"Aku dengar dari Daniel katanya ada yang sok jual mahal pada Dewi tadi pagi.”
Gerakan tanganku yang ingin memakan nasi goreng seketika terhenti, dengan jengkel kulirik Andre yang tadi menyindirku, “Iya, aku orang yang dimaksud.”
“Jadi kau sengaja sok jaim atau emang nggak terlalu niat? Dari yang kudengar ada kakak kelas yang gencar deketin Dewi sampai ngelabrak cowok lain yang melakukan PDKT dengan Dewi loh.”
Di sekolah orang kaya ternyata ada juga yang memiliki sifat seperti berandalan ya? Aku mulai memakan nasi goreng sambil menahan rasa ingin lebih tahu, “Baiklah, aku akan berhati-hati mulai dari sekarang."
“Katanya tuh dia ngelabrak bareng sama gengnya, Leo. Kalau emang kamu nggak serius suka sama Dewi, mending sekalian nggak mendekatinya deh.”
Aku bisa mengurus diriku sendiri, dan aku juga tak tahu bagaimana pendapat Leo mengenai Dewi yang menunjukkan rasa tertarik padanya. Terus mengikuti arus atau mengikuti saran Andre. Dua pilihan yang sulit kuambil tanpa membicarakannya dengan Leo.
Tapi berhubung semua keputusan berada di tanganku, sepertinya aku memilih untuk melihat situasi dulu, “Mungkin aku harus berpikir lagi deh jika emang ada kakak kelas semacam itu yang jadi saingan.”
“Lebih baik cepat memutuskan sebelum menyesal.”
Kepalaku mengangguk-angguk untuk merespon rasa khawatir Andre. Dia benar, cepat atau lambat aku memang diharuskan mengambil keputusan sendiri.
♔
Tadi pagi aku sempat berpikir bisa sedikit merasa lega jika berada di sekolah dibanding harus berada rumah. Tapi sekarang aku harus meralatnya.
"Lo berani bangat deketin pacar gue! Jangan sok tebar pesona deh sama dia! Dia tuh milik gue."
Kenapa sekarang aku harus berada di situasi seperti ini sih? Pak Rahmat -nama sopir Leo- sudah menunggu di luar pagar sekolah, tapi sekarang aku malah dihalangi dan dilabrak begini.
"Lo tahu siapa gue kan?"
Apa dia sebegitu populernya sampai seluruh murid sekolah mengenalnya? Aku tidak punya informasi tentang orang ini, tapi dari ucapannya bisa langsung kuketahui dia merupakan pacar Dewi.
Hmm... sepertinya kakak kelas ya? Aku paham jika dia bisa bersikap sok berkuasa dan berani melakukan hal seperti ini di lorong sekolah yang sedang ramai. Akan sangat mencolok ya jika aku sampai lupa peranku sebagai Leo? Daripada menunjukkan sikap perlawanan dan bisa menyulut emosinya, aku memilih untuk menunduk, menunjukkan gestur seolah sedang merasa takut.
"Jika nggak mau cari ribut sama gue, lo harus menjauh dari Dewi."
"Baik."
"Jawab yang bener!" aku tersentak kaget saat kerah seragamku tertarik dengan keras dan membuatku harus menatap wajah kesal sang kakak kelas, "Aku tidak akan mendekatinya."
Sebuah seringai puas tergambar di wajah itu, tangannya pun langsung melepas kerah seragamku. Tapi yang berikutnya dia lakukan justru mengacak-acak puncak kepalaku dengan kasar seperti sengaja ingin menjambak rambutku, "Bagus, lo jangan sok berani lagi mendekati pacar kakak kelas."
Dia yang mendekat sendiri!
Jika tidak mau Dewi sampai melirik laki-laki lain, seharusnya jagain dia selama dua puluh empat jam non stop! Sudah tahu punya pacar yang lenjeh, lebih protektif lagi dong menjaganya!
"Kenapa lo natap gue begitu? Mau nantangin?"
Wajahku berpaling menatap ke arah lain. Batas kesabaranku habis sampai tidak sengaja memberikan tatapan menantang padanya.
Tenanglah... jangan sampai tersulut emosi. Aku Leo, jangan mencari masalah saat sedang menjadi orang lain.
"Ya udah, sekarang lo bisa pergi. Tapi awas aja kalau lo masih deketin Dewi, gue nggak bakal kasih ampun lagi!"