"Kenapa sih ngeliatin mulu? Rio nggak suka aku minta diajarkan belajar?" merasa risi dengan tatapan Rio yang terus mengarah padaku, aku balik menatap dengan heran.
Rio menggeleng, "Aku udah sering ngajarin orang lain kok."
Aku mengernyit tidak mengerti, jika bukan karena tidak suka, lalu kenapa? "Ah, apa Rio penasaran dengan hasil pemeriksaan dokter yang tadi dilakukan? Mata kanan-kiriku minus satu."
"Tunggu dulu, jika matamu minus kok nggak pakai kacamata? Seharusnya Leo sudah membelinya kan?"
Memang sudah, tapi ada insiden yang membuatku tidak ingin memakai kacamata setiap saat, "Udah beli dan juga udah coba dipakai. Tapi saat mau turun tangga, aku kesandung dan hampir terjatuh karena nggak bisa membedakan tinggi rendahnya jalan. Jadi aku memutuskan untuk memakainya kalau sedang membaca aja."
"Lalu kenapa sekarang nggak dipakai?"
Kan jarakku yang sedang duduk dan buku yang berada di atas tempat tidur tidak terlalu jauh, untuk apa memakai kacamata jika semua tulisan di buku bisa terbaca dengan sangat jelas? "Kan cuma baca buku doang. Kalau jaraknya dekat begini, aku masih bisa membacanya tanpa perlu pakai kacamata."
Rio mengangguk mengerti, tapi melihat ekspresinya belum juga berubah, aku tahu masih ada hal yang ingin dibicarakan, "Kenapa menunjukkan ekspresi bersalah begitu sih? Bicara aja deh kalau ada masalah. Rio tadi bertemu dengan ayahmu?"
Rio menggeleng dengan cepat, "Ini bukan mengenai ayah. Tadi aku bertemu dengan teman sekelasmu dan dia salah mengenaliku."
Oh jadi begitu, Rio merasa bersalah karena membiarkan orang lain salah mengenalinya ya? "Wajah kita kan mirip, wajar ada yang salah kenal. Lagian nggak sampai menyebabkan masalah kan?"
"Aku hanya sedikit mengobrol dengannya aja kok."
Rio sudah berhasil berperan menjadi diriku selama dua minggu, pasti dia bisa mengatasi hal semacam ini dengan mudah. Tapi sepertinya Rio masih belum terbuka denganku ya?
Kami memang belum terlalu saling mengenal sampai bisa bercanda dan berbagi rahasia bersama. Tapi aku ingin cepat-cepat menjalani hubungan seperti saudara pada umumnya. Apalagi Rio masih memiliki ayah, waktuku untuk bersamanya kemungkinan sangatlah terbatas.
Sebelum menyesal, aku ingin berusaha agar semakin dekat dengan Rio. Bahkan aku sampai minta diajari belajar seperti ini meski jurusan sekolah yang kami ambil berbeda. Tapi sepertinya usahaku masih kurang ya? "Oh ya, apa besok setelah pulang sekolah Rio ada waktu?"
"Besok aku harus berada di sekolah sampai sore. Karena disuruh ikut lomba cerdas cermat antar sekolah, aku harus menambah jam belajarku."
Jadi Rio sibuk untuk beberapa hari ke depan ya? Dia sudah seperti seorang jenius sejati, tapi aku mengerti jika dia masih membutuhkan belajar saat harus ikut cerdas cermat.
Tunggu, kenapa dia bisa ikut lomba cerdas cermat padahal baru beberapa hari sejak menjadi murid SMA? Apa tidak ada kakak kelas yang menjadi perwakilan sekolah?
"Kenapa Leo menanyakan jadwalku?"
Aku menghela napas dengan kecewa dan mencoba menghilangkan pemikiran aneh tadi, "Aku cuma ingin ngajak Rio jalan-jalan aja kok. Kalau begitu besok aku main ke panti asuhan Kasih Mulia aja deh."
"Kalau habis isya, sekitar jam setengah delapanan aku bisa kok, tapi jika Mama dan Papa memberi izin kita pergi malam loh."
Mataku berbinar senang menatap Rio yang duduk di hadapanku, "Jika perginya dengan Rio, Mama memperbolehkannya kok. Jadi besok kita bisa quality time berdua?"
Melihat Rio mengangguk setuju, aku langsung tersenyum senang. Akhirnya dia mau juga berinisiatif mengajak duluan! "Ah, tapi pulang sekolah aku tetap mau main ke panti. Aku juga mau dekat dengan adik-adikmu."
♔