Pukul 02.20
Liana terlihat gelisah dalam tidurnya. Diluar malam semakin pekat. Hawa dingin menusuk kulit. Sinar bulan nampak kemerahan. Dibalik gelap berdiri sebuah bayangan, dengan mata pengamat memastikan bahwa keadaan Liana masih baik-baik saja sebelum kenyataan kelam menanti di masa depan.
*~*~*~*
"Nggak.... nggak mungkin..."
Liana segera menghampiri sang ibu lalu bersimpuh di sampingnya.
“Bu, Lia disini.” Liana menunjuk pada dirinya sendiri seraya terus meraung. Ia coba memanggil ibunya, lalu bergantian pada sang kakak namun tak juga direspon. Tangisan itu tak juga berhenti seperti tak ada yang menyadari kehadirannya. Dia seakan tidak terlihat oleh orang lain. Diraihnya kedua tangan Ibu. Nihil, tak bisa disentuh malah menembus tangan ibu layaknya seorang hantu yang bisa menembus dinding.
Liana bergidik ngeri pada dirinya sendiri. Ia menangis sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Percuma berteriak seperti itu. Tidak ada yang bisa mendengarmu,” ujar sebuah suara yang tengah dari belakang punggung Liana. Lantas Liana menoleh ke belakang sedikit mendongak, “Loe siapa?” Matanya langsung terbelalak kaget.
Yang ditanyai malah terkekeh, “Saya adalah The Guard, malaikat penjaga anda selama enam puluh hari ke depan,” katanya santai dan tenang.
Kening Liana mengerut lantas disekanya air mata yang masih tersisa di pipi. “The Guard? Apa itu?” Liana mulai bangkit berdiri lalu menyejajarkan diri di depan pria yang lebih tinggi beberapa senti darinya.
Pria yang berpakaian jas ungu itu terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa profesinya. “The guard artinya seorang penjaga yang ditugaskan untuk menjaga anda tetap berada di jalan kebaikan.”
Mendengar jawaban yang tidak masuk akal itu lantas Liana terkekeh, “Buat apa gue dijaga? Gue bukan anak pejabat atau presiden. Gue cuma orang biasa," suaranya menekankan pada kata Biasa. Memang benar, Liana hanyalah seorang siswa berumur 16 tahun yang terlahir dari keluarga sederhana tidak ada embel-embel keturunan pengusaha atau bangsawan apalagi anak presiden.
Pria itu kembali terdiam, lalu berbalik menatap lurus ke arah Ibu dan kak Kiarra yang masih sesenggukan, “Untuk memastikan agar anda berada di tempat yang diimpikan setiap manusia setelah hari kematian tiba.”
Liana seperti menyadari sesuatu dan menatap ke arah yang sama, terdengar suaranya bergeming, “Maksud loe, gue akan mati? Dan mereka menangisi jasad gue?”