***
"Li, muka Lo kok kaya panekuk hambar gitu? Gak ada semangatnya sama sekali. Lo kenapa lagi?" Sandra menegur Liana yang baru sampai di mejanya.
Wajah Liana memang terlihat kusut dan kurang bersemangat, seperti ada masalah besar yang menimpanya semalam.
Liana hanya memandang Sandra sebentar, setelah itu ia langsung menenggelamkan wajah dalam kedua tangan yang melipat di meja."San, gue mau menenangkan diri sebentar. Kalau ada guru masuk bangunin gue!"
Sandra melongo mendengar perintah itu. Liana bersikap aneh dua hari belakangan, entah karena apa Sandra juga tidak tau, tapi sebagai seorang sahabat ia hanya bisa membiarkan Liana untuk menenangkan diri dan menanti dengan sabar sampai sahabatnya itu siap untuk bercerita. Kedua bahu Sandra terangkat, terserahlah. "Lo harus bangun kalo gue bangunin, Li!" Sandra memperingati.
"Lia... Liana... Bangun Bu Dati datang!" Sandra mengguncang tubuh Liana keras. "Li... Bangun!"
Beberapa kali Sandra melakukan hal serupa, namun Liana tidak kunjung bangun dari tidurnya. Sandra sungguh merasa gelisah, apalagi Bu Dati sekarang sudah berdiri di depan kelas. Pandangan guru bertubuh besar itu menyapu seisi kelas seakan ingin mencari mangsa untuk santapan pagi.
Sandra sontak menegakkan tubuh sesaat pelototan Bu Dati mengarah padanya, sementara hanya dengan sebelah tangan ia masih mencoba membangunkan sang sahabat pengingkar janji itu. Tidak cukup dengan tepukan ringan, Sandra bahkan mencubit lengan Liana, namun sayang usahanya sia-sia.
Bu Dati sepertinya memiliki kemampuan pembaca pikiran karena kecemasan Sandra dapat dibaca olehnya. Dengan langkah pasti dan penuh keangkuhan didekatilah meja Sandra dan Liana yang bersebelahan. Derap langkah dari ujung sepatu Bu Dati terdengar keras mengisi keheningan kelas seketika.
Semakin sosok Bu Dati mendekat padanya, Sandra semakin memperkeras cubitannya seraya berdoa dengan sangat, "Tuhan, tolong bangunkan Liana! Tolong Tuhan!" Sandra terus mengulang doa.
Wajahnya sudah tidak bisa terkendali, harap-harap cemas akan nasib sang sahabat nanti.
"Sandra!" Suara Bu Dati menggelegar, lantas menyedot perhatian seluruh siswa.
Sosok yang dipanggil itu menelan ludah susah payah, segera dilipatnya kedua belah tangan di atas meja. Duduk rapi seperti siswa lainnya.
"I... Iya Bu?"
Dua belah alis Bu Dati terangkat dan mengarah pada sosok di sebelahnya. "Dia sakit?"
Kepala Sandra mengangguk. Dalam hati ia hanya berharap semoga semesta merestui kebohongannya kali ini.
Bu Dati menunduk, lalu menelisik setiap inci wajah Liana yang tertutup tangan seolah mencari celah untuk melihat ke dalamnya. Mungkin mencari kebenaran dari jawaban Sandra. Bu Dati menegakkan tubuh kembali, kemudian berkata, "Bawa saja ke..."
Kalimat Bu Dati terpotong ketika kepala yang semula menelungkup itu perlahan menegak, bersamaan dengan kedua tangan yang direntangkan ke udara. Tingkah orang itu seperti baru bangun di pagi hari yang cerah setelah melewati malam yang panjang. Ya, tidak salah sih memang dia barusan tidur, kan?
"HO..AM..." Liana menguap cukup keras. Kelopak matanya mulai membuka.
Dalam beberapa detik bukan hanya keheningan yang menyelimuti seisi kelas, tetapi juga kegugupan yang membuat semuanya menahan napas dalam-dalam. "Liana... Oh... Liana.."