

“Duluan yaak…” katanya, menepuk bahu Roni saat lewat. Lalu berjalan keluar, seraya meneguk isi gelas.

“Iyo... jangan lupa nanti malem, nginep di polsek!” seru Roni setengah malas, tak mendapat balasan selain erangan tipis engsel pintu.

Sekar tidak langsung pulang. Alih-alih menuju kos, ia malah melajukan motor ke arah berlawanan. Ada ritual yang ingin ia bayar tunai: duduk di Dacha, kafe kesayangannya, dengan secangkir Americano dan seporsi Tiropita. Kombinasi yang tidak umum. Tapi, padanan kontras ini pilihan yang menarik baginya.

Sudah sebulan lebih ia tak menyapa dinding bata ekspos di sana, tak menatap jam pendulum raksasa, tak mengamati orang-orang lalu-lalang di seberang jalan. Bayangan saja sudah cukup memicu serotonin dan dopamin menari-nari dalam darahnya. Hidup berantakan seperti miliknya memang butuh cara sederhana untuk tetap terasa pantas dijalani. Parkir dia, berjalan pelan melewati pintu kayu besar, disambut aroma espresso pekat dan kayu tua yang hangat.

Serendipity.

Kata itu menari di kepalanya saat ia melangkah kecil menuju loket pemesanan, matanya terpaku pada sosok pria dengan potongan tubuh familier. Arya. Berdiri dalam antrean, hanya berjarak dua orang dari kasir. Dunia terasa seolah sedang berkonspirasi. Rasanya janggal bertemu orang yang sama di tempat tak terduga, dalam rentang waktu sesingkat ini. Apa ini hanya permainan kebetulan? Atau semesta sedang menarik benang merah di antara mereka?

Langkah Sekar sempat melambat. Hatinya berdebat: mundur atau lanjut? Tapi lalu pikirannya menegur. Tak mungkin juga Arya sengaja mengikutinya. Ia menghela napas, melangkah lagi, tatapannya tertuju penuh pada punggung Arya, menelisik garis ototnya di balik kaos tipis. Sekar terus menatap, sampai jarak tinggal satu meter.

Arya rupanya merasakan tatapan itu.

Perlahan ia memutar tubuh, matanya langsung bersinar saat melihat Sekar menatapnya dengan alis terangkat. Senyum lebarnya seketika merekah, seolah Sekar adalah teka-teki yang baru saja diselesaikan

Lihat selengkapnya