Kutukan yang Kupanggil Cinta

virdytan
Chapter #6

Lima - Merindumu

Sudah hampir tiga bulan sejak pertemuan terakhir Sekar dan Arya di kafe Dacha. Dunia seolah berubah, tapi sunyi yang melingkupi Sekar masih sama, hanya saja kini perlahan diisi ulang. Sekar tak lagi bersikap sinis pada Arya. Dinding-dinding pertahanannya retak, menampakkan celah di mana tawa Arya bisa masuk, menanamkan benih kebersamaan. Prosesnya tak selama yang ia kira — keakraban itu menetes perlahan, mengikis rasa curiga yang dulu begitu menjejal di dadanya.

Sejak hari itu, Arya rajin menautkan dirinya ke dalam hidup Sekar. Telepon, pesan WhatsUp, kadang video call yang putus-putus, atau pertemuan langsung yang tiba-tiba — seolah Arya sedang merenda semacam jaring halus yang menjeratnya, tanpa Sekar sadari. Hampir setiap tiga hari sekali mereka bertemu, di kafe Dacha yang temaram atau lorong-lorong pusat belanja yang riuh. Tak jarang Arya muncul di kantor Sekar, membawa sekotak makan siang yang aroma bumbunya sudah menyeruak sebelum ia sempat membuka.

Seperti saat pertama Arya datang ke kantornya. Telepon kotak kaku di meja kerja Sekar tiba-tiba meraung, memecah kesunyian yang hanya diisi gumam komputer dan suara ketikan jari. Sekar tak menggubris. Rasanya dunia di kepalanya jauh lebih bising daripada suara dering sialan itu. Sampai Roni, yang duduk paling dekat, melempar penjepit kertas ke arahnya.

“Woy Dan! Kamu budek apa ya?” bentaknya, menembus jarak tiga meter yang membuat penjepit itu jatuh tak berguna di lantai.

Sekar meraih gagang telepon dengan malas, tangan kirinya memencet tombol sambil tangan kanannya masih asyik menggulir tetikus. Suara operator yang cempreng langsung menusuk gendang telinganya, menambah perih hari itu.

“Mbak Dani, ada yang cariin, namanya Arya. Mbak bisa ke sini?”

“Hah? Hmm... yaudah aku ke bawah. Makasih Rin.”

Ia menutup telepon dan bangkit. Roni mengikutinya dengan tatapan geli, keningnya yang lebar mengerut, sementara tiga rekannya hanya melirik sekilas, kembali ke layar monitor mereka — tenggelam lagi dalam berita kriminal, korupsi, atau entah aib siapa lagi.

Arya duduk di kursi tamu di balik dinding kaca bening. Matanya langsung menemukan Sekar, senyumnya melebar seolah baru saja menemukan matahari setelah pekan-pekan hujan. Sekar menghentikan langkah, mematung di ambang pintu. Ada sesuatu yang aneh berdesir di dadanya — ia benci itu, benci perasaan yang seperti ditarik ke suatu tempat yang lembut tapi asing.

“Kamu kok bisa ke sini? Tau dari mana gedung kantorku yang ini?” Tanya Sekar, nadanya tetap ketus. Ia menuruni anak tangga pelan, menekan kartu ID ke mesin kecil yang berkedip merah. Setelah lampu berganti hijau, ia dorong pintu kaca itu, membiarkan udara ruang tunggu — yang lebih dingin dan harum cairan pembersih lantai — menyergapnya.

Arya memamerkan plastik besar hitam pekat di pangkuannya. Sekar melotot.

“Ini apaan?”

“Buka aja,” kata Arya. Senyumnya tampak canggung, tangannya menepuk-nepuk bungkusan seolah memastikan isinya tidak kabur.

Sekar membuka ikatan plastik itu. Aroma cuka beras dan rumput laut langsung menguar, menampar hidungnya dengan rasa lapar yang tiba-tiba. Di dalamnya puluhan kotak sushi bertumpuk, masing-masing berisi dua belas potong warna-warni. Ada rasa geli sekaligus hangat yang menyusup diam-diam ke tulang rusuknya.

“Kok kamu bisa tau aku suka sushi dari restoran ini?”

Arya tertawa. “Waktu itu nggak sengaja lihat bungkusnya di motor kamu. Jadi aku nebak aja.”

“Banyak banget! Kirain ini apaan,” gumam Sekar, jarinya menyusuri kotak demi kotak seperti menyentuh rahasia kecil yang hanya mereka berdua tahu.

“Sengaja, soalnya nggak tau kamu sukanya yang mana. Jadi aku beli semua dua-dua. Kalau sisa, bawa pulang, atau bagi-bagiin ke teman kamu.”

Sekar merasakan pipinya panas.

Sial.

“Kamu sengaja ya tuker plastiknya? Kan resto ini ada plastik sendiri.” Ia memalingkan muka pura-pura sibuk mengikat plastiknya lagi.

“Iya, biar surprise dong. Eh, kok ditutup lagi?”

Sekar menghela napas. “Belum waktunya istirahat, ini aku cuman bentar doang. Gapapa kan?”

“Gapapa. Kebetulan tadi aku abis ketemu klien di sana, terus sekalian lewat sini.”

“Emang kamu kerja di mana sih?”

Lihat selengkapnya