Aku tidak mengerti bagaimana sekarang bisa berada di sini. Setelah setuju dengan kesepakatan yang dibuat, Pak Albert dan Bu Laila langsung membawaku pergi dari panti asuhan atas persetujuan dari Bu Indri.
Bahkan tanpa sempat membawa apapun dan melakukan persiapan apapun, hanya dengan pakaian seadanya sekarang aku sudah berada di depan rumah yang sedang kutatap dengan kagum.
Rumahnya benar-benar mewah. Aku tidak mengerti bagaimana sepasang suami-istri yang hanya memiliki satu orang anak tinggal di rumah sebesar ini.
"Ayo masuk!"
"I- iya," dengan gugup aku ikut memasuki rumah, dan lagi-lagi aku harus dibuat tercengang. Wajar jika rumah ini memiliki barang-barang yang terlihat mewah, tapi ada sebuah benda yang terpajang di dinding yang membuatku terperangah. Benda yang bahkan bisa membuatku membatalkan kesepakatan yang sudah dibuat detik ini juga, "ugh, agamaku berbeda dengan kalian."
Hanya dengan melihat keberadaan salib yang dipajang, aku sudah bisa mengambil sebuah kesimpulan. Siapa pun yang berada di posisiku sekarang pasti juga mendapatkan kesimpulan yang sama.
Pemilik rumah ini beragama Kristen... atau mungkin Katolik? Aku tak tahu perbedaan dua agama itu, tapi yang jelas mereka tidak beragama Islam sepertiku.
"Apa kami tidak memberi tahumu?"
Sama sekali tidak. Kalau tahu sejak awal, aku pasti punya lebih banyak alasan untuk menolak.
"Kami memang memintamu menjadi Leo, tapi kami tidak menyuruhmu untuk pindah agama kok. Kamu bisa beribadah sesuai keyakinanmu, dan menyembunyikan barang yang berkaitan dengan agama yang ada di kamar Leo. Tidak masalah kan?"
Justru ini bisa menjadi masalah yang sangat besar, "Tentu saja bermasalah. Bagaimana saat aku ingin salat Jumat? Atau bagaimana dengan hari Minggu yang seharusnya dipakai Leo untuk ke gereja?"
"Tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Kami akan mengatur untuk urusan gereja. Dan untuk hari Jumat, kamu bisa tetap beribadah dengan identitas aslimu."
Iya sih, selama mengaku menjadi Rio, aku bebas pergi ke masjid mana saja. Tapi kalau bertemu orang yang mengenal Leo dan melihatku pergi ke masjid, pasti aneh jadinya, "Aku akan mencari masjid yang jauh dari rumah agar tidak membuat orang lain salah paham."
"Baiklah, silahkan lakukan apapun yang membuatmu merasa nyaman. Dan jika kamu membutuhkan sesuatu, jangan takut untuk memintanya karena mulai sekarang kamu adalah anak kami."
Tidak ada permintaan muluk-muluk yang mau kuminta, yang kubutuhkah adalah sesuatu yang sederhana, tapi pasti tidak dimiliki oleh penghuni rumah ini, "Apa aku boleh meminta sajadah untuk salat?"
"Tentu. Nanti Mama pasti membelikannya."
Dengan panik aku mengibaskan tangan kananku, "Tidak, biar kubeli sendiri saja. Tidak sopan jika meminta kalian yang beda agama untuk membelikannya."