Kutukan yang Kupanggil Cinta

virdytan
Chapter #5

Empat - Memulai Permainan

Sekar mulai merasa tak nyaman dengan tatapan Arya. Tatapan itu terlalu lama singgah, seakan hendak menembus lapisan terdalam dirinya. Padahal, di sisi lain, itu mungkin tatapan paling hangat yang pernah ia dapatkan dari seorang pria. Sayangnya, kehangatan itulah yang justru terasa seperti ancaman, menantang ideologi yang selama ini sudah terpaku di benaknya.

Kalaupun hidup harus menyeretnya menjadi pasangan pria ini suatu hari nanti, Sekar bersumpah pada dirinya sendiri: ia akan memastikan lelaki di hadapannya hanyalah penopang. Tak pernah lebih, tak akan jadi perangkap bagi jiwanya yang enggan lapar cinta.

“Terus, berapa hari kemudian…” Arya melanjutkan, masih menatapnya dengan pandangan itu. Hingga akhirnya, sorot matanya meredup, lalu berpaling.

“Untuk kedua kalinya, aku liat kamu pas aku duduk di sana.” Ia menunjuk ke sebelah kanannya, ke arah sudut di mana tiga remaja laki-laki berseragam sekolah tampak larut dalam ponsel masing-masing. Jarak mereka tak jauh, hanya terpaut sudut. Sekar sempat menoleh, melihat jemari-jemari yang sibuk menari di layar.

Samar terdengar sorak rendah dari bibir mereka. Arya sempat melirik, karena suara-suara itu datang dari permainan daring produksi perusahaannya sendiri.

“Kenapa?” Sekar bertanya, heran melihat Arya terpaku menatap ketiganya.

“Nggak papa… cuma keinget kejadian waktu itu.” Bohongnya terdengar ringan, kemudian ia kembali memutar tubuh menghadap Sekar, membawa tatapan itu lagi.

“Waktu itu kamu kelihatan beda. Kaya orang frustrasi.” Nada Arya merendah, seakan ia benar-benar merasakan perih yang pernah Sekar pikul.

“Tapi kamu nggak nampakin banget. Kamu cuma duduk, merem, dua tangan kamu megang cangkir kayak gini.” Arya bahkan menirukan gaya Sekar waktu itu, menahan sesuatu yang tak bisa gadis itu ceritakan. Momen-momen di mana kasus melibatkan perempuan selalu menjadi hantu paling gelap bagi Sekar. Entah mereka korban, atau pelaku — hatinya selalu jungkir balik.

Melihat Arya menirukan gaya depresinya malah membuat Sekar ingin tertawa.

“Bukan gitu juga kali aku megangnya!” sanggahnya cepat.

“Pesananku aja belum dateng, sih! Nanti liat sendiri, peganganku nggak sekaku itu!” lanjut Sekar, mengejek Arya, pura-pura sebal.

“Ya pokoknya kamu gitu lah. Terus aku liat kamu beberapa kali ngehirup cangkir, tapi nggak diminum. Aku sempet mikir, ini orang ritual apa gimana?” Arya menggoda, mencoba membuat mereka lebih santai.

“Ya enggak lah. Emang kalo lagi banyak pikiran… kebiasaanku ya gitu.” Sekar melipat bibirnya. Ia tak mau Arya lebih jauh menginterogasi pikirannya, jadi buru-buru memotong, “Terus?”

Arya tertawa kecil, lalu memutar badan lagi, menunjuk tempat semula. “Terus, yang ketiga kalinya aku liat kamu dari sana lagi. Kamu lagi ketawa-ketawa sendiri liat hape. Lucu aja. Ngingetin aku, ternyata ini ekspresi lain yang kamu punya. Walau ketawamu nggak sekencang pas pertama kali aku liat kamu, tapi tetep ngundang perhatian orang.”

Arya mencondongkan badan, seolah ingin membisikkan gosip.

“Nih ya, waktu itu banyak cowok yang dateng, terus beberapa kali lirikin kamu.” Nada Arya mendadak ringan, menggosip seolah-olah, membuat Sekar tertawa kecil.

Sekar langsung menghela tawa pendek. “Kamu kaya emak-emak, hobinya ngomongin orang.”

“Tapi beneran!” Arya menatapnya serius, lalu berubah menggoda. “Mungkin kamu udah biasa dilirikin banyak cowok. Jujur, aku juga nyuri-nyuri pandang ke kamu waktu itu. Tapi ya kamu nggak nangkep lirikan kita, cowok-cowok yang terpesona.”

“Iya tau. Terus?” Nadanya tinggi, tak ingin Arya lama-lama bermain rayu.

“Terus yang keempat kalinya… ya pas aku nyamperin kamu itu.” Suara Arya kembali melunak, nadanya bergeser menjadi nyaris prihatin

“Kamu balik lagi kaya orang frustrasi.” Wajah Arya menyiratkan keingintahuan yang Sekar pura-pura tak lihat.

“Jujur aja, aku lebih suka liat kamu pas senyum. Aku yakin, cowok-cowok yang lirikin kamu juga mikir gitu.”

“Ngaco deh, ngapain coba, bawa-bawa cowok lain?” Sekar mengalihkan pandangan, dadanya menegang.

“Sorry. Maksudnya, kamu lebih mempesona kalau ceria. Waktu itu, kamu terlihat sedih banget... aku cuma pengen kenalan, sapa tau bisa bikin kamu ketawa. Aku punya banyak jokes lho.” Arya menegaskan dengan percaya diri.

Ada rasa bersalah yang mengintip hati Sekar. Jarang ada yang fokus untuk menghiburnya. Kebanyakan orang hanya sibuk bertanya kenapa ia sedih. Tapi Arya… Pria itu datang membawa senyum.

Ia tak sadar dirinya tersenyum.

“Kok senyum?”

“Masa kamu bisa nge-jokes? Coba!” Sekar menantang, sengaja meremehkan.

“Dih, nantangin?” Arya pura-pura tersinggung. Ia menegakkan badan.

Lihat selengkapnya