L.E.O

Septiani Nurhayati Effendi
Chapter #2

2

Hari itu aku berjalan dengan riang seorang diri. Aku menuju sebuah rumah sakit untuk kontrol rutin. Biasanya aku tidak se-riang ini, tapi aku mendapat pesan dari Leo mungkin akhir minggu nanti kami akan pergi untuk makan di tempat bergengsi yang ia janjikan dulu.

Satu pesan singkat yang dikirim tiga hari lalu itu membuatku begitu senang, selama itu pula sakit kepalaku tidak pernah kambuh. Ini keajaiban buatku dan Leo mengambil bagian di dalamnya.

Ia belum mengirimiku pesan lagi setelah pesan itu. Mungkin sibuk pikirku. Tapi tidak apa-apa, harapan dan anganku sudah cukup membuatku senang.

Aku menceritakan bahwa sakit kepalaku sudah tiga hari membaik kepada dokterku, ia mendengarkan dengan baik-baik. Jika kau pergi ke psikiater kau tidak akan punya privasi, dan itu benar. Karena dokterku langsung tahu bahwa ada perubahan besar sedang terjadi dalam diriku.

2 jam sesi konsultasi ku habiskan dengan bercerita mengenai sosok Leo. Dokter muda itu tampak senang mendengar perkembanganku.

"Iba..." kata dokter lagi kepadaku, "Terkadang cinta memang bisa menyembuhkan. Sakitmu disebabkan karena trauma, seseorang yang bisa menggantikan trauma tersebut haruslah seseorang yang sangat berarti bagimu. Aku tahu, sakit seperti ini tidak ada obatnya, tapi Tuhan maha baik, di waktu yang tepat Dia akan mengirimkan obat yang jauh lebih mujarab daripada yang harus kamu minum setiap hari."

Kata-kata dokter itu terngiang terus di kepalaku. Aku senyum-senyum sendiri ketika menunggu obatku di apotek rumah sakit.

Segera setelah sekantung obat ku terima dengan baik, buru-buru obatnya kumasukkan ke dalam tas punggungku. Salahku karena aku tidak berhati-hati dan memperhatikan jalan, di belokan koridor rumah sakit perawat yang tengah membawa alat-alat medis dalam troli tidak sengaja menabrakku di saat ketika kami bersamaan kebetulan berbelok di titik yang sama.

Suara peralatan medis logam yang terjatuh ke lantai begitu menggangguku. Aku jatuh terduduk dan buru-buru perawat tersebut dengan cekatan membantuku berdiri. Ia memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"Sakit seperti ini tidak ada obatnya..."

"Tuhan akan mengirimmu obat yang lebih baik..."

Suara dokter terus terngiang di kepalaku, telingaku berdenging hebat.

Kemudian entah bagaimana mulanya, kepalaku terasa sakit lagi. Kali ini tiga kali lipat rasa sakitnya, seperti sesuatu yang ditahan sekian lama kemudian berhamburan meledak begitu saja dalam satu waktu.

Aku pergi berlari meninggalkan perawat yang melongo sendiri. Terus berlari seolah lari menjauh dari suara-suara yang terngiang di dalam kepalaku, lari secepat yang aku bisa karena rasa sakit yang hampir membuat kepalaku pecah.

Di halaman rumah sakit aku kebingungan, kenapa semua orang berjalan begitu cepat seperti tak ada apa-apa. Adakah seseorang yang akan menolongku?

Aku harus pulang, tapi tidak bisa mengingat ke mana arah yang harus ku tempuh. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berada di sini, naik apa aku tadi, bagaimana aku bisa sampai di rumah sakit.

Siapa yang harus ku mintai tolong untuk mengantarku pulang?

Dunia berputar dengan cepat di kepalaku. Orang-orang lalu lalang demikian cepat, meninggalkanku yang bergerak sangat lambat.

Aku mengambil telepon genggamku, aku panik. Tanganku bergetar dan berkeringat. Sinar matahari juga begitu terik dan menyilaukan, mataku juga kesakitan melihat sinar yang terlalu terang saat kepalaku rasanya mau pecah.

Aku mencari nama di antara nomor-nomor yang kusimpan, aku tak bisa menemukan siapapun untuk dimintai pertolongan. Jariku hanya terus menggeser-geser ratusan nama dalam kontakku, berharap ada satu atau dua nama yang bisa ku andalkan untuk minta tolong.

Kelakuanku mengundang rasa penasaran orang lain di sekitarku.

Seorang perawat mencoba mendekat dan menenangkan. Ia bertanya aku sedang akan pergi ke mana tapi aku kelu, aku bingung harus menjawab apa. Aku hanya memandang sekitarku. Melihat beberapa orang mulai berbisik melihat tingkah anehku.

Lagi tanpa peringatan aku lanjut pergi dengan berlari, menaiki angkutan umum yang sedang mencari penumpang di dekat pagar rumah sakit. Aku tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa. Aku hanya meminta supir untuk pergi lebih cepat karena tak tahan berada dalam tatapan meremehkan dari orang-orang di sekitarku.

***

Hari sudah hampir pukul 7 malam, supir yang dari tadi terdiam akhirnya bertanya pertanyaan sederhana yang mungkin selalu seorang supir tanyakan.

"Mau ke mana?"

Aku menggeleng karena ketidaktahuanku. Supir kaget dan memberhentikan kendaraannya di bahu jalan.

"Ini sudah mau sampai terminal, neng sebenarnya mau ke mana?"

"Sa... Saya turun di sini saja, pak."

Aku membayar ongkos lalu turun. Perlahan tapi pasti ku tenangkan diriku sendiri, meyakini pasti ada jalan agar aku bisa kembali ke rumah. Pertama-tama aku harus meminum obatku dulu untuk mengurangi rasa sakit di kepala.

Menunggu reaksinya bekerja sambil memikirkan langkah selanjutnya.

Jalanan mulai terlihat gelap karena pohon-pohon besar di kanan kiri trotoar dan lampu-lampu temaram dari bohlam kuning yang tidak seberapa terang menyala dalam jarak beberapa meter satu sama lain.

Lihat selengkapnya