Tidak pernah terbayang sebelumnya olehku jika suatu saat bisa dijemput dari sekolah menggunakan sebuah mobil mewah. Apalagi pintu mobilnya bisa bergeser untuk terbuka secara otomatis tanpa perlu menarik atau memegang gagang pintunya. Yang seperti ini sih seharusnya baru bisa dilakukan pada orang yang punya jabatan tinggi, bukan kepadaku!
Aku tidak mengerti tentang merek dan juga jenis mobil, tapi mobil Toyota ini pasti berharga mahal karena punya desain mewah luar-dalam, joknya juga punya bahan kulit yang membuatku nyaman saat duduk di atasnya. Sejak awal beli, mobilnya sudah begini atau telah dimodifikasi sampai bisa seperti ini ya?
Tapi rasa bingung serta gugupku selama berada di mobil tidak ada apa-apanya setelah sampai di sebuah rumah. Rumah mewah yang sulit kugambarkan hanya dengan kata-kata.
Ini bukan pertama kalinya aku mendatangi rumah Leo, tapi pilar-pilar putih dan juga jendela besar yang ada masih membuatku merasa takjub melihatnya. Apalagi saat sudah memasuki rumah, mataku rasanya tidak bisa berhenti mengagumi barang-barang yang terlihat elegan dan tertata dengan begitu rapi.
Apa aku benar-benar boleh tinggal di sini?
"Ah, Leo sudah pulang ya?"
Pandanganku yang semula sibuk memperhatikan interior ruang tamu beralih menatap seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan mendekat. Beliau adalah orang tua Leo.
"Mama," saat mencoba memanggil, suaraku justru tercekat karena tidak terbiasa melakukan panggilan ini.
"Hari ini Mama sengaja pulang lebih cepat agar bisa makan siang bersamamu."
Saat tangan lembutnya mengelus kepalaku, aku justru memalingkan pandangan ke arah lain. Ada rasa bersalah karena aku yang bukan anaknya justru mendapat perhatian seperti ini.
"Ya sudah, ayo kita ke ruang makan, kamu harus ceritakan bagaimana sekolahmu hari ini."
Aku mengangguk pelan lalu mengikuti langkah Mama yang berjalan menuju ruang makan.
Setelah duduk berhadapan, aku tidak bisa menahan rasa gugupku karena sangat tidak terbiasa berada di suasana seperti ini, "Tadi teman-teman sekelas menyambutku dan juga merasa senang karena aku sudah masuk sekolah lagi."
"Benarkah? Apa ada hal lain lagi yang terjadi?"
Aku terdiam sejenak untuk mengingat hal spesial yang bisa diceritakan lagi, "Ah, tadi aku mendapatkan nilai paling bagus saat diadakan ulangan dadakan."
Bukan ekspresi senang seperti dugaanku yang menjadi respon Mama, Mama justru terlihat tercengang. Kepalaku langsung tertunduk karena merasa bersalah, "Maaf."
"Kenapa justru minta maaf? Yang kamu lakukan bukan hal yang salah kok, Mama tidak marah."
Dengan takut-takut aku menatap wajah Mama yang kali ini terlihat seperti sedang menahan tawa.
Memang yang kulakukan bukanlah hal yang salah, tapi aku tahu ini nantinya bisa menjadi beban untuk Leo.
Entah seperti apa nilai-nilai pelajaran yang normalnya biasa Leo peroleh, tapi aku tetaplah harus menahan diri. Aku harus ingat kalau sekarang sedang hidup sebagai Leo. Aku tidak dituntut mendapatkan nilai sempurna untuk mempertahankan beasiswa yang kudapatkan.
"Oh ya, bagaimana kalau lain kali kita makan di luar? Kita bisa mendatangi restoran yang kamu suka, mau?"
"Eh? Makan berdua dengan Mama? Apa boleh?"