Hari 1~~~
Liana termenung di meja makan. Tak ada sedikit pun makanan yang tersaji menggugah seleranya. Semua terasa hambar. Semua tak berasa karena mimpi mengerikan tadi malam. Betul-betul membuatnya kehilangan fokus. Dia juga takut jika hal itu benar-benar terjadi enam puluh hari lagi seperti kata The Guards-pria yang mengatasnamakan diri Malaikat Penjaga. Pria tampan berwajah pucat.
“Li...” suara Kiarra mengejutkan Liana dari belakang. Lantas ia menggeram sebal.“Kak... kalau aku jantungan terus mati gimana?”
Kening Kiarra seketika tertaut heran, “Lebay banget sih. Nggak sampai mati juga kali.” Kemudian ia duduk di kursi makan di samping Liana, lalu mengambil dua roti lapis dengan selai nanas yang telah tersedia.
Liana kembali merenung sedih sembari menatap kakaknya yang asyik makan tanpa ada beban. Pikirannya melayang tentang beragam kemungkinan. Andai saja kakaknya tau apa yang terjadi padanya semalam, apakah Kiarra akan merasakan takut seperti dirinya? Atau mungkin ia membiarkan semua itu terjadi sebagai sebuah takdir yang harus dijalani. Entahlah.
Kiarra yang merasa diperhatikan, menghentikan suapan, lantas balik menatap Liana tepat di lensa. Hanya kekosongan yang terlihat. “Kalau lo nggak makan. Gue yang abisin ya roti coklatnya.” Goda Kiarra. Tangannya berupaya menjangkau piring roti berisikan pasta coklat didepan Liana.
Sadar perbuatan sang kakak, Liana lantas menepis tangan Kiarra dan menggeser posisi piring sedikit lebih jauh. "Ihhh.. ngambil kesempatan." Ia pun menyuapkan dua lapis roti coklat ke dalam mulut. Menjejalkan semuanya jadi satu sampai pipinya terlihat menggembung. Lucu.
“Ini gue makan, Kak.” Katanya dengan susah payah bersuara.
Kiarra hanya bisa tertawa geli melihat kelakuan lucu sang adik. Ia pun melanjutkan aktivitas makannya. Jujur, menggoda Liana adalah salah satu kesenangannya, apalagi membuatnya marah karena roti coklat kesayangannya akan diambil.
Asal tau saja, Liana itu terlalu maniak dengan namanya coklat, apapun olahannya. Sampai-sampai ia tidak mau seorangpun mengambilnya bahkan menghabiskannya. Bisa-bisa ia ngambek dan tidak mau makan.
Melihat adiknya makan dengan lahap tak urung mengguratkan kebahagiaan di benak Kiarra. Dalam hidup Kiarra, Liana adalah satu-satunya saudara yang ia punya, dan orang yang selalu menemaninya di rumah. Ia tidak tau bagaimana nasib dirinya jika Liana tidak ada, rasanya seperti mimpi buruk menjadi nyata. Mimpi buruk yang selalu dikutuk agar jangan sampai kejadian.
Soal orang tua, ayahnya sudah meninggal ketika ia masih berumur 16 tahun sedangkan Liana berumur 12 tahun. Semenjak itu, sang ibu-lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu mereka adalah seorang motivation trainer yang cukup terkenal dikalangan para pengusaha muda, jadi tidak heran jika sering pergi ke luar kota bahkan ke luar negeri. Karena itu Kiarra mengambil alih tugas ibu yang identik selalu ada di rumah untuk selalu ada disamping Liana, menemaninya dan menjaganya. Tidak hanya sebagai saudara tetapi juga sahabat. Jangan ditanya bagaimana kedekatan mereka, pastilah sangat dekat.
---
Ban mobil Honda jazz merah itu mengeluarkan suara deritan yang cukup halus ketika pengemudi menginjak rem, tepat di depan sebuah sekolah dengan gerbang tinggi menjulang yang hampir ditutup setengah.
Pemandangan pagi itu tampak seperti biasa, terik matahari juga bersinar dengan baik. Siswa-siswi juga seperti biasa ketika memasuki sekolah, berjalan masuk melewati gerbang, ada yang menggunakan kendaraan atau berjalan kaki, ada juga yang sempat mengobrol dulu sekedar menyapa dan berbasa-basi.