L.E.O

Septiani Nurhayati Effendi
Chapter #1

1

Duniaku runtuh seketika.

Aku berjalan menyusuri apa yang seharusnya aku telah lupakan bertahun-tahun lalu.

Selama ini aku bersedia mengikuti skenario yang akan berakhir menyakitkan. Dan percaya bahwa semuanya akan berjalan seperti yang aku harapkan.

Kemudian kita bicara soal cinta,

Ketika kita jatuh cinta bukankah hanya harapan baik yang akan terus terlintas dalam pikiran?

Pun aku salah satu yang pernah mempercayainya dengan begitu naif.

Kehilangan bukan hal yang mudah untuk dicerna. Jangankan dipahami, dimaklumi saja tidak bisa. Dan aku terjebak di sini, di antara kepingan-kepingan ingatan yang tak pernah benar-benar selesai.

***

Suatu hari seseorang benar-benar pergi dari sisimu. Entah karena takdir atau karena ego, dua-duanya sama-sama menyakitkan tapi kau hanya tidak bisa protes kepada siapapun.

Memendam sendiri sesal dan dukamu, menelan sendiri kepahitanmu, lalu berjuang untuk ke luar dari perangkap yang terus menggerogotimu. Aku mungkin seperti itu.

Namaku...

Ah jangan terlalu akrab, aku phobia memperkenalkan diri, orang-orang yang mengenalku biasanya akan datang karena penasaran, melihat-lihat sebentar, lalu meninggalkanku setelah merasa cukup. Panggil saja Iba, selain karena aku memang patut dikasihani, nama itu kuambil dari zodiakku. Libra.

Aku seorang wanita yang sempat jatuh cinta lalu jatuh terluka.

Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, hari itu seseorang memutuskan hubungan denganku menggunakan alasan yang tidak pernah bisa aku terima secara benar.

Leo, seseorang yang hidup kacaunya coba ku betulkan. Aku senang berlagak jadi pahlawan, meski tidak pernah tahu suatu saat risiko seorang pahlawan adalah cedera. Setidak-tidaknya hatiku yang cedera.

Kami bertemu secara tidak sengaja. Benar-benar asing satu sama lain dalam suatu perkumpulan.

Tidak banyak yang dapat ku ceritakan mengenai dia ketika pertama kali kami bertemu. Ia sangat tertutup dan pendiam. Aku bahkan dapat menangkap senyumnya tidak benar-benar tulus. Maksudku ia berbicara dengan tersenyum, tapi senyumnya tidak memancarkan kebahagiaan. Ia sedang menutupi lukanya.

Sebelum aku lupa apa-apa saja yang akan aku kenang mengenainya, aku ingin menulisnya di sini. Ingatanku semakin melemah seiring waktu, setidaknya ketika aku tidak bisa menyimpan ingatan itu dalam pikiran, aku bisa menemukan sedikit serpihannya dalam tulisan.

Rambutnya rapi kecokelatan, kulitnya putih pucat, pandangan dan rahangnya tegas, matanya tajam, pandangannya menusuk, senyumnya palsu dan geraknya seperti hanya membawanya kepada apa yang ia sendiri pikirkan dan pedulikan.

Leo tidak bisa didekati sembarang orang yang hanya ingin singgah kemudian pergi tanpa arti.

Tapi di satu sisi ia begitu lembut, entah apakah hanya aku sendiri yang memikirkan hal itu atau orang lain juga turut memikirkan hal yang sama. Yang ku tahu setelah acara perkumpulan kami usai, dia mengajakku dan kawan lain untuk berjalan-jalan sebentar di antara hiruk pikuk kota yang selalu sibuk.

Hari itu jika saja ia tidak membantu memegang tanganku saat menyeberang jalan, tentu aku tidak perlu jatuh cinta kepadanya. Lagu cinta yang mengalun sayup-sayup entah dari mana menambah sebuah tanda tanya menjadi suatu romansa tersendiri.

Aku harus mengakui bahwa aku berlebihan. Yang orang lain dan dia sendiri pikirkan tentu hanya membantu karena memang merasa harus, sementara aku mengamininya dengan harapan yang entah dari mana bisa membuncah dengan sendirinya.

Kami mengunjungi toko buku, ia tampak sibuk memilih-milih buku psikologi yang hampir tidak pernah menjadi sumber ketertarikanku jika bicara soal buku bacaan. Aku dan kawan-kawan lain hanya mampu mengamati dari sisi timbunan komik diskon. Dia begitu spesial, ia tidak sama dengan yang lain, ia tampak berbeda dan aku ingin mengenalnya.

Tanpa sadar aku sendiri telah melibatkan diriku dengannya. Leo tampak menjawab segala keingintahuanku dengan acuh tak acuh, ia memang tidak tertarik kepada seseorang yang termasuk ekstrovert sepertiku karena trauma di masa lalunya.

Sejak peristiwa saat menyeberang itu aku seperti tak bisa lepas darinya. Di malam hari aku hanya memikirkannya, aku tidak begitu paham apakah itu benar-benar cinta, simpati atau apa. Yang pasti aku ingin mereguk segala tentangnya. Lebih dalam, lebih jauh.

Aku memberanikan diri meminta kontak duluan. Dia tampak mengernyit terganggu dengan permintaanku, tapi juga merasa tidak punya alasan untuk menolak. Ia memberikan nama di media sosialnya, yah- aku kan tidak mungkin memaksa agar dia memberikan nomor kontak pribadinya, ia tidak akan menerima seseorang dengan mudah.

Singkat cerita, hampir setiap hari aku mengganggunya dengan kemampuanku sejak lahir. Bicara tanpa henti adalah ciri khas-ku.

Aku bercerita tentangku, memancing sebuah percakapan yang tanpa sadar akan ia ikuti dan ketika ia merasa siap, akhirnya ia akan berbicara tentang dirinya sendiri. Proses itu selalu berulang. Topiknya selalu aku kemukakan dengan baik dan ia meresponnya dengan positif.

Lama-lama aku tahu tentang traumanya ditinggal seseorang yang ia cintai, aku tahu mengenai hubungannya dengan keluarganya yang tidak begitu harmonis, bagaimana ia bercerita bahwa ia sengaja pergi bekerja di luar kota kelahirannya karena hal itu, atau satu dua hal yang ia sukai seperti musik, buku, film dan hal-hal semacam itu.

Kami bicara setiap hari, sepanjang waktu. Beberapa saat ketika dia sibuk bekerja tentu pesanku tidak terbalas, tapi aku kemudian akan terenyuh ketika ia meminta maaf karena tidak bermaksud mengabaikan pesanku karena kesibukannya. Kau tahu kan kalau itu hal yang manis untuk dilakukan. Aku tambah jatuh cinta kepadanya, tanpa sadar itu menjadi rutinitas baru untukku. Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk bicara banyak hal dari balik dunia maya selama berhari-hari.

Ia tampak nyaman denganku, ia bicara apa saja, bercerita hari-hari yang ia lewati dan kemudian bercerita bahwa ia sedang belajar bahasa Jerman secara otodidak.

***

Besoknya seharian aku mencari kamus terjemahan bahasa Jerman-Indonesia milik mendiang kakekku di gudang rumah. Kuat sekali perasaanku bahwa mungkin saja aku beruntung bisa bertemu dengannya lagi lewat buku itu. Aku tidak punya keberanian untuk meminta bertemu kopi darat dengannya tanpa alasan, aku tahu ia tidak begitu suka dengan perangaiku yang pecicilan dan berisik, maka aku menahannya agar ia tidak berpikir bahwa aku terlalu cepat melangkah ke tahap selanjutnya tanpa berhati-hati dan takut jika ia akan merasa terganggu lalu pergi.

Dengan buku kamus terjemahan Jerman-Indonesia dalam pelukan dan ribuan harapan yang begitu asing, aku menunggunya di sebuah terminal bus dengan harap-harap cemas.

Ia memang telah setuju bertemu denganku, tapi ia tidak menyiratkan bahwa ia begitu antusias untuk bertemu. Ia menegaskan memang hanya membutuhkan buku yang ku bawakan untuknya. Aku di lain pihak menyetujuinya, merendahkan derajatku di bawah sebuah buku untuk bisa mencicipi parasnya lagi. Aku rindu pada orang asing itu tapi aku tidak mengerti kenapa harus begini kuat.

Pesan di chat pribadi dalam sosial mediaku belum berbalas, aku mengabarkan padanya telah menunggu di sebuah tempat yang bisa dengan mudah ia temui di antara ratusan pengunjung terminal bus.

Aku terus melongok ke jalanan, berharap sosoknya cepat tiba. Aku benar-benar tidak tahu ia akan datang dari arah mana, bahkan aku tidak tahu jika ia akan datang atau tidak. Mengingat sifatnya yang sensitif, aku tidak bisa berharap banyak jika tiba-tiba ia memutuskan untuk membatalkan pertemuan kami.

Cukup lama aku menunggu, hampir saja menyerah. Pesanku belum berbalas juga. Aku hendak kecewa sampai sejurus kemudian seseorang menepuk pundak ku.

"Hey..." ucapnya pelan. "Maaf, lama ya?"

Ia datang dari arah belakangku, ia melewati barisan bus-bus di terminal untuk menemuiku.

"Ah iya, ini buku yang aku ceritakan..." jawabku canggung sembari memberikan buku bersampul kucel tersebut. "Maaf agak kotor karena ini buku lama."

BODOH!

Dari semua sapaan di dunia kenapa harus mendahulukan soal buku?! teriakku dalam hati setengah frustasi.

"Terima kasih ya...” Leo menerima buku itu juga dengan canggung. "Habis ini mau ke mana?"

Lihat selengkapnya