Aku sangatlah tahu mall-mall di Jakarta ada banyak sekali jenisnya. Dari yang terlihat normal seperti kebanyakan mall yang ada, lalu ada juga yang sampai memiliki taman khusus sendiri untuk daya tarik, ada yang memiliki tempat main khusus untuk anak-anak, dan tentu mall yang sudah kumasuki ini termasuk jenis yang sangat tidak biasa.
Dengan keberadaan bianglala di lantai teratas mall yang terlihat begitu mencolok dari jalan raya, aku sudah menebak di dalam AEON Mall Jakarta Garden City pastilah diisi dengan toko-toko yang tidak biasa juga.
Ada beberapa restoran yang menjual makanan dari Asia Timur, ada juga toko yang menjual barang oleh-oleh dari beberapa negara yang terkenal, bahkan ada beberapa toko yang namanya terlalu asing untuk kubaca. Bukan karena memakai bahasa Inggris jadi kuanggap asing, tapi aku merasa asing karena tidak pernah membaca merek tokonya.
Kalau hanya sekedar lewat di luar, aku cukup sering melakukannya, tapi ini pertama kali aku sampai masuk begini. Aku harus menahan diri agar mataku tidak jelalatan memandang hal yang jarang sekali terlihat di mall lainnya.
Andre, Daniel, dan Fahri yang sedang bersamaku bisa curiga jika aku celingukan melihat satu per satu toko yang dilewati.
Sebisa mungkin aku mencoba bersikap biasa. Tapi ternyata tidak dapat dilakukan. Aku terus-terusan membandingkan bagaimana jika aku yang berada di posisi ini dengan apa yang sedang kulakukan saat ini.
Seperti saat mau nonton bioskop. Biasanya paling mahal aku mengeluarkan uang 50.000, tapi sekarang bahkan sampai habis lebih dari 100.000 karena harus membeli popcorn dan minuman segala.
"Seharusnya kita minta ditraktir Leo ya untuk merayakan kesembuhannya?"
"Eh?" aku yang sedari tadi menatap popcorn dengan pandangan aneh berpaling melihat Daniel yang bicara.
"Oh benar, kita malah bayar sendiri-sendiri. Seharusnya kita minta traktir aja ya?"
Aku sudah merasa heran dengan pengeluaran yang kulakukan sendiri, dan kalian masih minta ditraktir? Yang benar saja! Aku tidak mau melakukannya! "Lain kali akan kutraktir kok, jadi nggak perlu ditagih terus-terusan."
Bukan hanya saat nonton, saat diajak meluangkan waktu untuk membeli kopi juga membuatku mengernyit heran melihat daftar harganya.
Di warung, 5.000 sudah bisa mendapatkan kopi panas. Jika beli sasetan dan buat sendiri bisa lebih hemat lagi, tapi sekarang mataku hanya menangkap harga lebih dari 30.000 di sini.
"Jadi kau mau pilih yang mana, Leo?"
"Samakan aja dengan pilihan kalian," karena tidak pernah mencoba kopi dengan berbagai macam pilihan rasa seperti ini, aku memilih mengikuti pesanan yang sama seperti yang dipilih oleh mereka.
Setelah memesan lalu pelayan memberikan pesanan sesuai permintaan, aku menopang daguku sambil menatap kopi dingin yang di atasnya ada ice cream yang sekarang berada di depanku. Kenapa yang seperti ini saja harganya 41.000 sih? Aku tidak mengerti.
"Leo, coba fotoin deh. Aku pengen update Instagram."
Aku beralih menatap Fahri yang duduk di hadapanku, dia sedang menyerahkan ponselnya untuk minta difoto. Karena tidak mau terus merasa heran, aku mengambil ponsel dari tangannya, mencari angel foto yang bagus dan memfotonya, "Nih."
Fahri mengambil kembali ponsel dari tanganku, "Oh, bagus juga, mau kufotoin juga nggak buat update status?"
"Nggak usah."
"Yaelah, masa update-nya kalau jalan sama cewek doang sih, sini hpnya," Fahri langsung mengambil ponsel yang sedari tadi memang kutaruh di atas meja, "kunci layarnya gampang bangat, ini mah siapa aja bisa buka."
Pola kunci layar ponsel milik Leo hanya memakai huruf L, benar-benar terbaca dengan mudah sampai sekali coba membuatku bisa mengotak-atik ponsel itu.
Untunglah mudah, kalau memakai pola yang aneh-aneh dan bahkan tidak diketahui oleh orang tuanya, kesulitan yang harus kuhadapi saat menjadi Leo pasti semakin bertambah.
"Ya udah, ayo berpose yang keren biar makin banyak yang suka."