L/R

Fani Fujisaki
Chapter #2

1.R

Bisa menjadi murid di sekolah mewah yang biaya per-semesternya mencapai angka belasan juta mungkin merupakan keinginan banyak orang. Apalagi sekolahnya begitu terkenal dan membuat siapa pun langsung tahu kalau ini merupakan sekolah elite hanya dengan menyebutkan namanya saja.

Apa aku termasuk salah satu orang yang beranggapan demikian? Dibanding harus merasa senang, aku justru sedang merasa bingung.

Aku belum pernah masuk ke sekolah elite mana pun, sekedar iseng mencari di internet pun tidak pernah. Jadi tidak aneh jika aku harus celingukan saat sudah memasuki gedung SMA Tirta Bangsa.

Arsitektur bangunannya mungkin kurang lebih terlihat sama dengan sekolah lain, tapi tembok yang dicat berwarna biru yang dihiasi jendela-jendela dan lantai marmer yang memiliki warna senada memberikan kesan cerah, luas, serta elegan secara bersamaan.

Ini benar-benar gedung sekolah kan? Aku tidak tersasar dan tak sengaja masuk ke tempat lain kan? Rasanya sungguh aneh melihat desain untuk lorongnya saja terkesan berlebihan begini.

Memang siswa-siswi lain yang juga baru berdatangan memakai baju seragam anak SMA biasa, kemeja putih dan bawahan abu-abu, tapi aku tetap merasa minder melihat mereka.

Padahal aku juga menggunakan seragam serupa, bahkan beberapa barang yang kupakai memiliki merek yang sama seperti yang mereka pakai. Ini seharusnya cukup membuatku terlihat pantas bersekolah di sini, tapi di sisi lain aku justru merasa sedang berada di tempat yang salah.

Urghh... ayolah! Kalau tidak bisa mengatasi hal paling mendasar tentang perbedaan gaya hidup, aku pasti gagal menjadi Leo.

Aku harus fokus! Jangan sampai terbawa perasaan lalu mengacaukan semuanya.

Setelah berada di depan ruang kelas X - IPS 1, langkahku terhenti.

Kegiatan sekolah sebenarnya sudah berjalan sejak dua minggu yang lalu, tapi ini menjadi hari pertamaku masuk sekolah.

Aku mengelus sejenak dadaku untuk menenangkan diri dan mempersiapkan mental, setelah merasa yakin barulah melangkah memasuki kelas.

"Oh, Leo sudah masuk lagi."

"Kemarin sakit apa sih sampai seminggu nggak masuk?"

"Kalau sudah masuk berarti sudah sehat ya sekarang?"

Aku tertegun karena beberapa siswa yang sudah berada di kelas secara bergantian mengajukan pertanyaan saat melihatku. Leo ternyata begitu populer ya? Baru juga masuk, tapi sudah sangat menarik perhatian dan disambut dengan cukup bersahabat seperti ini.

"Hei, setidaknya biarkan Leo duduk dulu, kasihan tuh dia jadi kebingungan."

"Iya, benar, wajahnya sampai kelihatan pucat karena langsung ditanya-tanya."

Mataku mengerjap dengan bingung. Apa ekspresi wajahku bisa terbaca dengan jelas? Terasa cukup canggung sih saat harus dikerumuni beberapa orang seperti ini, tapi aku sudah mencoba bersikap setenang mungkin.

Mencoba untuk semakin merilekskan pikiran agar tidak dicurigai, aku memutuskan untuk duduk di kursi yang merupakan tempat duduk Leo sebelum menjawab rentetan pertanyaan yang sudah diajukan. Tepatnya aku duduk di deret ke dua di pojok kiri kelas, ada satu bangku yang memisahkan untuk tidak langsung menghadap papan tulis.

Setelah duduk, aku pun mulai bicara senarutal mungkin, "Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari Senin, tapi nggak ada luka yang serius kok. Karena masih sedikit merasa syok, orang tuaku meminta izin pada sekolah selama lima hari."

"Apa kecelakaannya separah itu sampai syok segala?"

"Kecelakaan mobil atau motor emangnya?"

Saat minggu awal masuk masa SMA, bukan aku yang sudah mereka kenal, melainkan Leo. Sepertinya dia sudah bersosialisasi, tapi tak kusangka beberapa teman sekelasnya bisa menunjukkan rasa cemas secara terang-terangan begini, "Ada mobil lain yang sopirnya mengantuk dan menabrak taksi yang kutumpangi, jadi terjadi tabrakan yang cukup menyakitkan."

"Wah... berarti beruntung ya karena nggak mendapat luka lecet sedikit pun?"

Dengan refleks aku menggerakkan tubuh ke belakang saat salah satu dari mereka mencoba menatap dari dekat, "Iya, aku emang beruntung. Tapi Andre, jauhkan wajahmu."

Yang kupanggil Andre tertawa dan kembali mebuat jarak lagi, "Habis Leo sampai nggak masuk selama seminggu, kupikir kau sedang sakit parah."

Sebenarnya aku tidak sakit apa-apa, ini hanyalah alasan yang sengaja dibuat untuk bisa mendukungku, "Kalau dibilang sakit sih, kepalaku mendapat benturan yang cukup keras saat kecelakaan. Kuharap ingatanku baik-baik saja."

Lihat selengkapnya