Arya berhasil merusak Sekar. Merusak ritmenya, pikirannya, bahkan gairahnya pada pekerjaan yang selama ini jadi pelarian. Tiga jam dia duduk di depan laptop, menatap layar kosong yang seharusnya sudah penuh naskah. Tetapi tidak. Yang ada hanya kursor berkedip menatap balik, seakan mengejek.
Hingga Roni datang, membawa Sekar kembali dari lamunan yang terlalu dalam.
"Udah kelar naskahnya?" tanya Roni, tubuhnya mencondong memeriksa layar laptop Sekar.
Yang ia temukan justru sebaliknya. Halaman yang sama, sama persis seperti pertama kali ia lihat. Saat Sekar baru saja duduk dan membuka laptopnya. Satu dokumen yang seolah membeku, tak mau bergerak maju.
Ia meneguk udara. “Astagaaa...” serunya, nadanya bagai orang yang baru ingat sedang hidup. Jerit kecilnya bahkan membuat Roni mundur sedikit.
“Kamu kenapa sih?” Nada Roni terdengar lebih serius daripada biasanya. Sekar tak menjawab. Ia hanya menoleh dengan mata merah, bibirnya terkatup menahan runtuh.
“Belum aku kerjain... shit!” gumam Sekar. Tangannya langsung mengobrak-abrik meja, mencari berkas pendukung. Tumpukan map plastik, sticky notes, bahkan pulpen berserakan seperti reruntuhan.
“Lho, kok bisa? Katanya harus kelar hari ini?” Sekar menatap Roni, memohon. Telapak tangannya saling merapat, menekan rasa malu. "Yaudah, kamu kerjain aja dulu gih. Deadline-nya juga diundur kok.”
“Heh, kok bisa?” Sekar mengerjap, kepalanya terangkat.
“Ada wawancara eksklusif sama Presiden. Bu Michelle berhasil ngebujuk pihak istana. Jadi program kita nggak jadi tayang.”
Sekar mengembuskan napas panjang. Otot-otot punggungnya lemas seketika, dan ia membiarkan kepalanya jatuh, tepat di celah sempit antara laptop dan meja.
Suara dentuman kecil, seperti jantungnya yang akhirnya mau berdetak normal lagi.
“Emang dari tadi kamu ngapain aja?” tanya Roni pelan, namun dengan sorot mata yang diam-diam menuduh.
Tak biasa Sekar seperti ini. Dengan reputasinya, naskah itu seharusnya sudah siap dua jam lalu, siap dilahap proses editing visual.
“Gapapa, cuman… banyak pikiran aja.”
“Arya?”
Satu kata, satu nama, dan Sekar tak lagi bisa sembunyi.
Tatapan Roni begitu menusuk, menelanjangi rahasia yang Sekar pikir masih terkubur dalam.
“Yaudah sih, kenapa nggak kamu aja yang bilang suka ama dia?” Roni menarik kursi, duduk. Bahunya bersandar, ingin mendengar lebih denyut hati Sekar dari dekat.
“Gengsi laah… Lagian bukan itu masalahnya. Udah tiga hari WU-ku dibalas seadanya! Aku telpon, direject terus.” Nada Sekar patah-patah, seperti kayu lapuk.
“Kemarin-kemarin juga! Bilangnya sorry, lagi ribet lah, meeting lah… Banyak banget alesan! Bikin nggak mood, bikin mikir macem-macem!” Gerakan tangannya liar, hampir menyenggol gelas air. Hampir membuat Roni siaga.
“Seriusan?” Roni menutup mulutnya dengan tangan, matanya bulat bagai kelereng.
“Beneran! Nih, liat aja kalau nggak percaya.” Sekar hendak meraih ponselnya yang terbaring tak berdaya di meja.
Tapi Roni buru-buru menahan. “Bukan! Maksudku seriusan kamu jadi kayak gini? Akhirnya kena karma juga ya!”
Senyum lebar Roni adalah pisau, memotong harga diri Sekar.
“Kurang ajar, sialan kamu!” Sekar meninju bahu Roni, keras.
“Becanda… sakit, njrit!” Roni meringis, tapi masih tertawa. Tangannya naik turun mengusap tempat pukulan. “Ya, positif thinking aja. Siapa tahu dia beneran sibuk.”
Sekar menghela napas panjang, kemudian, suaranya merendah seperti bisikan yang tersesat di angin AC. “Iya aku paham, tapi…”
“Tapi…?” Roni sengaja memperpanjang jeda, matanya meremang menanti rahasia.
“Aku nggak punya bukti kuat kalau dia beneran sibuk! Siapa tahu dia bohong, kan? Terus pelan-pelan ngindarin aku… Di saat aku mulai terbuka buat dia.”
Roni ternganga.
“Sumpah aku nggak percaya dengan fenomena di depanku!”
Sekar mendesis, “Hah? Apaan sih?” dan lagi, sebuah tinju mendarat lebih brutal.
"Aw..." Seperti ikan, mulut Roni meniup-niup udara.
"Makanya jangan iseng, lagi bete nih!” Sekar menatapnya dengan kemarahan kekanak-kanakan.