L.A. THE DETECTIVE

Nur Baiti (Hikaru)
Chapter #1

#1

Kami berempat duduk berhadapan. Gary Stewart, Steve Higgins, Larry Watson, dan aku sendiri, Mary Olsen. Larry –ketua tim kami- sedang berbicara, membeberkan rencana pengungkapan kasus yang dilimpahkan Kapten Brock pada kami. Meja di depan kami penuh dengan kertas. Layar besar di hadapan kami memperlihatkan peta lokasi sebuah ruangan dari berbagai sudut yang akan kami datangi, dan beberapa file lain yang kami temukan. Larry menjelaskan beberapa detail, sebelum membagi tugas berdasarkan kemampuan spesifik kami masing-masing.

Larry sesungguhnya orang yang keras kepala. Ia jenius, tapi masih cukup toleran untuk mendengarkan pendapat kami, -tiga detektif  lain yang terpilih-, untuk memberikan masukan, atau bahkan mengubah rencana bila perlu.

Dengan mata biru jernih, rambut pirang keemasan, dagu yang kokoh sehingga menimbulkan kesan aristokrat dan kharismatik. Keseluruhan penampilan Larry tanpa cela. Ia punya pesona yang mampu meluluhkan hati semua wanita di bumi, dan senyumnya begitu menawan, - seandainya saja ia lebih sering melakukannya-.

Jika ditanya bagaimana perasaanku terhadap Larry, aku akan menjawab bahwa aku menaruh hormat padanya. Well…, baiklah mungkin ditambah sedikit rasa simpati dan kagum. Hanya sedikit, kurasa. Kau tahu kan maksudku dengan ‘sedikit’ lebih dari rasa hormat dan simpati?

Aku tak mungkin menunjukkan perasaanku pada Larry. Ia tidak punya waktu untuk itu. Baginya hidup hanya peralihan menyelesaikan kasus demi kasus. Sesederhana itu.

Meskipun Kapten Brock mengatakan Gary mirip, aku pribadi tidak sependapat. Walaupun Gary juga berambut pirang, ia bermata coklat dan tidak punya kekhasan seperti yang dimiliki Larry. Mata biru Larry bisa menyorot tajam seperti elang, birunya yang jernih seperti laut samudra pasifik yang dalam, seolah meneropong jauh ke dalam jiwamu dan untuk sesaat kau akan merasa dikuliti. Tapi ia juga bisa bersinar lembut saat kami berdiskusi seperti sekarang. Gary juga punya dagu yang kokoh, tapi tidak punya kesan aristokrat atau bangsawan. Tapi sifat mereka berdua memang mirip, dan mungkin itu sebabnya kenapa mereka selalu menjadi partner yang kompak.

Partnerku sendiri, Steve Higgins berambut coklat dengan bola mata yang jauh lebih gelap dari rambutnya. Meskipun Sarah, kekasihnya mengatakan Steve orang paling lucu sedunia, sesungguhnya Steve memiliki kemampuan yang tidak dimiliki kami bertiga: keterampilannya menggunakan senjata di luar senjata Kepolisian. Larry memiliki sebuah ranch dan menguasai keterampilan seorang cowboy namun Steve tetap lebih unggul. Steve bisa memanah dan keahliannya melempar pisau tak tertandingi. Meskipun Steve partnerku, aku hanya tahu ia berasal dari Nebraska, tapi tidak tahu persis dari mana atau bagaimana ia mempelajari hal tersebut.

Aku menjadi satu-satunya wanita sekaligus yang termuda dalam tim ini. Ketiga rekanku yang lain adalah para seniorku di Akademi. Kapten Brock memilihku karena aku cerdas dan bisa diandalkan. Kami berempat mahir menyamar tapi aku lebih bisa menyusup dalam keadaan tertentu. Aku bukan model tapi penampilanku lumayan. Aku memiliki mata hijau dan rambut coklat yang sedikit bergelombang. Aku baru tiga tahun bergabung di LAPD dan sedang menimbang-nimbang tawaran melanjutkan pendidikanku di bidang hukum. Pada hari-hari biasa aku akan memakai setelan dan mengikat rambutku ke belakang. Tapi pada saat aku harus menyusup dalam pesta seperti dalam penyamaran pertamaku, aku akan membiarkan rambutku tergerai hingga ke bahu, dan memakai gaun.

 

                                                  *         *         *

 

“Kopi, guys,” aku masuk sambil membawa empat cangkir kopi dan taco bell.

Steve mengerang. “Sepertinya malam ini kita akan lembur,” ia pura-pura mengeluh.

“Yah, itu kan yang membuat kalian menyukaiku?” Larry tertawa sebelum menyeruput kopinya.

“Dasar maniak kerja,” aku mengambil bantal sofa dan duduk di hadapan Larry. Saat ini pukul sebelas malam dan kami berempat berkumpul di rumahku membahas kasus yang kami tangani.

“Terima kasih pujiannya, Mary.” Larry tersenyum.

Gary bangkit dari kursi dan meregangkan tubuhnya. “Aku bosan,” ia menguap.

“Mau ke atap?” ujar Steve dan kami bertiga langsung tertawa. Terakhir kali kami membahas kasus di apartemen Larry, menunggu beberapa hasil dari lab forensik hingga larut malam hingga kami merasa bosan. Larry mengajak kami ke atap gedung apartemennya. Tidak ada yang kami lakukan kecuali mengobrol sambil merapatkan jaket dan menikmati pemandangan malam. Kami baru kembali masuk setelah matahari terbit. Itu saat-saat yang menyenangkan, tapi sekarang, dengan banyak tetangga di kompleks ini, mengajak mereka bertiga duduk di atap rumahku jelas bukan ide yang bagus.

Gary menggigit burritonya dan mendekat. “Jadi, apa menu kita malam ini?”

Itu jelas pertanyaan yang salah karena kami segera mendekat dengan bersemangat dan membuka file masing-masing.

“Pembunuhan dengan luka tembak….,”

“Kemungkinan dilakukan professional….,”

“Aku sudah cek sample darahnya di CODIS, tidak ada yang cocok.”

“Tidak ditemukan sidik jari…, hebat bukan?”

“Coba lihat apa yang kutemukan…,”

“Jangan bilang kau punya barang bukti…,”

Kami berempat berebutan berbicara. Jika sudah seperti ini, bisa dipastikan kami akan bekerja lembur sampai pagi.

Larry tertawa melihat semangat kami. “Senang bisa bekerja dengan kalian, guys.”

Well…,” aku tersenyum. “Sebuah kehormatan bisa terpilih dalam tim-mu.”

“Oh ya?”

Aku mengangguk. “Kau hebat.”

Larry mengangkat bahu. “Kudengar sih begitu.”

Aku tertawa.

Larry mengangkat cangkir kopinya. “Kalau begitu kita bersulang.”

Aku menyentuhkan cangkirku pada cangkir Larry.

“Uu…h, aku benci akhir yang bahagia.” Steve mengerang lagi, tapi ia mendekat. Gary mengangkat gelasnya. “Untuk tim,” ucapnya.

“Untuk tim,” ulang kami bertiga dan mereguk kopi masing-masing.

                       

                                              *         *         *

 

Aku tidak tahu bagaimana awalnya aku bisa terlibat dalam kekacauan ini. Aku sedang berada di restoran ketika sebuah keributan kecil terjadi. Aku tahu ada beberapa rekan di Kepolisian yang sedang menyamar dan sengaja membuat hal ini untuk memancing para pengedar narkotik. Sesungguhnya aku tidak boleh ikut campur karena bisa jadi aku malah akan menggagalkan rencana mereka. Tapi ketika keadaan mendadak kacau, dan sebuah keribuatan kecil berkembang menjadi perang antar gank dengan baku tembak di sekelilingku, aku segera menyambar pistol untuk melindungi diri. Posisiku tidak begitu menguntungkan karena aku terjebak tepat di tengah dua kubu yang saling melancarkan tembakan.

Aku berlindung di bawah meja. Aku baru akan mengintip ke luar ketika gelas-gelas di atasku pecah terkena tembakan. Pecahan kacanya tersebar di mana-mana. Aku bisa mendengar suara sirine mendekat, tapi tahu belum cukup aman bagiku untuk keluar dari tempat ini dengan selamat.

Tepat pada saat itu, aku melihat Larry. Ia mendekatiku, menunduk, menggunakan tubuhnya untuk melindungiku, menarik tanganku dan membimbingku menuju mobilnya.

“Mary, kau membuatku khawatir,” ia berkata ketika kami sudah jauh dari kerumunan. Untuk sesaat kata-katanya membuatku melambung.

“Kita satu tim. Aku tidak mau ambil resiko dan melihat anggota timku terluka.”

“Oooo…h.”

Aku terperangah. Sedikit kecewa dengan apa yang sempat kupikirkan. Seketika aku menyadari bahwa ia memang tidak punya maksud lain. Maksudku, walaupun terdengar nada khawatir dalam suaranya, dan caranya menjauhkanku dari pusat kekacauan, semua itu ia lakukan semata-mata karena naluri. Naluri untuk melindungiku, karena kami satu tim, tidak lebih.

Aku menyentakkan tangannya. “Kau meremehkan kemampuanku,” aku berseru marah. Aku tidak tahu apakah aku marah karena ia menganggapku wanita lemah yang perlu dilindungi, ataukah aku marah karena aku ingin ia menganggapku lebih dari sekedar anggota tim.

Ia tampak kaget dan menatap mataku. Aku merasa tubuhku seolah lumpuh. “Jangan bertindak sendiri, Mary. Kita sudah berbagi tugas. Kita bekerja sebagai tim, kita berempat.”

Tim. Hanya itukah yang ada di pikirannya? Hanya itukah yang ia pedulikan? Pekerjaan, kasus, dan tim? Tidakkah seharusnya ia punya sedikit kepedulian padaku? Pada perasaan-ku?

Aku berdiam diri sepanjang perjalanan. Kami sampai di markas dan wajahku pasti tampak keruh karena ketika aku masuk, Gary melihatku membanting pintu dan bertanya kepada Larry.

“Kenapa dia?”

Larry mengangkat bahu. “Tidak tahu.”

Gary menggeleng-gelengkan kepalanya. “Woman!” serunya tak habis pikir.

Aku menyesal tidak membanting pintu lebih keras.

 

                                               *         *         *

 

”Perlu kubantu, Nona?”

Aku menoleh, nyaris terpekik melihat Larry di sisiku.

”Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku kaget. Ia TAK- MUNGKIN mengikutiku kan?

”Sama sepertimu,” Larry menjawab sambil mengikuti langkahku ke supermarket.

”Kau berbelanja?”

Larry mengangguk. ”Aku perlu beberapa junk food, beberapa kaleng minuman dan coklat....”

Dia jelas berbohong. Aku tahu benar Larry tidak memakan makanan semacam itu.

”Aku lumayan pintar berbelanja,” akunya. Aku menatapnya tak percaya.

Well, terutama jika untuk laptop, pistol atau semacam itulah,” lanjutnya membuatku tersenyum. Larry membantuku mendorong kereta belanja. Nyatanya ia hanya menjajari langkahku tanpa membeli apa pun.

“Kau lupa coklatnya.” Aku berkata sambil menuju kasir.

“Aku mengarangnya.”

Aku tertawa. “Kau menyebalkan, tahu?”

“Memang,” Larry menjawab acuh sambil terus berjalan.

 

                                               *      *      *

 

Aku tiba di taman lebih awal pagi ini dan hanya menemukan Larry di arena jogging yang telah kami sepakati. Steve dan Gary belum kelihatan.

“Ke mana yang lain?” tanyaku setelah menyapa Larry.

“Sepertinya masih dalam perjalanan,” jawab Larry sambil melakukan pemanasan. Aku melakukan hal yang sama.

Setelah beberapa saat, Larry berlari-lari kecil dan meloncat di tempat beberapa kali. “Kurasa aku sudah siap,” ujarnya saat kakinya mendarat ke tanah. “Aku bersemangat sekali hari ini dan seharusnya aku bisa menang.”

“Oh ya, mau bertaruh?” aku memberi isyarat ke ujung lintasan.

“Apakah itu sebuah tantangan?” Larry tersenyum dan hatiku rasanya meleleh.

Aku berpura-pura membenahi ikatan tali sepatuku untuk menyembunyikan wajahku yang pasti memerah karena malu.

“Hanya jika kau berani,” tantangku lagi.

“Baik,” Larry mengangguk setuju. “Kutraktir kau makan siang jika menang.”

‘Makan siang?’ aku menimbang-nimbang. Sebenarnya aku lebih suka makan malam. Tapi…, baiklah, kurasa makan siang juga cukup oke.

Kami sepakat dan memulai lomba. Dua keuntunganku adalah Larry tidak tahu kalau aku pernah menjadi atlet junior serta memenangkan lomba lari jarak pendek, dan kini aku yang memberi aba-aba. Larry mendahuluiku di depan dan aku menyusulnya. “Kejar aku kalau bisa.”

Ia menambah kecepatan dan aku juga. Kami berlari bersisian. Kadang ia mendahuluiku lalu aku yang ganti mendahuluinya, begitu berulang-ulang.

“Seharusnya kau lebih banyak latihan di Wyoming,” seruku sambil berlari.

“Di Wyoming aku pakai kuda,” balasnya. “Aku akan mengalahkanmu,” ia melihat ke ujung lintasan.

“Coba saja, Cowboy.” Aku melesat meninggalkannya. Larry mengejar. Ia hanya beberapa senti di belakangku. Aku merangsek maju lebih cepat, mencapai ujung lintasan, hanya satu detik sebelum kulihat Larry di sampingku dan aku bersorak.

“Baiklah…,” ia berkata sambil mengatur napasnya. “Kurasa pertandingan tadi cukup adil. Kau boleh pilih restoran mana pun yang kau mau.”

Aku tersenyum. Larry membalas senyumku dan kurasakan pipiku tiba-tiba menghangat.

                                                  *         *         *

 

”Kenapa kau menjadi polisi?”

”Aku senang membuat onar,” jawab Larry asal. Kami sedang menikmati makan siang di restoran yang kupilih. Sesuai janjinya, Larry mentraktirku karena aku mengalahkannya dalam lomba lari kemarin. Steve dan Gary menggodaku karena kami hanya pergi berdua, sementara aku menyalahkan mereka karena terlambat datang sehingga tidak ikut bertaruh.

”Ayolah,” aku tertawa. ”Laki-laki seperti dirimu kutebak lebih senang memandangi sinar bulan sendirian daripada bergabung di klub malam. Pasti ada hal lain yang kau cari.”

”Oh ya? Kenapa aku harus mencari sesuatu?” Larry tertawa.

”Ya..h, karena jika kau terbiasa hidup senang sejak kecil...,”

”Aku tidak merasa senang sejak kedua orang tuaku tewas dan aku masuk asrama.” Larry memotong.

”Baiklah, kita bisa kecualikan hal itu, tapi mungkin kau merasa hidupmu membosankan, sehingga kau mulai mencari tantangan baru selain mengurus perusahaan ayahmu itu, atau...,”

”Atau apa?”

”Cinta sejati?”

Tawa Larry langsung meledak. “Kau sungguh pengertian,” ledeknya.

“Pernah dengar dongeng seorang pangeran yang menyamar menjadi rakyat jelata? Ia ingin menguji apakah calon pasangan hidupnya mau menikah dengannya karena kekayaannya, kedudukannya, atau benar-benar mau menerima dirinya apa adanya. Yah, di zaman modern di mana kekayaan dan kelebihan dirimu sudah kau bawa sejak lahir, gambaran itu cocok untukmu.”

”Kau membuat pilihanku untuk menjadi polisi seperti sebuah pelarian yang buruk. Seolah-olah aku laki-laki kesepian yang putus asa karena selalu ditolak para gadis.”

Aku tertawa. Kenyataan sebenarnya justru Larry yang menjaga jarak dengan wanita, terutama sejak ia dijebak wanita bernama Joanna beberapa waktu lalu. ”Jika kau tidak mencari tantangan sebagai orang biasa, bisa jadi kau mencari sesuatu yang lebih serius seperti...” Aku berhenti melanjutkan.

”Seperti apa?”

”Pemaknaan hidup?”

Larry cuma tersenyum.

 

                                                  *         *         *

 

“Jadi..., sudah berapa lama kalian dekat?”

“Maksudmu?” Aku menatap Steve dengan bingung.

“Yah..., kau dan Larry...,”

Aku buru-buru menggeleng. “Steve ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

Steve mengangkat bahu. “Well, siapa tahu?”

“Steve, kami cuma makan siang...”

Lihat selengkapnya