L.I.B.R.A

Septiani Nurhayati Effendi
Chapter #1

1

Dalam hidup manusia adalah sebuah hal yang wajar jika menemui kegagalan, tapi tidak denganku. Hak hidup untuk dipenuhi, ego, ekspektasi dan harga diri mungkin adalah sebuah kekhawatiran yang terlalu lama telah terperangkap dalam pikiranku. Jauh sebelum segalanya terasa runtuh, jauh sebelum aku mengacaukan segalanya dan kehilangan sesuatu yang teramat berharga bagiku.

Dan itulah sebabnya aku diberi nama, Leo.

Seperti namaku yang diibaratkan layaknya matahari sebagai pusat edar, sebagai raja, sebagai pemimpin dalam perbintangan tata surya. Aku hanya terlalu benci pada kegagalan!

Aku dilahirkan dengan tuntutan untuk tidak menjadi manusia gagal. 

Mungkin kau akan berpikir aku hanya terlalu berlebihan dalam berambisi yang tidak-tidak, tapi aku memang terlahir dengan penuh ambisi.

***

Cerita ini dimulai di sebuah kota yang telah selama kurang lebih 6 tahun ku tinggali. Selepas kelulusanku dari sekolah menengah atas, aku mengikuti jejak kakak-kakakku untuk pergi melanjutkan pendidikan tinggi di kota lain. Sebuah kota besar, ibukota provinsi. Kota Paris di pulau Jawa, julukannya.

Alasan terbesarku karena ingin mencoba mandiri dan aku melihat bahwa tantangan kota besar yang lebih menggiurkan dengan sendirinya membuatku merasa lebih terpacu. Entah kenapa aku sangat menyukai tantangan dan ku rasa kota ini akan selalu menyajikan kejutan yang menarik untukku.

Selama menuntut ilmu di perguruan tinggi, aku benar-benar menempa diriku menjadi orang yang berevolusi dari seorang anak kampung yang lugu dan penakut menjadi seorang yang cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Relasiku banyak, kawan pun demikian. Semakin hari semakin banyak bekal ilmu yang ku miliki.

Satu demi satu, sedikit demi sedikit. Aku telah belajar bahwa dunia ini begitu luas untuk dijelajahi. Ada kehidupan-kehidupan yang tidak pernah ku pahami, ada sudut cermin jiwa yang belum pernah ku hadapi, juga tentang perasaan yang mekar dan kuncup begitu saja dalam perjalananku mencari jati diri.

Tentang cinta. Kota ini juga menyajikan kejutan. Di mana aku telah jatuh cinta kemudian patah dan bertumbuh. Aku telah masuk ke dalam hubungan romansa di mana kami tidak pernah menemukan ujung yang kami inginkan. Perbedaan agama menjadi jurang yang memisahkan dan aku harus terpaksa merelakannya.

Selama masa patah hati aku seperti orang yang persis 'mati enggan hidup pun tak mau'. Sejujurnya ku jalani hidupku yang datar tanpa gairah. Menjadi budak korporat untuk menyambung hidup, bergantung pada gaji yang kadang kala sering kali tidak mencukupi sampai akhir bulan dan merasa terperangkap dengan siklus yang monoton begitu-begitu saja.

Ada masa ketika aku pernah memiliki kawan baik di kantor, temanku menghabiskan waktu dan bersenang-senang. Tapi seperti siklus yang sudah-sudah, ketika ia menemukan jodohnya, pada akhirnya aku hanya akan tersisihkan begitu saja. Di lain pihak aku cukup tahu diri, keluar dari zona nyamanku praktis membuat gaya hidupku kembali datar.

Dibunuh rasa bosan yang berkepanjangan dan berpikir mungkin aku bisa iseng mencari kawan baru. Syukur-syukur bertemu jodohku, ku pikir aku bisa mencoba hal baru dalam hidupku.

Sejak kecil aku begitu menggandrungi film dan kartun. Kebiasaan itu telah terbawa sampai dewasa dan yah- hasil berjam-jam membunuh kebosananku di internet akhirnya membuahkan sebuah pencarian. 

Acara gathering perkumpulan perfilman untuk umum akan diadakan di kota ini. Ku kira mereka semacam acara gathering iseng-iseng yang mengumpulkan para anggotanya hanya untuk sharing film kemudian bubar jalan, tapi ternyata mereka memiliki perkumpulan secara daring di seluruh wilayah se-Indonesia.

Paling tidak aku akan mendapatkan tambahan film-film baru yang merupakan incaranku sejak lama. Tidak ada ruginya juga kalau aku ke sana.

Masalahnya aku tidak punya teman dan ini pertama kalinya aku berkumpul dengan orang-orang asing. Sebetulnya aku tidak suka bertemu dengan orang baru yang tidak ku kenal tapi daripada terbunuh rasa bosan lebih baik aku mencoba pergi saja dengan niat yang telah ku camkan baik-baik tadi.

Setelah bertanya sana-sini untuk mendapatkan informasi yang ku butuhkan, seseorang bernama Tama mengajakku serta untuk berangkat bersama-sama. Rupanya dia tidak memiliki teman juga untuk diajak pergi bersama. Jadi kenapa tidak?!

Aku menyetujuinya, berkata bahwa ia bisa datang ke sebuah terminal bus di dekat rumah kost-ku dan kami bisa sama-sama berangkat dari sana. Tama pun tanpa basa-basi menyetujuinya. Kami bertukar kontak dan menjanjikan akan saling mengabari.

Ku tutup laptopku dan pergi beristirahat.

***

Sehari sebelum hari itu tiba, entah apa alasannya kawan baruku yang bernama Tama itu langsung membatalkan janji temu kami. Kesal karena merasa dipermainkan ku pikir aku tidak perlu datang ke acara tersebut.

Tama memang meminta maaf tapi caranya yang membatalkan janji saja sudah membuatku malas untuk bertemu. Aku punya ide lain, mungkin baiknya aku datang saja sendirian, lagipula aku terbiasa mandiri sendiri jadi aku akan tetap memutuskan datang. Toh Tama juga merupakan orang asing bagiku, memang benar jika janji temu kami batal tidak ada satu pun dari kami yang akan merasa dirugikan.

Belakangan aku baru tahu alasan Tama membatalkan janjinya untuk pergi dengan perempuan yang tampak jauh lebih muda dari dirinya. Tentu saja. Pantas ia memilih orang tersebut ketimbang denganku. Tapi satu hal yang pada akhirnya membuatku memaafkan Tama dan beralih membenci orang baru tersebut adalah justru karena si orang baru itulah yang meminta Tama membatalkan janji denganku dengan alasan yang tidak masuk akal sama sekali.

Ia tidak mengenalku dan berkata bahwa aku terlalu mencurigakan. Sial. Memang dia pikir dia siapa?!

Aku akan menemuinya nanti dan membuatnya mengenali siapa orang yang sedang ia depak hari ini. 

Hari itu pun tiba, dengan kesal aku berangkat seorang diri. Menaiki bus dari terminal dekat kost menuju ke lokasi yang diadakan di sebuah taman balai kota. Dan tentu saja saat sampai aku malah tambah merengut. Lokasinya ramai sekali karena bertepatan dengan acara bazzar dari pemerintah kota.

Aku selalu membenci sesuatu yang bersuara terlalu keras dan tempat yang terlalu ramai. Ini benar-benar tidak cocok untukku. Pun aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mencari karena telah mengabari Tama bahwa aku juga akan hadir di acara ini.

Sebuah sudut taman yang lebih sepi menjadi tempat untukku menghindar. Setidaknya tidak banyak orang berlalu lalang di sini dan tentu saja suara bising dari speaker acara bazzar tidak terlalu menggelegar di dekat sini. Ku pikir nanti saat Tama telah sampai, kami toh tetap bisa bertemu dengan berbekal saling kontak untuk memberitahu keberadaan kami satu sama lainnya.

Entah aku yang datang terlalu awal, entah mereka yang memang datang kesiangan, karena belum satu pun pesan yang ku terima sejak aku menjejakkan kaki di taman ini. Tidak bisa dikatakan mereka ngaret sih, hanya saja janjian tanpa berkabar membuatku merasa terabaikan dengan sendirinya.

Tapi daripada berpikir terlalu berlebihan, lebih baik ku putuskan untuk fokus mengamati sekitarku atau melakukan sesuatu yang lain. Matahari pagi sudah meninggi dan jarum jam di jam pada pergelangan tanganku telah menunjukkan bahwa acara gathering akan segera dimulai.

Baiklah aku merasa insecure sekarang.

Bagaimana kalau mereka tidak datang? 

Bagaimana kalau mereka datang tapi tidak ingat kepadaku? 

Bagaimana kalau mereka memang sengaja tidak ingin bertemu denganku dan nantinya aku juga tidak akan tahu karena belum pernah mengenal mereka? 

Bagaimana jika si perempuan muda licik menyebalkan itu menghasut Tama agar tidak bertemu denganku? Mengingat sebelumnya saja dia tidak mau bertemu denganku karena alasan yang terlalu tidak masuk akal.

Tidak ingin tersiksa dengan pikiran sendiri, aku mencoba berjalan-jalan di sekitar bazzar. Mencoba melihat-lihat stand-stand tenda tidak permanen yang tampaknya telah disewakan pihak promotor acara kepada para seller yang ikut berpartisipasi.

Kebanyakan berupa cinderamata dan produk pangan hasil olahan usaha menengah atau home industry. Beberapa stand juga tampaknya ditempati oleh produk pabrikan yang tercatat sebagai sponsor acara tersebut.

Tapi tidak ada satu pun yang menarik minatku. Ku pikir aku memang tidak berharap lebih selain memang hanya membuang fokus untuk membiarkan waktu berjalan lebih cepat.

Aku mendengar telepon genggamku berdering, sebuah pesan masuk dari Tama.

“Leo, kami telah berkumpul di taman. Kamu sedang berada di mana?”

Oh akhirnya mereka datang juga. Segera ku balas pesan tersebut.

“Kalian menunggu di mana? Aku sendiri sudah berada di lokasi sejak tadi pagi.”

Lama pesanku tidak berbalas sehingga aku memutuskan kembali untuk melihat-lihat barang-barang jualan dan pameran di stand. Sampai sebuah peaan masuk kembali.

“Kami menunggu di bawah tiang bendera. Karena hanya ada satu, kamu pasti akan dengan mudah menemukan keberadaan kami.”

Aku menengadah melihat ke sekeliling dan menemukan bendera merah putih tengah berkibar di sebuah tiang tinggi bercat putih. Jika ditarik garis lurus menuju tempatku seharusnya tempat yang dimaksud sudah demikian dekat jika saja tidak terhalang oleh puluhan stand-stand yang berdiri berjajar.

Ku ambil jalan memutar, menuju sebuah jalan yang diberikan sebagai jalur pedestrian yang sengaja dibuat oleh pihak promotor acara sebagai akses para pembeli menuju stand jualan.

Tepat di ujung sana, ku temukan tiang bendera yang dimaksud. Seorang perempuan menunjuk-nunjukku sembari berbicara dengan seorang pemuda. Ku pastikan pemuda itu adalah Tama dan perempuan itu adalah si orang menyebalkan yang ku maksud. Ia tampak memperhatikanku dari kejauhan sambil memasang senyum bodohnya.

Terlalu terlambat untuk pura-pura ramah kepadaku!

Seperti lumrahnya sebuah pertemuan yang baru. Kami memulainya dengan sebuah perkenalan satu sama lain. Aku terkejut ketika mengetahui ada 3 orang yang menunggu bertemu denganku. Dan Tama mengatakan bahwa satu orang lainnya itu adalah kenalan si perempuan itu.

Lihat. Dia melarang Tama membawa teman yang tidak dia kenali tapi dia sendiri membawa satu orang asing untuk menemaninya. Picik. Perempuan ini persis seperti rubah, pikirku kesal.

Karena itu aku sengaja menandakan bahwa aku memang tidak menyukai kehadirannya dari awal. Aku sengaja melewati uluran tangannya dan mengajak orang baru yang asing itu berkenalan duluan denganku. Aku ingin si perempuan rubah itu tahu diri bahwa dia tidak bisa bersikap seenaknya. Paling tidak, tidak denganku!

Raut wajahnya berubah kecewa, aku bisa merasakannya.

Wajahnya yang ceria dibuat-buat itu tiba-tiba layu. Dia tahu aku tidak merasa senang dengan kehadirannya dan itu cukup untuk memberinya pelajaran untuk menghargai orang lain.

Aku menjabat tangannya dengan memberikan penekanan dalam genggaman tanganku setelah ia mengatakan namanya kepadaku.

“Namaku Leo!” ujarku mantap dan ku lihat mimik ketakutan atau tidak nyaman tergambar di raut wajahnya. Bagus. Tahu dirilah!

Lihat selengkapnya