“Larry, aku punya cerita untukmu.“
“Cerita saja, Frank, aku mendengarkan.“ ujar Larry tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.
“Larry…,“
“Hemh?”
“Larry, kau sudah berjanji untuk mengubah sikapmu.“
“Sikap apa?” tanya Larry acuh tak acuh.
“Larry! Kau sudah berjanji untuk menghentikan pekerjaanmu jika aku bicara. Setidaknya pandanglah aku!“
Larry buru-buru menghentikan pekerjaannya. “Oh, maaf, Frank, aku lupa. Sekarang bicaralah. Aku memperhatikanmu.“
Frank tampak senang. “Bagus, sekarang dengarkan ceritaku. Suatu hari seorang laki-laki pergi ke sebuah toko. Toko itu buka, tapi anehnya ia tak bisa masuk. Ia terus menarik-narik pintu, tapi tetap saja tidak terbuka. Hingga akhirnya seorang anak kecil menunjukkannya sebuah instruksi yang dipasang di situ. Kau tahu apa instruksinya?”
“Tidak…,“
“Instruksinya adalah…,‘dorong’,” jawab Frank disambung gelak tawanya. “Bodoh sekali, bukan? Tentu saja ia tak bisa masuk. Ha..ha..ha..ha…,“
Larry diam. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Kau tidak tertawa?” tanya Frank heran.
“What?”
“Kau seharusnya tertawa,“ ujar Frank lagi.
“Ooo…h, jadi itu sebuah cerita humor?”
Wajah Frank memerah. Apalagi ketika didengarnya opsir-opsir yang lain menertawakannya.
Frank mendekati Larry kemudian berbisik. “Dengar, aku sedang bertaruh menjadikanmu orang yang tidak dingin dan gila kerja. Ini taruhan babak pertama, dan untuk bisa menang, kau harus tertawa. Setidaknya…, berpura-puralah. Kau aktor yang baik, kan?”
Larry tersenyum kecil. “Baik,“ jawabnya dengan berbisik pula. “Mulailah dengan cerita yang selalu dikisahkan George.”
Frank tersenyum. “Oh ya, cerita Mr. Wodburry itu.“
“Baiklah, yang tadi itu memang tidak lucu,“ suara Frank kembali dikeraskan. “Tapi kau belum dengar cerita Mr. Wodburry, kan?”
Larry menggeleng.
“Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Mr. Wodburry adalah seorang pekerja keras…,“
“Oh, seperti aku?” tanya Larry memotong.
“Ya, seperti kau. Nah, suatu hari ia bertengkar dengan isterinya. Mereka tidak saling tegur seharian. Tapi masalahnya Mr. Wodburry harus sudah sampai di kantor pukul tujuh pagi, dan ia harus meminta bantuan isterinya untuk membangunkannya.“
“Bagaimana caranya?” tanya Larry pura-pura tidak tahu.
“Mr. Wodburry meletakkan tulisan di samping tempat tidur. Bunyinya begini, ‘Mom, bangunkan aku pukul setengah tujuh pagi’.“
Larry tampak menyimak dengan penuh perhatian.
“Nah, keesokan harinya, Mr. Wodburry bangun pukul delapan pagi. Ia begitu marah pada isterinya. Tapi tiba-tiba ia melihat tulisan lain di samping tempat tidur, dari isterinya. Kau tahu apa yang ditulisnya?”
“Tentu saja tidak, kau yang bercerita.“
“Mrs. Wodburry menulis, ‘Honey, bangunlah, sudah pukul setengah tujuh pagi…,“
Frank tergelak. Larry juga.
“Itu baru lucu,“ ujar Larry sambil tetawa.
Jane dan Jim yang ada di ruang sebelah saling berpandangan.
“Pakai uangku dulu,“ ujar Jim sambil menyiapkan uang dua puluh dolar. Frank kini berjalan ke arahnya. Larry langsung pergi ke luar.
Jim menyerahkan uangnya. Frank menerimanya sambil tersenyum lebar. “Senang berbisnis dengan kalian,“ ujarnya kemudian melangkah pergi.
Frank menoleh ke arah meja Larry yang kini kosong. Ufh, hampir saja dirinya gagal, pikirnya lega. Dasar Larry, tak punya rasa humor sedikit pun. Selalu saja serius, tidak bisa diajak bercanda. Payah!
Sementara itu….
Larry masuk ke dalam mobilnya. Ia benar- benar tak habis pikir terhadap kejadian barusan. Ah, dasar Frank, selalu saja bercanda. Itu juga tidak lucu!
* * *
Larry membelokkan motornya ke kanan menuju restoran milik Rick. Di sana ia berjanji untuk menemui Frank. Tadi Kapten Brock memintanya melakukan tugas khusus sehingga ia terpaksa mengendarai motor. Seandainya Frank yang diminta melakukan tugas itu, tentu Frank akan menerimanya dengan senang hati. Maklum, Frank memang pernah bercita-cita menjadi pembalap. Kalau saja ayahnya tidak keras melarangnya dulu, mungkin sekarang ia sudah menjadi pembalap profesional.
Kira-kira dua puluh meter di depannya, sebuah mobil merah berhenti. Seorang wanita tampak berdiri di sampingnya. ‘Pasti ada masalah,’ pikir Larry seraya mendekat. Dilihatnya mobil yang dikendarai Frank menuju arah yang sama.
Tinggal beberapa meter lagi dari mobil merah itu. Wanita pemilik mobil itu tampak senang melihat ada yang datang. Larry baru hendak mengerem. ketika…,
Brak.
Larry terlempar ke aspal, motornya jatuh. Wanita pemilik mobil itu terkejut dan segera mendekat. Frank yang baru datang bergegas turun dari mobil dan berlari menghampiri Larry.
“Kau tak apa-apa, Partner?” tanya Frank sambil membantu Larry berdiri.
“Ya, terima kasih, Frank.“
Frank mengangguk. Didirikannya motor Larry yang terjatuh dan diparkirnya di pinggir jalan. Larry menghampiri Frank, melepas helmnya dan menyangkutkannya di motor. Frank memeriksa mobil merah tadi, lalu segera memanggil mobil derek.
“Maafkan aku, ini salahku,“ wanita pemilik mobil itu tiba-tiba bicara. “Namaku Shirley Dunn,“ lanjutnya seraya mengulurkan tangan.
“Aku Frank Russell,“ Frank menyambut uluran tangannya. “Dan itu rekanku, Larry Watson.”
Larry yang berdiri agak jauh dari mereka cuma menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk membersihkan bajunya.
“Frank, bisa bicara sebentar?” Larry memberi isyarat untuk mendekat.
“Permisi sebentar,“ ujar Frank pada Shirley.
“Silakan.“
Larry mengajaknya ke seberang mobil mereka. Dilepasnya kaca mata hitamnya lalu disangkutkannya di saku jaketnya. “Frank, bisa kita tukar kendaraan?” tanyanya ketika mereka berdua sudah berhadapan. “Tanganku luka,“ Larry memperlihatkan tangan kirinya yang berdarah. “Dan aku lebih terbiasa menyetir dengan satu tangan dari pada…,“ kalimat Larry terhenti ketika Shirley menghampiri mereka.
“Anda tak apa-apa, Officer?” tanya Shirley dengan rasa bersalah.
“Ya,“ jawab Larry sambil menyembunyikan tangannya dari pandangan Shirley. ”Cuma tergores sedikit.”
Frank tersenyum, niat jahilnya timbul. Disikutnya rusuk Larry dengan sekuat tenaga.
“Aa…h,“ Larry membungkuk menahan sakit. Shirley yang berada di seberang mobil mereka mendongak terkejut.
“Sobat, kau tak apa-apa? Wah, kau terluka,“ ujar Frank dengan suara yang sengaja dikeraskan. Diliriknya Shirley yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.
‘Kurang ajar, kau, Frank,‘ maki Larry dalam hati. Pukulan Frank justru lebih sakit dari luka di tangannya.
Shirley tampak semakin bingung. Melihat Larry yang membungkuk menahan sakit, darah yang mengalir dari tangannya dan kaca mata hitamnya yang terjatuh membuatnya berpikir bahwa Larry telah mengalami luka yang sangat serius.
Frank berjongkok untuk mengambilkan kaca mata Larry. Disikutnya tangan Larry yang terluka sehingga ia kembali mengaduh kesakitan.
“Wah, sobat, sakit sekali ya? Tampaknya lukamu cukup parah.“
Larry melirik Frank dengan geram.
“Bisa bantu dia ke mobilku? Aku membawa obat-obatan. Biar kutangani lukanya,“ ujar Shirley tak sabar.
“Tidak, tak perlu,” sahut Larry cepat. Ia berdiri perlahan sambil memegangi rusuknya yang terasa nyeri. “Frank membawa kotak P3K di mobil…,“
“Kotak P3K? Ya Tuhan, aku lupa,“ seru Frank sambil menepuk dahinya.
Shirley dengan cepat memapah Larry ke mobilnya. “Mari, kau harus segera diobati.“
Larry tak bisa berbuat apa-apa. Frank senyum-senyum. Rencananya berhasil.
Shirley sedang membalut tangan Larry ketika Frank menghampirinya.
“Mobil dereknya sudah datang,” lapornya sambil tersenyum.
Larry segera berdiri. Ia tampak sangat lega.
“Hei, tunggu dulu, tampaknya bukan hanya tanganmu yang terluka,” cegah Shirley ketika dilihatnya Larry akan pergi.
“Tidak, hanya ini, kok. Terima kasih atas bantuanmu.”
“Hemh, begini saja…, Datanglah ke Rumah Sakit Mercys, aku seorang perawat di sana. Ini kartu namaku.“
Larry menerima kartu nama itu dengan ragu, kemudian segera berbalik pergi.
* * *
“Larry, kau mau ke mana?”
“Ganti kemeja. Jangan sampai Kapten curiga karena melihat pakaianku kotor begini.“
“Larry, tunggu!” terdengar suara Kapten Brock memanggil.
Frank dan Larry saling pandang. “Sepertinya sudah terlambat,” bisik Frank pelan.
Kapten Brock mendekat. “Larry, mana laporan yang kuminta?”
“Ada di mejaku, Kapten. Memang belum keserahkan, tapi sudah selesai.“
“Bagus,“ komentar Kapten Brock singkat. Tiba-tiba ia mengernyitkan alisnya. Ia baru sadar kalau ada sesuatu yang janggal. “Kenapa pakaianmu kotor?” sambungnya tajam.
Jantung Larry serasa berhenti berdetak. Dugaannya tentang kecurigaan Kapten Brock ternyata terbukti.
“Ng…, begini Kapten, tadi aku…,“
“Wah, ia hampir mati tadi,“ Frank memotong cepat.
Kapten Brock menoleh ke arah Frank. “Apa yang terjadi?”
Larry tampak gelisah. Sebaliknya, Frank justru sangat bersemangat. “Seharusnya tadi anda lihat sendiri, Kapten. Tadi itu begitu dramatis. Larry bermaksud menolong seorang wanita, tapi sayang ia kurang hati-hati. Ia tidak memperhatikan jalanan yang licin terkena oli. Lalu ia terjatuh dari motor, terlempar ke aspal, seperti ini…,“ Frank membalikkan tangannya sambil menyentakkannya dengan keras. “Tapi ia beruntung. Kalau tidak, ia pasti sudah mati.“
Larry menginjak kaki Frank, memberi isyarat agar ia diam. Tapi Frank tak peduli dan terus bercerita. “Benar-benar dramatis. Larry terluka. Tampaknya cukup parah. Ia hampir pingsan kesakitan. Makanya sejak tadi ia mengeluh terus….“
Larry tertunduk mendengar bualan Frank yang makin tak karuan. Dalam hati ia menyumpah-nyumpah.
Kapten Brock menoleh ke arah Larry. “Setelah ini, temui Dokter Nelson di klinik,“ perintahnya tegas.
“Lebih baik ke Rumah Sakit Mercys saja, Kapten. Kudengar mereka punya perawatan terbaik.” Frank mengajukan usul
Wajah Larry memerah. Frank tertawa dalam hati. ‘Satu kosong untukku, Larry,’ pikirnya puas.
Kapten Brock mengangguk. “Terserah, sama saja bagiku.”
Frank tersenyum.
“Ingat, kalian di sini untuk bertugas, bukan untuk cari mati,“ tegas Kapten Brock sebelum berlalu.
Larry cuma diam. Frank tertawa sambil mendorong Larry hingga ia terantuk meja. Larry menatap Frank yang berlari pergi sambil menahan sakit. “Awas kau, Frank!”
* * *
“Kau gila, Frank, kenapa kau memukulku?”
“Kawan, aku kan cuma bercanda.“
“Kau bercanda, atau ingin membunuhku?” sentak Larry lagi. Dilemparkannya hasil rontgen ke atas meja lalu menuju kamarnya. Frank bergegas mengikuti.
“Maafkan aku, aku tak sadar pukulanku benar-benar keras. Tulang rusukmu patah?”
Larry menggeleng sambil duduk di tempat tidur. “Tidak, cuma retak dan memar. Untung saja tidak tepat kena bekas lukaku yang dulu,” tambahnya pelan. “Sudahlah, tak apa-apa kok. Lupakan saja.“
Ting tong.
“Biar kubukakan,” Frank segera melesat ke ruang tamu.
“Shirley!“ pekik Frank ketika melihat siapa yang datang. Rasa bersalah yang barusan hinggap mendadak hilang. Niat isengnya kembali muncul.
“Boleh aku masuk?”
“Tentu saja,” jawab Frank cepat. “Untunglah kau datang. Kasihan Larry. Sebetulnya ia kesakitan, tapi ia tak mau merepotkan orang. Pokoknya…, ah, kasihan sekali.“ Frank pura-pura sedih.
“Siapa yang datang, Frank?” tanya Larry seraya keluar dari kamarnya.
“Aku, Shirley, masih ingat?”
Larry tersenyum. “Tentu saja. Silakan duduk, mau minum sesuatu?”
“Jika tidak merepotkan…, aku minta secangkir teh, tanpa gula dan krim.“
“Akan kubuatkan,“ Frank bergegas ke dapur.
“Anda dari rumah, Miss Dunn?” Larry mengikuti Shirley duduk di sofa.
“Ah, jangan resmi begitu. Panggil saja aku Shirley. Ng…, aku dari rumah sakit…,“ kalimat Shirley terhenti karena Frank datang membawakan minuman.
“Silakan minum,“ Frank meletakkan secangkir teh ke atas meja.
“Terima kasih,“ Shirley mereguk minumannya perlahan. Di taruhnya kembali cangkir teh di atas meja ”Kemarin Frank meneleponku. Katanya kau akan datang ke rumah sakit. Tapi sampai jam tugasku berakhir, kau tak datang, makanya aku ke sini.“
Larry melirik Frank dengan tajam. “Aku punya dokter pribadi. Lagi pula kupikir penanganan Dokter Nelson sudah cukup.”
“Kuharap begitu. Aku cuma khawatir. Kadang-kadang Dokter Kepolisian suka memaksakan pasiennya untuk tetap bekerja. Kalau terasa sakit, sebaiknya kau hubungi aku.”
Larry cuma tersenyum.
Mata Shirley sibuk mengitari ruangan dan mengamatinya dengan seksama. ”Apartemen yang bagus,“ pujinya sambil berdiri.
“Terima kasih,“ ucap Larry datar.
Shirley berjalan ke dapur lalu ke ruang makan di sebelahnya. “Segalanya tampak rapi dan modern. Hanya sayang, sepertinya kurang ‘sentuhan kemanusiaan’. Kertas dinding ini memang memberikan kesan alami, juga tirai itu. Tapi itu belum cukup. Terlalu kaku di tempat ini. Seharusnya kau kurangi perabotan bersegi. Misalnya meja makan ini, ini terlalu besar.“
“Larry sering kedatangan tamu,“ malah Frank yang menjawab.
“Pantas. Tapi sebaiknya gunakan saja meja berbentuk bundar agar tidak terlalu kaku.“
“Maaf,“ potong Larry sambil berdiri. “Aku lelah sekali. Tak apa-apa kan kalau Frank saja yang menemanimu?”
Wajah Shirley tampak kecewa. Tapi kemudian ia tersenyum. “Tentu saja. Istirahatlah, kau perlu itu.“
“Terima kasih atas pengertiannya,“ Larry segera kembali ke kamarnya.
“Jadi…, apa yang kurang di sini? Mungkin nanti bisa kuusulkan pada Larry untuk memperbaikinya,” tanya Frank memecah kesunyian.
Wajah Shirley langsung cerah. “Ide bagus. Oh ya, apa warna dinding di kamar Larry?”
“Putih.“
“Oo…h, putih. Putih memang memberikan kesan luas. Tapi…, kurasa warna marun akan lebih baik. Atau mungkin hijau muda atau biru agar lebih alami. Ng…, krem juga boleh…, tapi jangan putih polos. Huh, seperti di rumah sakit saja. Tapi kalau mau menggunakan kertas putih yang bercorak juga tak apa….“.
“Ah, meja telepon itu bagus sekali,“ teriak Shirley sambil berlari ke ruang tamu kembali. Diperhatikannya meja marmer itu baik-baik. “Bentuknya sangat unik, warnanya juga alami. Wah, ternyata diam-diam Larry memiliki rasa seni yang cukup tinggi ya?”
Frank tersenyum menanggapi.
“Ya ampun, kenapa meja ini ada di sini? Ini kan bukan kantor!“ Shirley menunjuk seperangkat meja dan kursi di dekatnya.
“Oo…h, itu meja kerja Larry. Kalau ia bekerja dengan komputernya, ya…, pasti di sini,“ Frank menepuk meja itu. “Tapi Larry bermaksud memindahkannya ke kamarnya. Juga telepon itu. Sebab Dokter Nelson menyuruhnya beristirahat beberapa hari tapi..., yah, orang seperti Larry mana betah hanya berdiam diri di rumah? Karena itu ia membawa sisa pekerjaannya ke sini, dan supaya ia bisa langsung beristirahat, meja, kursi, dan telepon ini dipindahkan ke kamarnya. Tapi tentu saja hanya sementara,” jelas Frank panjang lebar.
“Oo…h.“
“Oh ya, bagaimana kalau kita teruskan? Frank mengajukan usul. Sesungguhnya ia tahu Larry tidak suka diatur dalam hal-hal seperti ini. Larry suka ruangan yang tenang, rapi dan tidak terlalu banyak pernak-pernik. Dan Frank yakin, alasan Larry kembali ke kamarnya sesungguhnya karena tak ingin mendengarkan komentar Shirley tentang tempat ini. Alasannya? Ini masalah pribadi dan tak ada seorang pun yang berhak mencampurinya.
Shirley kembali mengamati seluruh ruangan. “Menurutku, sebaiknya di pojok situ diletakkan tanaman hidup dalam pot besar. Lalu bunga di sebelah sini, di situ, dan di situ….“
* * *
Hari kedua Larry kembali bekerja…,
“Larry, ada telepon,“ teriak Jim dari ruang sebelah.
Larry mendekat. “Dari siapa, Jim?”
Jim senyum-senyum. “Shirley.“
* * *
“Larry, telepon untukmu.“
“Aku tak mau terima,“ ujar Larry kesal. “Seharian ini Shirley sudah meneleponnya enam kali.
“Ini bukan dari Shirley,“ ujar Jim seolah mengetahui pikiran Larry. “Ini dari bibimu, dari Mrs. Lindsay.“
“Ooh,“ Larry cepat-cepat menyambar gagang telepon. “Hallo?”
“Larry, kaukah itu? Shirley di sini….“
Tubuh Larry langsung lemas. Sementara gelak tawa terdengar di sana sini.
Oh, my God, not again.
* * *