Kutukan yang Kupanggil Cinta

virdytan
Chapter #8

Tujuh - Patah Hati

Restoran hotel tempat Sekar kini berada, sesungguhnya tak memancarkan sesuatu yang istimewa malam itu.

Tidak bagi Sekar.

Begitu pelayan mengantarnya ke meja yang telah dipesan Arya, ia tak menemukan setangkai mawar menunggu di vas kaca, tak ada sebatang lilin yang berkedip malu-malu, tak juga semerbak aroma wangi yang biasa menandai perayaan cinta.

Restoran itu malah riuh, ramai dengan denting gelas, gumam percakapan, dan tawa tamu-tamu yang merasa dunia memihak pada mereka malam ini.

Sekar duduk, mengatur napasnya, mencoba menertawai ekspektasinya sendiri yang melayang terlalu jauh.

Dalam khayalnya, Arya akan datang menggenggam seikat bunga, menatapnya dengan sorot malu-malu lalu mengajaknya menari di antara meja.

Ia bahkan membayangkan musik lembut mengalun, mengisi celah di antara degup jantung mereka.

Nyatanya? Ini lebih mirip ujian kesabaran daripada dongeng.

Ia menatap menu di tangannya, membolak-balik halaman hanya untuk memberi kesibukan pada jemari yang sebetulnya dingin.

Hatinya yang berkobar seketika mengecil, menepi. Namun setiap kali ia meremas lembut buku menu, Sekar menenangkan diri dengan satu bisikan: Mungkin Arya masih mempersiapkan kejutan.

Bukankah ia bisa saja muncul sebentar lagi, membawa bunga paling megah yang pernah ia lihat?

Menit berlalu lambat. Sekar menoleh pada jam emas di pergelangan tangannya. Jarum pendek baru menuju angka tujuh, sementara jarum panjang merayap ke angka sepuluh. Ia datang terlalu cepat, terlalu semangat, terlalu... kasmaran.

Bahkan ia sadar betul dirinya terlalu serius menyiapkan malam ini. Sekar — yang biasanya tak acuh pada cermin — menata diri nyaris sempurna.

Foundation tipis menutupi kulitnya yang sebetulnya tak memerlukan banyak bantuan. Blush on hangat menari di pipi, highlight menandai lengkung tulang.

Matanya, Tuhan, matanya dibuat lebih besar, lebih dalam, oleh sapuan eyeshadow, liner hitam tipis, maskara yang membuat bulu matanya melambai setiap berkedip.

Alisnya sedikit menebal, menajamkan tatap.

Dan bibirnya… hanya polesan lip tint lembut. Ia ingin Arya melihat betapa alami merahnya bibir itu, betapa ia masih Sekar yang sederhana

Gaun hitam A-line Tea-length memeluk tubuhnya, dihiasi sabuk keemasan yang membelah pinggang. Rambutnya yang biasanya digulung malas kini terurai dengan lembut di atas dada, kepangan besar menumpu di bahu kanan.

Kombinasi rapi sekaligus liar — cerminan hati yang berdebar tak karuan.

Ankle Strap Heels dua belas sentimeter, dengan tali emas menambahkan kesan centil. Bahkan membuat Sekar merasa sedikit canggung dengan bayangannya sendiri, saat menatap kaca toilet restoran sebelum masuk.

Dan benar saja, beberapa pasang mata menoleh saat ia melangkah mengikuti pelayan ke mejanya. Entah kagum, entah iri — tapi Sekar tidak peduli.

Ia justru menikmati.

Seolah sebagai simulasi akhir, sebelum mata yang ia inginkan mengaguminya. Pria itu harus tahu, semua ini hanya untuknya — Arya, yang belum juga muncul.

Dalam usahanya menahan gelisah, Sekar merogoh wristlet hitam yang bertatah aksesori emas, meraih ponsel, membuka WhatsUp, dan menatap pesan terakhir Arya, yang terbaca tiga puluh menit lalu: sorry, aku bakalan telat dikit, kamu kalau udah otw ydah hati2. Tapi kalau belum, nanti aja gpp dari pada kamu nungguin aku lama.

Pesan itu, sayangnya, baru ia lihat saat taksi yang mengantarnya sudah tiba di lobby hotel.

Sekar membalasnya singkat, menenangkan Arya — padahal, lebih dari siapapun, dialah yang harus ditenangkan.

Dan sekarang, di sinilah ia, duduk sendiri di meja restoran mahal, sambil mengusap paha bawah gaunnya gelisah.

Ia hendak mengetik lagi. Menanyakan Arya sudah sejauh mana. Tapi jemarinya terhenti. Ia meletakkan ponsel, menutup napas yang nyaris melayang.

Buku menu kembali diambil, lembar demi lembar ia buka, hanya untuk memalingkan diri dari pintu masuk. Setiap helai yang berbalik, menjadi pengalih agar hatinya tidak melompat terlalu awal.

Sampai halaman ke tiga belas.

Lihat selengkapnya