Dennis, teman kuliahnya dulu memberinya informasi konseling begitu tahu Larry baru kehilangan partner dan bahkan gagal mengungkap konspirasi pengadilan yang mengecewakannya. Sayangnya, dalam keadaan seperti ini, Larry hanya ingin pergi dan dibiarkan sendirian.
“Kau berubah, Larry. Kau tidak setaat dulu lagi. Apa yang telah terjadi? Apakah kehidupanmu di New York dan Los Angeles begitu memabukkanmu?”
Larry cuma diam. Kakinya terus melangkah sementara Dennis nyaris berlari menjajarinya. Sudah dua jam lebih mereka menyusuri pantai. Orang-orang yang tadi sibuk berjemur satu persatu mulai pergi.
“Kenapa diam?” tanya Dennis lagi.
Larry tetap diam.
“Aku memahami perasaanmu. Jiwamu sedang resah. Kau butuh ketenangan.”
Larry menghela napas. Dalam hati ia mengakui kata-kata Dennis benar.
“Datanglah ke pertemuan nanti, Larry.”
“Tidak perlu. Tidak akan membantu. Aku tidak percaya agama.”
“Kenapa tidak? Aku datang ke pertemuan ketika istriku meninggal dan kemudian aku merasa lebih baik.”
Larry menatap sekeliling. “Sudah sore. Sebaiknya kita pulang,” ujarnya seraya mempercepat langkah.
“Larry, coba dulu.” Dennis masih berdiri di tempatnya. “Ia berhasil padaku.”
“Tidak untukku!” Larry terus berjalan.
“Atau mungkin kau bisa coba yoga atau yang lain,” teriak Dennis seraya melangkah.
“Aku tidak tertarik!” teriak Larry pula.
Dennis berlari mengejarnya. “Hei, aku cuma menawarkan bantuan.”
“Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkannya.” Larry berbelok ke tempat parkir. Tergesa-gesa Dennis mengikutinya.
“Lalu bagaimana kau mengatasi masalah ini?”
“Aku akan temukan caranya,” ujar Larry yakin.
“Well…, jika kau butuh sesuatu…,”
“Naik!” Larry membuka pintu mobil.
Dennis menurut. Larry siap di belakang kemudi.
“Baiklah, kuulangi, jika kau butuh sesuatu…”
“Pasang sabuk pengamanmu,” potong Larry seolah-olah tidak mendengarkan kata-kata Dennis.
Dennis menurut kembali. “Sebagai seorang teman…,”
Mobil mulai distarter.
“Aku bersedia membantu…,”
Mobil berjalan makin cepat.
“Lagipula, aku pernah berhutang nyawa padamu…,”
* * *
Wyoming adalah tempat yang tepat untuk menenangkan diri dan George yang setia selalu mau mendengarkan. Meskipun Larry masih merasa bersalah –dan marah- atas putusan pengadilan kasus Gary minggu lalu. Ia sadar saat ini ia tidak bisa berbuat banyak. Kemarahan dan kekecewaan terhadap institusi yang selama ini dihormatinya membuat pekerjaannya selama ini terasa sia-sia.
”Setelah ini apa, George?” Larry gemas. ”Setelah semua prestasi yang kudapatkan, setelah sebagian besar saham itu kumiliki? Lalu apa yg kucari? Setelah usiaku nanti tujuh puluh tahun? Semua itu mungkin tidak ada artinya. Lalu apa gunanya aku bekerja? Apa gunanya aku hidup?”
”Mungkin untuk menikmati keindahan?” George menunjuk ke luar jendela. Menatap jutaan bintang di langit. ”Indah sekali bukan, Tuan Muda?” Kadang-kadang George masih memanggilnya tuan muda.
Larry ikut menengadah. ”Aku kadang berpikir ada apa di sana? Maksudku, di balik semua planet-planet itu?”
”Mungkin di sana surga,” jawab George seperti melamun. ”Dan mungkin di sana juga ada Tuhan....”
Larry tersenyum masam. ”Sayangnya aku tidak percaya Tuhan.”
Larry mungkin tidak sungguh-sungguh dan ia memang tidak sungguh-sungguh saat mengatakannya. Tapi saat ini, saat pembunuh Gary bebas berkeliaran dengan aman dan menertawakan dirinya yang bahkan masih harus merasakan bekas luka itu sampai beberapa tahun mendatang. Saat ia harus menahan ego dan merelakan teman-teman satu timnya pergi, ia tidak merasakan keberadaan Tuhan seperti yang disebut-sebut George. Ia hanya merasakan hampa, kosong dan ketidakadilan. Barangkali Mary benar, selama ini ia mencari sesuatu yang hilang, yang jauh lebih serius dari pada uang dan sederet penghargaan. Suatu makna, suatu tujuan... Untuk apa dia diciptakan?
* * *
25 tahun sebelumnya.
“Larry bisa jadi polisi hebat,” ujar Sersan Brock pada sahabatnya.
“Aku ingin ia mengurus perusahaan,” Mr. Watson menatap anaknya yang sedang bermain. “Kami tidak punya siapa-siapa lagi. Ia sudah dipersiapkan untuk itu.”
Sersan Brock menggeleng. “Sayang sekali. Aku berharap bisa mendidiknya secara langsung. Ia pasti melesat. Aku tak bisa mengharapkan Stephanie-ku mau menjadi polisi.”
“Kalau suatu saat Larry menginginkan menjadi polisi, aku titipkan ia kepadamu. Tapi untuk saat ini, kami sedang mempersiapkannya untuk mulai mempelajari perusahaan.”
Sersan Brock tampak kecewa. “Sudah kubilang Larry seharusnya punya adik.”
* * *
Larry menghentikan langkahnya ketika didengarnya suara ribut-ribut dari tempat parkir di sebelahnya. Kemarin Larry meminta George membantunya membereskan beberapa hal di apartemen. Karena Larry masih harus membatasi aktivitasnya sejak kecelakaan itu, hari ini George menjemputnya dan membantunya membeli beberapa barang tambahan di departemen store.
“Kemari, George,” Larry memberi isyarat untuk duduk di kap mobil. Berdua mereka menyaksikan Frank tengah berkelahi menghadapi beberapa anak gank jalanan. “Kapten bilang dia akan menjadi partner baruku.”
Jika diurutkan kehebatan para polisi di seluruh departemen ini, Larry adalah urutan paling atas dan Frank sebaliknya. Larry sendiri tidak pernah ambil pusing. Yang ia tahu hanya Frank sudah lulus tes. Meskipun banyak yang bilang ia hanya beruntung serta meragukan kemampuannya, Larry tidak peduli. Nilai Frank memang tidak terlalu bagus tapi ia lulus. Titik.
“Ia tidak mirip dengan Gary ya, George?”
“Sama sekali tidak, Tuan.”
“Bagaimana kalau kita undang dia ke Wyoming?”
“Terserah anda saja, Tuan.”
“Hemh…,” Larry melipat tangannya dan mengamati perkelahian itu.
“Hei, berani-beraninya kau menyentuhku. Ini jas mahal, tahu?!” teriak Frank sambil merapikan jasnya penuh gaya.
Bugg.
Tangkas Frank berkelit. Namun sebuah tendangan telak dari lawannya membuat Frank terjatuh ke tanah.
George bergegas berdiri.
“Hei,” tangan Larry menariknya. Ia menggeleng. “Biarkan saja. Frank pasti bisa mengatasinya.”
“Tapi Tuan…,”
“Percayalah,” Larry tersenyum. “Duduk dan nikmatilah pertunjukan ini. Jarang-jarang kan kau bisa melihat perkelahian jalanan secara live begini?”
Sementara itu.
Bugg.
“Itu hadiah karena kau berani-beraninya menyentuhku.” Frank sudah berdiri kembali.
Dukk. Hia…aa
Satu tendangan Frank melayang.
“Aa…gh.”
“Itu bonusnya,” ujar Frank lagi. “Kau membuat pakaianku berantakan.”
Bug, bug, bug.
“Pakaian ini lebih mahal dari mobilmu, tahu?!”
* * *
“Istilah fotografi, dua belas huruf.”
“Apa?”
Frank menunjukkan teka teki silangnya. ”Pertanyaan nomer tujuh, mendatar.”
”Oh...,” Larry turun dari mobil. Mengacuhkan pertanyaan partner barunya tentang istilah fotografi. Frank meletakkan teka-teki silangnya di kursi mobil sebelum menyusul Larry.
“Apakah kau selalu menyebalkan seperti ini?” Frank hampir berlari menjajari langkah Larry.
“Maksudmu?”
“Apakah kau sering meninggalkan partnermu sementara ia sedang berbicara?”
“Partner-partnerku sebelumnya tidak ada yang sibuk mengisi teka-teki silang sebelum mulai menyelidik ke lokasi pembunuhan.
“Well, itu cara yang bagus untuk mengisi hari. Kau bisa coba dengan teka-teki silang milikku.”
“Tidak, terima kasih.”
* * *
Larry mengangkat Mr. Lewis yang terbaring pingsan ke atas tempat tidur. “Dandani dia,” perintahnya sambil mengaduk-aduk laci meja.
“What?”
“Ganti pakaiannya dengan untuk ke pesta. Tukar jas dan jasinya. Di lemari ada banyak pakaian. Pilih yang sesuai.”
“Untuk apa menggantikan pakaian orang yang baru kau pukul hingga pingsan?” tanya Frank tak mengerti. Tapi dilakukannya juga perintah itu.
“Lakukan saja, oke? Aku sibuk,” tangan Larry mengambil sejumlah dokumen dari dalam laci. “Aku menemukannya,” serunya riang.
Frank sudah selesai melakukan tugasnya. Mr. Lewis terbaring di tempat tidur dengan pakaian pesta dan dasi kupu-kupu.
“Sekarang apa? Apa perlu kuselimuti dia?”
“Tidak, biarkan saja begitu. Lebih baik kau bawa pakaian kotornya ke kamar mandi.”
Frank mengangkat bahu dan segera pergi.
Larry sedang mengatur ulang posisi Mr. Lewis di tempat tidur saat Frank kembali ke ruangan itu. Ia mengambil sebotol wine, menumpahkannya di pakaian dan sekitar mulut Mr. Lewis, meletakkan gelas sampanye dalam posisi terjatuh dengan sisa-sisa wine di bagian dalam dan sekitarnya.
Frank tersenyum. Ia kini mengerti maksud Larry. Jika orang-orang menyangka Mr. Lewis tidur karena terlalu mabuk, tak akan ada yang curiga. Mereka bisa lebih lama di tempat itu, menyelinap ke ruang pesta dengan undangan milik Mr. Lewis sehingga lebih leluasa mengamati sekitar.
“Hebat! Kenapa tidak terpikir olehku sebelumnya?” tanya Frank memuji.
“Kalau begitu mulai sekarang berpikirlah,” jawab Larry acuh tak acuh. “Ayo.”
Mereka berdua keluar.
“Sekarang pun aku sedang berpikir.” Frank menjajari langkah Larry di lorong. “Aku sedang berpikir bagaimana kau selalu bisa dapat ide?”